Episode Dua puluh Lima

1.5K 70 6
                                    

Happy Reading. Follow, vote dan komen ya.

***
Jingga tiada henti memandangi cincin yang melingkar di jari manisnya tepatnya tangan bagian kiri. Dia rasa kejadian kemarin seolah mimpi baginya, tapi setelah dia bangun tidur nyatanya cincin yang dikenakannya itu masih ada.

"Ternyata bukan mimpi." Bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman manis. Di balik tirai kamarnya, Sunandar melihat putrinya yang tampaknya begitu bahagia. Jingga sepertinya tidak sempat menutup pintu kamarnya, mungkin karena tidurnya yang terlalu cepat.

Menyadari jika dirinya tengah diperhatikan, dia pun segera bangkit dari tidurnya.

"Ayah," panggilnya pelan. "Kenapa?"

Tatapan sang Ayah yang semula tampak sendu, tapi kini dia kembali berseri lagi. "Ayo kita sahur dulu, Nak."

Sunandar melambaikan tangannya, memanggil putrinya untuk segera melaksanakan makan sebelum adzan subuh, atau bisa disebut sahur.

"Sehari lagi kita puasa lho!" Begitu yang dikatakannya.

Namun, begitu Jingga hendak turun dia merasakan hal yang tidak enak menurutnya. Kejadian ini pasti selalu dirasakan oleh kebanyakan perempuan, setiap awal bulan selalu saja datang. Seingatnya, di bulan ramadhan ini dia memang belum datang bulan. Maka dari itu, wanita yang baru saja dilamar si Imam Tarawih pun lebih dulu ke toilet.

Setelah beberapa menit berada di toilet, wanita itu pun kembali lagi menghampiri sang Ayah. Dia terduduk di depan pria paruh baya itu.

"Ayo makan."

"Besok enggak puasa dulu, Yah. Biasa, cewek." Tanpa dijelaskan pun Sunandar mengerti dengan apa yang disampaikan putrinya.

"Ya enggak apa-apa ikut makan aja." Sunandar menyodorkan beberapa makanan di hadapannya, tapi Jingga menggeleng pelan.

"Nanti aja, Yah. Jingga masih mikirin banyak hal."

Pria paruh bay itu terkekeh pelan. "Jangan banyak dipikirin. Emang mikirin apa sih, Nak?"

Wanita itu mengulum senyumannya seolah ada sesuatu yang tampaknya disembunyikan. "Gimana ya kalau nanti Jingga udah sah sama Imam Tarawih. Terus sahur, tapi akunya lagi datang bulan. Apa Jingga harus tungguin dia makan atau lanjutin tidur aja, Yah?"

Pertanyaan itu membuat Sunandar nyaris tersedak. Bisa-bisanya Jingga bertanya demikian, padahal dia sudah dewasa, tapi pola pikirnya masih saja polos.

"Ayah minum dulu nih." Jingga segera memberikan segelas air putih pada Sunandar.

Daripada tenggorokannya terasa serat, makanya dia lebih dulu minum beberapa kali tegakkan. Lalu, kini kembali lagi menatap putrinya yang tengah menunggu jawabannya dengan setia.

"Kalau udah punya suami, walau pun kamu sedang tidak berpuasa, tetap temani suamimu, Nak. Masa iya tidur lagi, terus tinggalin suamimu makan sendirian. Emangnya kalau kamu ditinggal makan sendiri kayak gitu mau juga? Enak enggak?" tanya Sunandar, dia pun kembali menyimpan gelas yang sempat dipegangnya.

Putrinya pun terdiam begitu mendapati perkataan ayahnya. Ada benarnya juga dengan apa yang dikatakan Sunandar, jika seorang istri itu harus selalu berada di samping suaminya. Salah satu contohnya, semisalkan saat makan. Jangan biarkan dia makan sendirian apalagi kalau meninggalkannya karena untuk melanjutkan tidur.

"Berarti nanti kalau aku jadi istrinya Imam Tarawih juga harus gitu ya, Yah?" tanyanya, menaikkan sebelah alisnya.

Hal itu membuat Sunandar tergelak, dia mengusap puncak kepala putrinya pelan.

"Enggak terasa ya kamu sudah besar, Nak." Begitu yang dikatakannya. Hal itu membuat Jingga tersenyum, merasa terharu juga atas perlakuan seorang Ayah pada anaknya.

IMAM TARAWIH (Terbit✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang