Bab 29

0 0 0
                                    

Aku terlalu naïf untuk jujur akan rasaku padamu dan terlalu jahat pula menahanmu untuk dekat dengan wanita lain di luar sana”.

Kini badai telah mereda menerpa kita. Kau berhasil meyakinkanku untuk kembali merasa dengan semua perjanjian yang sudah kita sepakati bersama. Kau berjanji akan berusaha keras untuk tidak menimbulkan luka kembali. Sementara aku akan berusaha untuk menumbukan rasa percaya kembali.

Jeda kemarin benar-benar membuat urat kepala kita sangat menegang. Pada dasarnya kita sama-sama keras ingin didengar dan ingin dipercayai satu sama lain. Kau dewasa dan sedikit mengekang, sementara aku terlihat sangat natural, tetapi sangat frontal.

Malam ini kita kembali melebur dalam dunia virtual. Bercumbu dengan jarak dan kata-kata penuh harap. Tak perduli jika manusia lain akan merutuki bagaimana kita menjalani momen-momen berharga. Karena hal terpenting dalam hubungan ini hanya menjaga kepercayaan dan memantapkan tujuan.

Biarkan mereka berasumsi dengan leluasa. Kita hanya perlu pengakuan dari semesta bukan manusia-manusia yang hanya bisa menjatuhkan kita pada opini semata. 

“Aku senang, kau sudah merasakan cemburu padaku”

Ada banyak pemamahaman yang bisa ku defenisikan dari kalimat yang kau lontarkan. Benar, aku memang sudah berhasil merasakan hal itu pada duniamu di luar sana. Namun, di satu sisi masih ada bisikan jahat yang senantiasa mengingatkan jika aku tak terlalu berhak untuk merasakannya.

“Aku belum berhak akan hal itu!”

Lagi-lagi aku menjadi penipu yang sangat handal. Aku selalu menyakitimu dengan ketidak kejujuranku pada hubungan yang seharusnya bisa ku sangkal. Kau tahu, aku masih terlalu takut untuk memposisikan diri sekuat itu.

“Sampai kapan kau akan menutup hatimu untuk orang yang tak bersalah di masa itu?”

Ya, kau benar. Aku terlalu naïf menganggap semua orang mempunyai potensi untuk menyakitiku kembali. Berpikir jika semua pria akan mempunyai tujuan yang sama jika dekat denganku.

“Maafkan aku!”

Hanya kata itu yang bisa ku utarakan saat ini. Aku tahu, kau marah padaku. Aku selalu melibatkan semua orang yang tak bersalah pada rasa traumaku di masa lalu.

“Tak apa, kau tak perlu minta maaf. Aku paham denganmu dan keadaan hatimu saat ini”.

Terkadang aku merasa sangat bersalah tak mengizinkanmu mencari tempat nyaman lainnya di luar sana. Kenapa kau begitu dewasa menyikapi egoku? Kenapa kau tak mundur dan malah memilih mendamaikan hatiku yang sebenarnya sudah mulai mengering. Hati dan perasaan sudah berhasil kau dapatkan. Hanya saja, aku yang terlalu munafik untuk mendekrelasikannya.

“Tidurlah, jangan terlalu membebani kepalamu dengan pikiran-pikiran buruk. Sekarang istirahatkan pikiran dan matamu serta jangan lupa do’akan yang terbaik untuk hubungan kita”.

Sejujurnya aku masih ingin berlama-lama denganmu di dunia virtual. Namun, pesanmu seakan membenarkan keadaan, jika aku harus segera menstabilkan semuanya.

Mencintaimu Dengan Kemunduran Ku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang