21

1 0 0
                                    

"Tidak ada rasa yang bertahan tanpa adanya pengakuan. Serta tak ada pula pertemanan yang mampu menahan rasa dengan keadaan hati yang terus menerus menuntut tahta ”

Rasa yang semula hanya sebatas vertikal, kini berangsung memasuki horizontal. Kita tak mampu menutupinya lebih lama lagi. Penduduk dunia mungkin bisa kita bodohi, tetapi semesta semakin mendesak kita untuk mempublikasikan nyata pada diri kita pribadi.

Semuanya mulai beranjak seiring berjalannya waktu. Rasa yang dulu kita anggap pertemanan, lama kelamaan menuntut kenyamanan. Dunia kalimat yang berbentuk virtual juga semakin mendesak kita pada pertemuan. Bahkan, pelan-pelan hati ini meminta haknya dalam sebuah pengakuan.

“Apakah rasamu masih sama denganku?”

Tanya mu padaku sore itu. Suasana virtual kita mendadak menjadi tegang dan berjeda. Entahlah, saat itu aku sangat bingung untuk membentuk kata demi menjawab pertanyaan bermakna tuntutan hak itu. Namun, di satu sisi aku tak mampu lagi membendung kebohongan lebih lama lagi.

Tak mungkin pula aku menahanmu dengan ketidakpastian yang selalu kau pertanyakan. Kau juga butuh kepastian sedang aku, juga butuh pengakuan.

“Sudah jauh berbeda dari sebelumnya dan kuharap kau tak menyia-nyiakannya!”

Jawaban yang baru saja ku layangkan langsung merubah reaksimu padaku. Malam itu juga kau langsung mempublikasikan pada dunia jika kau sedang bahagia yang teramat sangat bahagia. Serta malam itu juga untuk pertama kali kau merubah segalanya tentangku. Mengubah nama kontakku di benda pipih mu. Serta kau juga mengganti sapamu padaku.
“Iya, Sayang”

Kata itulah yang mulai kau sematkan untuk menyapaku. Awalnya hati dan logikaku ini berontak. Bukan apa-apa, sapa itu terlalu berat untuk ku sandang. Apalagi mengingat hubungan ini hanya berlandaskan janji yang sama sekali belum ku tahu kapan nyata akan menghampiri.

Seakan tahu raguku, kau berusaha keras untuk meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kau bilang jika sapa ini akan segera kau sempurnakan dengan hubungan yang lebih sakral. Seperkian detik raguku mulai berangsur runtuh berganti dengan rasa yang semakin bertumbuh.

Aku menerima julukan baru yang kau berikan masih dengan setengah hati. Jujur, semua itu kulakukan karena hatiku belum sepenuhnya siap untuk menerima kehadiranmu dengan keadaan hati yang masih ingin ku pulihkan seutuhnya.
Namun, aku sangat menghargai kejujuran mu. Terimakasih atas pengakuan mu. Terima kasih pula telah sudi membiarkan rasa ini melebur dengan waktu yang sedikit lamban.

Mencintaimu Dengan Kemunduran Ku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang