Epilog

2.6K 51 10
                                    


Jingga memang sempat mengatakan pada suaminya, jika dia akan selalu memperingati hari pernikahannya, simbolnya dengan kue tart buatannya. Wanita itu melakukannya, dia tidak mengingkari janjinya, tapi hanya seorang diri tidak dengan pria yang mengangguk setuju dengan ide itu.

"Nak, sebaiknya kamu segera mencari kebahagiaan yang lain." Umi Salamah mengusap lembut puncak kepala menantunya yang tertutupi dengan hijab.

Jingga memang lebih sering tinggal di sana, karena dia merasa bahwa suaminya itu masih ada, tapi sedang dinas ke luar kota untuk pergi dakwah. Hal itu seringkali ditangisi Sunandar, karena putrinya harus merasakan kehilangan orang yang dicintainya seperti dirinya.

"Jingga sudah bahagia, Mi." Dia memandangi kue tart di hadapannya dengan nanar, Umi meraih jemarinya dan menggenggamnya dengan penuh kehangatan.

"Bahagia seperti apa yang Jingga maksud, Nak?" tanyanya.

"Jingga menjadi istri Mas Vickry, Imam tarawih yang selama itu diidamkan oleh para kaum hawa, dan Jingga mendapatkannya, Mi." Dengan wajah sumringah, wanita itu mengatakannya dengan penuh percaya diri.

Rasanya sakit sekali saat Umi Salamah mendengar jawaban dari menantunya, dia merasa jika Jingga harus segera mendapatkan pendamping pengganti putranya yang jauh lebih baik, terlebih lagi usianya yang masih muda, dia tidak harus seperti ini.

"Kamu memang mendapatkannya, Nak. Akan tetapi, kamu tidak bisa memilikinya. Semua yang kita dapatkan itu milik Allah, jadi kamu harus ingat dengan hal itu, Nak." Umi Salamah memperingatinya.

Jingga mengangguk mantap, "aku tahu, Mi."

"Kamu juga bisa mendapatkan kebahagiaan yang lain, Nak."

"Aku sudah bahagia, Mi." Jingga masih saja bersikeras mengatakannya.

"Sudah satu tahun Vickry meninggalkan kami, Nak. Umi sangat bersedih sekali, tapi juga bahagia karena Vickry sudah tenang di sana. Dan, sekarang Umi ingin lihat Jingga juga bahagia." Umi Salamah sangat yakin sekali jika hari-hari menantunya dipenuhi dengan rasa sakit yang teramat mendalam.

"Aku tahu itu, Mi. Tapi, aku benar-benar sudah bahagia, Mi." Dia masih saja mengatakannya dengan sangat yakin, di akhir kalimatnya pula adanya penekanan yang seolah menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Nak, meski kamu sudah bahagia saat ini, tapi kamu juga membutuhkan pendamping hidup." Umi Salamah akhirnya pun secara terang-terangan mengatakannya.

Jingga melirik ke arah mertuanya dengan tatapan sendu, "maksud Umi?"

"Umi sekeluarga ikhlas kalau pun kamu menikah lagi, memiliki pendamping, mencari kebahagiaan yang lain, dan Umi juga tidak akan melarang kamu untuk melakukan hal itu. Umi akan selalu menjadi Ibu untuk Jingga, bukan hanya seorang mertua. Umi juga akan selalu mendoakan yang terbaik buat Jingga." Wanita paruh baya itu sekuat tenaga menahan bulir bening yang sedari tadi berusaha meluncur membasahi kedua pipinya.

Jingga menggeleng cepat, dia bahkan menangis saat itu juga, menolak perkataan Umi Salamah atas keyakinan di hatinya.

"Bagi Jingga, menikah itu hanya satu kali seumur hidup, Mi. Jingga ingin bertemu lagi dengan Mas Vickry di surge kelak, berkumpul bersamanya dengan abadi. Soal kebahagiaan, itu bisa dicari melalui apa saja, dan Jingga juga kini sudah sangat bahagia, Jingga tidak merasa kesepian, dan soal kesendirian pun Jingga sangat nyaman sekali berada di posisi sekarang jika saja harus mencari pengganti, lebih baik Jingga tetap seperti ini, Mi."

Mendengar apa yang dikatakan oleh menantunya membuat hati Umi Salamah merasa tersentuh. Dari kejauhan pun obrolan keduanya tengah diperhatikan oleh Abi Arsyad dan Sunandar, keduanya pula ikut tersedu karena apa yang dikatakan Jingga sangat tulus sekali dan berhasil menyentuh hati.

IMAM TARAWIH (Terbit✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang