Episode Empat Puluh Enam

2.2K 51 1
                                    

Happy Reading ....

***

Tidak dapat dipercaya sampai detik ini bahwa dirinya sudah menjadi istri sah seorang ustadz muda yang ditaksirnya saat salat tarawih. Dia terkekeh sendiri kala klise dirinya sendiri sewaktu itu, bisa dikatakan dirinya sangat ugal-ugalan begitu mengejar cinta Vickry, dan Nurani pula yang merupakan temannya menjadi saksi.

"Nak." Suara Umi Salamah terdengar lembut, hal itu membuat Jingga segera menoleh ke arahnya, memandanginya beberapa saat lalu melemparkannya senyuman manis nan hangat.

Umi Salamah mendekap Jingga dengan erat, dia juga menggenggam jemarinya seolah enggan melepasnya. Menantunya pun membalas pelukannya, sesekali mengusap punggungnya lembut.

Beberapa detik kemudian Umi Salamah melepaskan pelukannya, lalu dia memandangi menantunya dengan tatapan hangat. Entah kenapa hati Jingga terasa tidak tenang saat dipandangi seperti itu oleh mertuanya. Wanita paruh baya itu seolah tengah menyimpan ribuan kata yang tidak bisa dikatakannya sekarang.

"Selama Mas Vickry belum pulang, Jingga tinggal dulu sama Ayah ya, Mi. Lagipula Jingga sudah meminta izin kok sama mas Vickry." Seulas senyuman yang ditampakkannya begitu memandang mertuanya.

Namun, Umi Salamah tidak menjawabnya sekali pun, dia justru mengusap lembut punggung tangan Jingga seolah tengah menenangkannya.

"Umi dulu setelah menikah sama Abi sempat ditinggal juga ya?" tanya Jingga memastikan, lalu dia terkekeh pelan. "Dan, sekarang aku yang merasakan ya, Mi."

Tidak berselang lama, dua kakak perempuan Vickry dating menghampiri mereka, tatapannya terlihat tegang seolah tidak bisa melukiskan senyuman seperti halnya Jingga yang kini menyambut mereka dengan lengkungan manisnya.

"Tante, Om kasihan."Ponakannya yang justru membocorkan, padahal mereka semua tidak tega menyampaikan berita tersebut. Pastinya akan terasa sakit saat didengar Jingga.

"Om sudah pergi barusan. Nanti kalau Om pulang, ajakin main bareng ya sama kamu, ganteng." Jingga menjawil dagu ponakannya dengan gemas.

"Tapi Om sekarang sakit, Tante. Om enggak pergi."

Mendengar pernyataan itu membuat Jingga memandangi sang mertua serta dua kakak iparnya.

"Maksudnya apa?" tanyanya kebingungan.

"Vickry kecelakaan, Jingga." Pernyataan tersebut disampaikan oleh kakak pertama suaminya.

Kalimat tersebut membuat Jingga menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya saking terkejutnya. Dia menggeleng cepat, "enggak. Mas Vickry kan katanya mau pergi ke luar kota."

"Mbak akan jelasin ke kamu, tapi Mbak mohon kamu tenang ya." Wanita itu berusaha menenangkan Jingga yang kini pertahanannya mulai runtuh, tapi Umi Salamah menguatkannya, dia menggenggam jemari menantunya dengan erat sembari membaca istigfar.

Jingga mengangguk pelan, kedua matanya mulai memanas, tapi dia masih bisa menahan diri untuk tidak menangis.

"Saat perjalanan hendak ke sana, mobil yang dinaiki Vickry saling bertabrakan dengan mobil truk. Sekarang, Vickry dan Pak Nizam sudah dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang insentif." Penyampaian dari kakak tertua memang sangat tenang, membuat Jingga mudah mencernanya.

"Di rumah sakit mana, Mbak?" tanya Jingga.

"Ayo Mbak antar. Kita ke sana bareng-bareng."

***

Jingga berusaha menguatkan dirinya, padahal dia tidak sekuat kelihatannya. Bahkan hatinya sudah memberontak, wanita itu seolah tidak menerima dengan kejadian seperti hari ini. Dirinya sangat marah, tapi terus mencoba untuk menahan emosinya.

Ayahnya juga ada di sana, duduk bersebelahan dengan Abi Arsyad. Melihat kedatangan putrinya yang terlihat melamun, dia segera mendekapnya erat. Akan tetapi, putrinya tetap terdiam membisu. Dalam pikirannya terus tertuju pada sang suami dan kenangannya.

Pandangannya kini beralit pada jendela kaca yang memperlihatkan Vickry tengah terbaring lemah, beberapa alat medis telah terpasang di beberapa bagian tubuhnya. Istri mana yang tidak sakit melihat suaminya dalam kondisi seperti itu. Begitulah yang dirasakan oleh Jingga sekarang, dia menutup mulutnya, menahan diri agar isak tangisnya tidak terdengar.

Tidak lama kemudian, dia melihat tubuh suaminya tampak tidak tenang, nyatanya Vickry mulai kejang hingga dokter dan beberapa suster di dalam ruangan kelihatan panik. Hal itu membuat Jingga mulai bereaksi, dia hendak berlari menuju pintu, tapi dengan cepat ayahnya mencekal pergelangan tangannya.

"Ayah, lepasin!"

"Nak Vickry sedang ditangani." Sunandar mencoba menghalangi.

"Aku harus ke sana, Yah."

"Ada dokter yang sudah menangani, Nak."

"Tapi aku istrinya, Yah. Aku istrinya Mas Vickry!" sergahnya. Kedua matanya merah, tapi air matanya tetap menggenang di pelupuk matanya, dia cukup kuat menahannya.

Melihat hal itu hati Umi Salamah merasa teriris, dia seolah paham dengan apa yang dirasakan menantunya saat ini.

"Tolong tetap tenang, Nak!" sergah Sunandar, dia mengatakannya dengan tegas dan nada suara yang agak tinggi.

Jingga menggeleng cepat, "aku enggak bisa ngebiarin Mas Vickry sendirian aja, Jingga harus temenin. Aku istrinya, Yah!"

"Ayah tahu kalau kamu itu istrinya, tapi apakah kamu tahu apa yang harus kamu lakukan di sana? Menangis di hadapan mereka? Tidak akan ada hasilnya, Nak. Karena yang dibutuhkan Nak Vickry sekarang adalah doa kamu, doa kita, doa kita semua." Sunandar menarik lengan putrinya, lalu dia mendekap tubuh Jingga ke dalam pelukannya.

Saat itulah bulir bening yang sebelumnya menggenang di pelupuk mata Jingga, kini meluncur begitu saja membasahi kedua pipinya. Isak tangisnya terdengar pilu, bayangan klise terus berputar memenuhi pikirannya.

***

Berdoa bersama sudah dilakukan mereka, kini tinggal berserah kepada sang pemilik semesta, mereka juga tidak bisa memaksakan segala kehendak, karena semua yang terjadi sudah menjadi qadarulloh.

Keluarga dari Vickry pun berdatangan, terlebih lagi dia sudah dinyatakan meninggal dunia. Istrinya semakin terpukul karena di hari yang sama dua orang yang dicintainya pergi untuk selamanya. Umi Salamah berusaha menenangkannya, menggenggam jemari Jingga , meski pada saat itu juga dia tengah membutuhkan pelukan.

Tidak lama kemudian, dokter yang menangani Vickry keluar dari ruangan, dia terlihat tampak gelisah begitu bertemu banyak orang, terlebih lagi saat kedua matanya saling pandang dengan Jingga yang sudah lebih dulu menghadap ke arahnya dengan tatapan sendu.

"Maaf, semua yang terjadi sudah menjadi kehendak-Nya." Pria itu menundukkan pandangannya sangat dalam.

"Mas Vickry!" teriak Jingga.

Ingatan masa lalunya seolah kembali lagi, hal itu membuatnya semakin meringis karena terasa semakin sakit. Dia tersedu sembari memegangi dadanya yang teramat sesak. Tidak hanya dirinya saja, bahkan Umi Salamah juga tengah dirangkul suaminya karena nyaris terjatuh pingsan. Dua kakak perempuannya mondar-mandir berusaha menghubungi keluarga mereka semua.

Saat semua orang lengah, Jingga pun berlari masuk ke dalam ruangan hingga beberapa suster menahannya agar tetap tenang.

"Mas! Apa ini yang kamu katakan hanya sebentar? Kamu memang menepati janji akan segera pulang, tapi apa kamu lupa dengan keinginan terakhirmu sendiri? Mas, padahal Jingga belum sempat menghafal lagi, tapi kenapa Mas pulang secepat ini, kenapa, Mas?"

"Mas, kenapa kamu diam saja? Kenapa tidak menjawab pertanyaan Jingga?" tanyanya lagi.

Dia mendekap tubuh suaminya sangat erat seolah tidak akan melepaskannya begitu saja, tapi Sunandar cepat menghentikan aksi putrinya karena merasa kasihan pada menantunya yang sudah pergi tenang.

"Imamku, Anna Uhibbuka Fillah till jannah."

*** 

Instagram : fidyputrii

IMAM TARAWIH (Terbit✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang