Episode Dua Puluh Tujuh

1.4K 93 4
                                    

Happy Reading 🥰
Follow akun author, vote dan komen ya.

***
Suara takbir berkumandang dengan merdu, sebagian anak berbondong-bondong ke masjid untuk ikut membacakan takbir bersama. Ada pula anak-anak seusia lima tahunan tengah bermain petasan yang dibimbing oleh ayahnya. Sedangkan ibu-ibu yang biasanya berbincang bersama sekedar membicarakan resep makanan, kini tengah mengolah bahan untuk dijadikan sajian menu di hari lebaran.

Perempuan yang kini tengah menatap rembulan di balik jendela kembali teringat pada memorinya di tahun yang lalu.

Jingga tidak seperti kebanyakan orang yang memeriahkan hari raya dengan suka cita, justru dia memilih untuk mengurung diri di dalam kamar, menangisi kerinduannya pada sang Ibu yang setelah sekian lama meninggalkannya.

Sunandar selaku ayahnya berusaha meluapkan rasa kesedihan yang dirasakan putrinya. Dia mengetuk pintu kamarnya mencoba meminta Jingga agar segera keluar tuk menemaninya di ruang tengah.

"Nak, sini. Temani Ayah. Masa malam takbirnya di dalam kamar terus," ucap Sunandar, sesekali dia mengetuk pintu kamar putrinya pelan.

Merasa ada benarnya juga, Jingga juga kasihan pada ayahnya yang pasti tengah merasakan sedih karena dia pula merindukan sosok pujaan hatinya. Hal itu pun membuatnya tergerak untuk segera keluar dari kamarnya. Akan tetapi, lebih dulu wanita itu menyeka air matanya dengan kasar berusaha untuk menenangkan diri

"Ayah tahu kamu pasti merindukan ibumu kan?" tanyanya. Hal itu membuat Jingga mengangguk membenarkan apa yang ditanyakannya.

"Jingga enggak pernah merasakan hari raya bersama Ibu." Perempuan itu terus saja berusaha untuk menahan tangisannya agar tidak meluncur begitu saja, tapi tetap saja tidak berhasil dilakukannya.

"Kan nanti juga kamu merasakannya. Hari raya bersama Ibu mertua." Sunandar terkekeh pelan, hal itu pun membuat Jingga ikut tersenyum juga. Meski pun pria itu merasakan duka yang mendalam di hatinya, tapi bagaimana pun juga dia harus bisa membuat putrinya bahagia dan tidak ingin melihatnya menitikkan air mata.

"Itu sih nanti kalau udah nikah, Yah. Tapi kan tetap saja beda rasanya."

Percakapan seperti itu yang seringkali terjadi di setiap tahun sejak hubungan Sunandar dan Jingga mulai dekat. Pria itu tidak lagi berpikir jika putrinya salah satu bencana karena keberadaannya sudah membuat hidupnya berantakan karena kehilangan pujaan hatinya saat putrinya dilahirkan. Justru pria itu mengatakan jika kehadiran Jingga suatu anugerah baginya dan cahaya yang menyinari hidupnya.

Akan tetapi, kalimat tersebut di malam takbir ini tidak terdengar lagi, karena Jingga sedang berada di rumah sakit untuk menjaga seorang wanita yang tengah melenguh sesekali saat merasakan ngilu yang teramat menyakitkan di bagian perutnya. Mungkin hal itu terjadi karena bekas jahitan yang belum mengering, masih terasa bagaimana sakitnya.

Vickry memutuskan untuk pulang, karena dia juga banyak acara yang harus diisi. Namanya juga ustadz muda kondang, yang tidak pernah surut undangan acaranya.

Sedangkan Umi Salamah memutuskan untuk menemani calon menantunya, tapi kali ini dia sedang keluar sebentar.

"Jingga," panggil Aisyah yang tengah terbaring lemah di atas brankar.

Wanita itu menoleh, melirik ke arah Jingga yang tampaknya diam saja di depan jendela.

"Jingga, kamu sedang apa?" tanyanya lagi.

Hal itu membuat Jingga segera menyeka air matanya lebih dulu, dan menoleh ke belakangnya. Tampaknya Aisyah tengah menatapnya.

"Ada apa, Mbak Aisyah?" tanya Jingga merespon panggilan dari wanita yang kini tengah menatapnya dengan tatapan lembut.

"Terima kasih ya sudah banyak membantuku." Jingga menanggapinya hanya dengan senyuman tipis.

"Tentu saja. Lagipula, Ustadz Vickry memintaku untuk membantumu kan?" jawab Jingga pada akhirnya.

"Iya. Aku benar-benar masih tidak percaya jika dia ternyata masih mempedulikanku." Begitu yang dikatakannya. Hal itu membuat Jingga terperangah.

"Siapa maksudnya?" tanya Jingga tidak mengerti.

"Vickry. Dia masih mempedulikanku. Aku kira, dia sudah sangat membenciku karena keputusan saat itu." Aisyah menatap ke atas plafon kamarnya yang berwarna putih, hanya ada beberapa noda di sana, salah satunya berupa helai sarang laba-laba yang tidak tersapu sempurna oleh karyawan yang bertugas membersihkan rumah sakit ini.

"Memang, dulu kalian ada hubungan apa?" tanya Jingga mendesak. Dia ingin tahu sebenarnya wanita itu dengan calon suaminya ada hubungan apa, karena terlihat dari caranya mereka memandang itu sangat terlihat berbeda. Dan, dari cara berbicara juga, keduanya saling menjaga ucapannya agar lidahnya tidak meleset begitu aja yang mungkin saja dapat menyakiti hatinya.

"Tidak ada hubungan apa pun. Hanya saling menjaga hati, dan saling memberikan komitmen. Kami saat itu benar-benar berusaha melawan diri agar perasaan tersebut tidak terungkapkan di saat waktu yang tidak tepat. Akan tetapi, nyatanya waktu itu benar-benar tidak ada yang tepat, karena aku harus memenuhi keinginan orang tuaku yang menginginkanku untuk segera menikah dengan seorang pria, usianya lebih tua beberapa tahun dari Vickry." Dia menjelaskan semuanya, senyumannya tidak pernah pudar dari raut wajahnya. Akan tetapi, berbeda dengan Jingga yang kini tampak memucat.

Tubuhnya menegang, segala asumsi yang ada dalam pikirannya ternyata benar jika mereka mempunyai kenangan di masa lalunya. Pantas saja keduanya tampak terlihat berbeda. Hal itu membuat Jingga terasa lemas, karena pernyataan dari wanita itu berhasil menyesakkan dadanya.

"Artinya kalian pernah saling mencintai?" tanya Jingga. Kedua matanya sudah mulai memanas, dia rasa sangat sulit sekali untuk menahan air matanya yang nyaris keluar membasahi kedua pipinya.

"Aku rasa jika soal perasaan sangat sulit sekali untuk ditebak. Kami tidak pernah saling mengutarakan, hanya menyampaikan komitmen saja untuk masa depan, tapi semua nyatanya takdir bertolak belakang. Kami tidak pernah menyatu." Dia menyunggingkan senyumannya ke arah Jingga yang kini juga membalas senyumannya.

"Tapi kamu sangat mencintainya kan?" tanya Jingga mendesaknya agar dia menjawab dengan jujur.

"Ah, kenapa kami malah membicarakan hal ini. Aku malah curhat juga sama kamu." Dia terkekeh pelan saat menyadari dirinya memperbincangkan hal tersebut.

Tidak lama kemudian, Umi Salamah datang dengan membawa dua kantong kresek di tangannya.

"Eh, Nak Aisyah sudah bangun? Berbaring dulu ya, Nak. Kamu masih belum pulih." Umi Salamah bertutur kata dengan lembut, dia mengelus puncak kepala wanita itu yang tertutupi dengan hijabnya.

"Nak Jingga. Ayo makan dulu. Barusan saat berbuka puasa kamu belum makan apa-apa lho."

"Jingga kan emang lagi halangan, tidak berpuasa, Mi." Wanita itu segera  mengalihkan pandangannya saat Umi Salamah melirik ke arahnya. Dia berusaha untuk menahan air matanya agar tidak berjatuhan.

"Tapi, dari pagi Umi juga enggak melihat kamu makan apa-apa lho. Ayo makan dulu, Nak." Umi Salamah segera menyodorkan makanan yang sudah dibelinya.

"Mi, Jingga ke toilet dulu ya. Udah kebelet nih." Wanita itu pun berlalu pergi begitu saja dengan langkah yang cepat.

Umi Salamah heran dengan tingkah calon menantunya seperti tidak ada yang beres.

Bertepatan saat dia membuka pintunya, sosok Vickry hendak masuk ke dalam ruangan, otomatis kedua matanya saling bertemu. Bersamaan itu juga, air mata Jingga menetes begitu saja.

"Jingga," panggilnya lirih. Akan tetapi, panggilan tersebut tidak dijawab Jingga sama sekali. Bahkan dia berlalu pergi begitu saja.

Soundtrack lagu Rakaat Terakhir oleh Nabila Elisa mengiringi langkah Jingga yang menghindar menjauh dari Vickry.

Sepanjang langkahnya dia terisak, tangisannya tidak dapat dihentikan. Wanita itu benar-benar merasa hatinya sangat terluka, kali ini bukan tentang kisah lomba seperti di sekolah dasar, tapi soal cinta yang tidak saja digapainya.

***
Aduh, Aisyah kayaknya belum tahu jika Jingga itu calon istrinya Vickry.

Kebayang kan jadi Jingga gimana rasanya? Pasti sangat sakit sekali.

Sabar ya, Jingga.

Follow Ig aku : cloveriestar

IMAM TARAWIH (Terbit✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang