Episode Tiga Puluh Empat

1.4K 74 4
                                    

Happy Reading 🥰 Follow, vote dan komen ya.

***

“Kok Imam Tarawih belum aja datang ya?” tanya Jingga entah pada siapa. Dia ditinggal Rini sebentar yang menjelaskan perihal makanan cathering di sana.

Jingga sudah memilihnya, hingga persiapan pernikahannya nyaris tuntas karena pilihan makanan sudah selesai. Dia bisa bernapas lega sekarang, karena pada pernikahan impiannya akan segera tiba.

Namun, wanita itu juga di hari ini merasa tidak tenang, karena calon suaminya sama sekali belum terlihat. Padahal dia sudah berjanji akan menyusulnya saat di tempat cathering.

Entah sudah berapa kali Jingga menelponnya, tapi nomer yang dituju selalu berujung dijawab oleh seorang perempuan merupakan pegawai kartu prabayar jika sang lawan bicara tidak dapat dihubungi.

Dikarenakan soal cathering sudah selesai, Jingga pun berniat untuk menunggunya di luar. Barangkali calon suaminya terlambat karena mengurusi urusan pekerjaan. Tidak aneh juga jika suaminya itu orang terpandang yang mempunyai banyak kesibukan. Dia hanya bisa memakluminya, memang benar harus belajar dari sekarang, apalagi setelah menikah nanti dirinya pula harus jauh lebih sabar.

Hujan turun, membuat kedua bola mata Jingga dapat dimanjakan dengan memandangi butiran-butiran air dari langit. Sesekali wanita itu juga menyodorkan tangannya untuk membiarkan air tersebut berjatuhan membasahi telapaknya.

Di sisi lain, calon suaminya segera melirik ke arah jendela kaca, dia tengah berusaha untuk mengingat. Hal apa yang membuatnya ingin segera pulang dari hadapan Aisyah, tapi lelaki itu benar-benar melupakannya.

“Alasan saya tidak ingin melihatmu di pernikahan kami, karena mungkin saja kamu akan bertingkah di depan Jingga. Saya tidak mau kalau calon istri saya itu menangis.” Dengan sangat jelas sekali Vickry mengatakannya pada wanita di depannya.

Aisyah terkekeh pelan begitu mendengar jawaban dari Vickry, karena bagaimana pun juga dia tidak akan mungkin sekejam itu.

“Kamu sangat mencintainya atau justru sedang menjaga hatiku?” tanya Aisyah, kedua bola matanya tampak berkaca-kaca, tapi wanita itu berusaha untuk menenangkannya dengan cara mengembuskan napasnya berkali-kali.

Pertanyaan dari Aisyah membuat Vickry terdiam, dia merasa bersalah karena sudah bertemu dengan perempuan yang seharusnya tidak untuk ditemuinya.

Vickry beranjak dari duduknya, dia hendak pergi, tapi Aisyah masih saja menahannya agar lelaki itu tidak meninggalkannya.

“Aku akan datang di hari pernikahan kalian. Tenang saja, hatiku akan baik-baik saja. Tidak usah khawatir.” Dengan susah payah Aisyah menyunggingkan senyumannya, dia berusaha untuk menenangkan dirinya dengan cara mengembuskan napasnya berulang kali.

Lelaki itu sudah merasa bersalah, Vickry segera melangkah cepat pergi dari hadapan Aisyah yang kini terkekeh pelan sembari terisak menangis.

***
Menunggu Vickry sampai larut malam sepertinya sudah terlalu berlebihan untuk seorang Jingga. Dia merasa harus tetap berada di depan tempat pemesanan cathering, karena calon suaminya sudah berjanji sebelumnya jika dia akan menyusul.

Bisa saja dia pulang, terlebih lagi Bu Rini memberitahu jika tempat catheringnya sudah waktunya untuk tutup, tapi dia enggan beranjak di depan pekarangan tempat tersebut. Ditambah lagi, keadaannya sedang hujan deras, membuatnya tetap terduduk di sana. Sendirian, dan kedinginan.

“Imam Tarawih, kamu ke mana sih? Masih sibuk ya?” tanyanya. “Eh, iya aku lupa kalau calon suamiku kan seorang ustadz, tentu saja banyak jadwal acaranya.” Jingga terkikik geli sendiri, dia tiada henti mengingat sosoknya yang seringkali melintas ke dalam pikirannya.

Merasa kasihan pada pelanggannya, Bu Rini segera menghubungi Umi Salamah jika calon menantunya masih menunggu putranya yang belum saja datang menyusulnya. Dia berinisiatif melakukannya, karena merasa khawatir jika sang calon mempelai pengantin wanita jatuh sakit menjelang pernikahan karena terlalu lama di luar dengan cuaca malam yang sangat dingin mencekam.

“Jingga ke sana sendirian?” tanya Umi Salamah, terkejut begitu mendapatkan kabar dari Bu Rini yang menelponnya. Bertepatan, saat itu juga putranya baru pulang dengan wajah kusut.

Umi Salamah menyudahi panggilannya dengan Bu Rini, dan memilih menghadap putranya.

“Kamu dari mana? Kamu membiarkan Jingga ke sana sendirian, tungguin kamu sampai sekarang.” Umi Salamah menggeleng pelan begitu melihat wajah putranya yang tampak terkejut dengan ucapannya.

“Jingga tunggu saya?” tanya Vickry memastikan.

“Ya. Dia menunggu kamu di tempatnya Bu Rini. Sebenarnya kamu barusan ke mana, Nak?” tanya wanita paruh baya itu dengan nada kesal.

Tidak ingin membuat calon istrinya menunggu semakin lama, Vickry pun segera berlari ke luar menuju mobilnya yang terparkir di depan rumahnya.

***
“Aku pulang aja kali ya?” tanya Jingga lirih.

Dia sesekali menengok ke kanan-kiri barangkali suaminya itu datang menghampirinya, tapi dia tidak menemukan siapa pun. Hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang, membuatnya mendengus kasar karena harapannya seolah pupus begitu saja.

Jingga pun beranjak dari duduknya, kedua tangannya memeluk tubuhnya dengan erat, berusaha untuk menghangatkan dirinya, meski nihil dilakukannya karena cuaca terlalu kejam membuat badannya mengigil karena kedinginan.

“Afwan.” Suara berat yang terdengar di telinganya membuat denyut jantungnya tidak beraturan. Bersamaan itu, posisinya sekarang seolah teduh, meski air hujan masih membasahi bumi.

Wanita itu mendongak, hingga matanya mendapati sebuah pelindung warna biru dongker. Begitu dia memandangi payung yang meneduhkannya, bertepatan saat itu juga sang calon suami melirik ke arahnya hingga dia bisa melihat sosok Jingga dari dekat. Hanya saja, adegan tersebut tidak berlangsung lama, karena Vickry segera menundukkan pandangannya dan melafalkan istighfar.

Vickry segera menyodorkan payung di tangannya pada sang calon istri. Dia justru memilih mengenakan kupluk jaket yang melekat di tubuhnya.

“Aku tahu kalau kamu pasti akan datang.” Jingga bersuara begitu dia menerima payung tersebut. Lengkungan senyumannya terukir manis di raut wajahnya.

“Afwan.” Vickry kembali mengulangi perkataannya. Dia terus saja menundukkan pandangannya.

“Aku tahu kalau kamu sibuk kan? Maklum, Imam Tarawih kan banyak kerjaannya. Dakwah ke sana-sini. Aku paham. Tenang aja, aku enggak marah.” Wanita itu menggeleng pelan, senyumannya tercetak lebar tidak saja memudar.

“Saya bertemu Aisyah, apa kamu tidak marah juga?” Perkataan tersebut bagai petir yang menyambar tubuh Jingga. Beruntung sekali dirinya diguyur hujan, air matanya menyatu dengan tetesan dari langit.

Dadanya terasa sesak, Jingga tidak dapat menahan diri atas kecemburuannya. Kedua tangannya mengepal sangat kuat, dia berusaha untuk tetap tenang dengan mengembuskan napasnya berulang kali, meski hasilnya tetap saja sama.

“Kenapa? Kenapa harus bertemu dengan dia? Itukah alasannya kamu membiarkanku sendiri di sini kedinginan?” tanyanya. Pegangan tangan pada besi payung di genggamannya semakin kuat.

“Afwan, saya yang meminta adanya pertemuan itu.” Dalam satu kali tarikan napas, Vickry mengatakannya dengan lugas.

“Orang lama memang selalu menjadi pemenangnya, dan aku hanya orang baru salah satu pendukung dalam cerita kalian.” Meski berat sekali mengatakannya, tapi Jingga membuka suara hanya untuk menyampaikan kalimat yang begitu menusuk hatinya.

Jingga membuang pandangannya, bahkan dia juga melepaskan payung dalam genggamannya. Wanita segera menyeka air matanya dengan kasar, dan memilih melangkah pergi meninggalkan Vickry yang tetap terdiam di tempat. Bahkan, lelaki itu juga tidak mengejarnya, dia malah memilih berdiam diri di bawah guyuran air hujan.

***
Yuhu ... Alhamdulillah update lagi hehe.

Follow akun aku yuk, jangan lupa vote dan komen biar aku semakin semangat🤗

Instagram : Cloveriestar.

Dikarenakan sudah beres ulangan, makanya aku jadi rajin update wkwk sesuai janji.

Gimana nih bagian part ini? 🥲

IMAM TARAWIH (Terbit✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang