Episode Enam

1.7K 89 0
                                    

Suara adzan magrib berkumandang terdengar sangat merdu, bahkan Jingga sampai termenung mendengarkannya seolah melupakan puasanya untuk berbuka. Sunandar sudah lebih dulu memakan kurma, tapi putrinya itu masih saja bengong kayak orang kesurupan.

"Buka dulu, Nak." Sunandar pun menepuk pundak anaknya, hal itu membuat Jingga tersadar dari lamunannya. Entah sudah berapa lama dia seperti itu, keterkejutannya membuat sang Ayah tergelak. Wanita itu tercengang saking kagetnya.

"Kenapa bengong terus? Hati-hati kesurupan lho!" ungkap ayahnya.

"Jingga terkesima sama suara orang yang sekarang sedang adzan, Yah." Pada akhirnya pun Jingga berkata jujur. Jingga meraih segelas air lalu segera membatalkan puasanya lebih dulu.

Lebih dulu Sunandar terdiam untuk menyimak suara adzan yang memang sangat merdu. "Oh ini anaknya Pak Haji."

"Idaman banget ya, Yah?" tanya Jingga pada sang Ayah yang tengah makan kurma.

"Maksud kamu, Nak?" tanya Sunandar tidak mengerti, dahinya mengernyit hingga tampak beberapa garis halus di sana.

"Idaman kalau jadi menantu Ayah, ya kan?"

Pertanyaan Jingga nyaris saja membuat sang Ayah menelan biji kurma, untungnya dia bisa segera mengeluarkan satu biji itu dari mulutnya.

"Menantu Ayah? Kamu suka sama Cep Vickry?" tanya Ayah, membuat Jingga mengulum senyumnya saking tersipu malu.

"Jawablah dengan jujur Jingga," ucap Sunandar, tatapannya tidak terlepas menatap putrinya dengan tajam. "Apa yang kamu rasakan?

"Jingga enggak tahu ini rasa apa, entah antara kagum atau memang Jingga jatuh cinta, pokoknya Jingga merasa penasaran kalau sehari aja enggak lihat dia atau dengar suaranya." Wanita itu saja tidak memahami perasaannya, tapi dalam hatinya yang paling dalam dia ingin memiliki Ustadz muda itu sepenuhnya.

"Yaampun, Nak." Sang Ayah mengusap wajahnya dengan gusar, hal itu membuat Jingga bertanya-tanya. Apakah ayahnya tidak ingin mempunyai menantu seorang Ustadz? Atau memang karena tidak suka pada Vickry? Beberapa pertanyaan menumpuk di dalam kepalanya, Jingga rasa ini akan seperti dalam serial tentang cinta yang tak direstui. Mereka harus menguatkan perasaan demi mendapatkan lampu hijau untuk menuju ke gerbang KUA.

"Kenapa, Yah?" tanya Jingga memastikan.

"Kenapa kamu suka sama dia?" tanya Sunandar. Sudah kubilang juga apa jika Ayah itu memang tidak suka pada Vickry. Mungkin karena takut diceramahi jika dirinya salah, padahal aku yakin jika lelaki itu sangat perhatian pada orang tua juga menghormati.

"Ya namanya juga cinta, Yah."

"Pokoknya kamu jangan jatuh cinta!" sergah Sunandar dengan nada suara yang tinggi. Hal itu membuatku  mengerucutkan bibir saking kesalnya.

"Emangnya kenapa sih, Yah? Jatuh cinta kan hal yang wajar." Jingga membela diri, toh memang benar jika dia juga manusia punya hati tentunya berhak jatuh cinta.

"Kamu masih kecil, Nak. Ayah belum merasa puas menjaga kamu, kalau semisalkan kamu jatuh cinta terus menikah, ikut dengan suamimu, lalu Ayah dengan siapa? Ayah tidak punya siapa pun lagi selain putri cantik Ayah."

Perkataan Sunandar membuat Jingga terharu, baru kali ini dia melihat sang Ayah menitikkan air mata hanya karena membicarakan perihal dirinya. Tentu saja, hal itu sangat menyakitkan baginya.

Sunandar memang melewatkan banyak hal kebersamaan dengan putrinya. Hingga dia tidak begitu tahu banyak bagaimana Jingga tumbuh hidup menjadi seorang wanita yang sangat cantik. Pria itu tidak akan pernah tahu tentang kehidupan Jingga dari kecil yang begitu sangat terpukul dengan lingkungan sekitarnya.

"Ayah, Jingga sekarang udah dewasa. Lupa ya?" Putrinya terkekeh pelan karena ternyata sang Ayah masih menganggap jika dirinya seorang anak kecil.

Pria itu terdiam, suasana di antara kami pun menjadi hening seketika. Hal itu membuatku berpikir keras, apa Jingga salah berbicara?

Sunandar bangkit dari duduknya, lalu Jingga dengan cepat mencekal pergelangan tangannya seolah menahan sang Ayah agar dia tidak pergi. Dia hanya ingin membicarakan banyak hal bersama ayahnya untuk hari ini, esok dan sampai keesokannya lagi.

"Ayah, apa Jingga salah bicara?"

"Ayah akan segera ke masjid," jawabnya. Hal itu membuat Jingga segera mendongak memandangi jam dinding yang jaraknya tidak jauh dari dekat kami.

"Kalau gitu hati-hati ya, Yah." Jingga melambaikan tangannya lebih dulu pada sang Ayah.

Wanita itu kembali terduduk di posisi sebelumnya, lalu tanpa disadari pikirannya terus saja terlintas pada sosok lelaki yang memiliki kharisma. Suatu permasalahan saat bulan ramadhan kali ini, mendengar suara seorang imam yang begitu merdu membuat Jingga juga beberapa tetangga yang lainnya saling memberi support agar dia selalu sering meng-upload segala hal yang terjadi di zaman sekarang. Pastinya dong bakalan viral.

"Kenapa sih kamu selalu saja ngabuburit di kepalaku? Memangnya ada tukang takjil gitu? Kalau memang ada aku nitip!"

Sudah kayak orang gila banget sih kamu Jingga, masa iya tembok diajak tausyiah.  Cicak di dinding saja yang tengah mencari iman kesolehan menunjuk ke arahku. Akan tetapi, hal itu membuatku sangat keras.

***
Mengintip di dekat jendela sekarang sudah menjadi kebiasaan baru bagi Jingga. Padahal salat tarawihnya pula sudah selesai dilaksanakan. Lalu, apa yang membuatnya tetap bertahan diam di sana?

Dikerumuni oleh beberapa anak bocah yang tengah meminta tanda tangannya. Dia begitu sabar saat menghadapi anak-anak yang tidak bisa bersabar meski satu detik saja.

Lagi, Jingga terasa tergelitik dengan segala sikap yang ditunjukkan si imam tarawih itu.

"Apa aku harus minta tanda tangan juga kayak mereka biar bisa dekat dengan Ustadz Vickry?"

Ide cemerlangku ternyata kembali hadir disaat diriku tengah membutuhkannya.

Seorang anak kecil perempuan tengah berlari, tapi dia terjatuh hingga mengaduh kesakitan saat itu. Dikarenakan ide cemerlangku sudah matang, sepertinya aku akan mengecilkan suaranya lebih dulu agar tersamarkan suaranya.

"Dek, mau pinta tanda tangan ke Ustadz Vickry, tapi pada akhirnya wanita itu memang disuguhkan dengan beberapa hal juga perasaann.

"Iya, Tan. Kenapa?"

"Sini bukunya, tanda tangannya biar sama Kakak aja yang minta."

Tanpa berpikir ulang anak itu menyerahkannya padaku. Lalu, segera menghampirinya yang tengah memfokuskan dirinya untuk memberitakan tanda tangan di beberapa buku yang lainnya.

"Minta tanda tangan ya, Pak Ustad."

Untuk beberapa saat Imam Tarawih itu terdiam memandangi wanita yang kini mesem-mesem padanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untuk beberapa saat Imam Tarawih itu terdiam memandangi wanita yang kini mesem-mesem padanya.

"Masih ingat aku kan? Kalau lupa kita kenalan lagi."

Kali ini Jingga tidak menyodorkan tangannya, tapi dia melemparkan senyuman selebar nan semanis mungkin.

****
Baper belum? Wkwk

IMAM TARAWIH (Terbit✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang