Episode Dua Puluh Delapan

1.4K 84 8
                                    

Happy Reading 🥰

***

"Maafin Jingga ya, Ayah. Jingga banyak salah sama Ayah."

Sunandar mengusap lembut puncak kepala putrinya, karena bagaimana pun juga Jingga hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, maka dari itu dia terus saja mengecup punggung tangan ayahnya.

"Ayah juga minta maaf sama kamu ya, Sayang." Dia mengatakan hal tersebut pada putrinya, bahkan pria paruh baya itu juga tiada henti mengelus lembut kepala Jingga.

Jingga rasa jika dia masih belum bisa menjadi putri yang baik untuk ayahnya, karena ada banyak hal yang membuatnya tidak bisa untuk dikatakan secara langsung pada Sunandar. Bukannya tidak mau, hanya saja dia rasa enggan untuk mengatakannya.

Sepertinya permintaan maaf itu berkaitan dengan masa depannya yang hendak diambilnya. Akan tetapi, Jingga merasa kalut hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk memendamnya.

"Besok keluarganya Vickry akan datang ke sini untuk menentukan tanggal pernikahan kalian, Nak." Begitu kata Sunandar, hal itu membuat Jingga bungkam seribu bahasa.

Dia merasa kalut dalam hal ini, entah kenapa rasanya sangat berat sekali untuk mengatakan yang sejujurnya. Berulang kali Jingga menghela napasnya berusaha untuk menenangkan dirinya, sepertinya dia tengah emosinya. Pada akhirnya pun wanita itu memilih untuk memikirkannya kembali dengan baik.

Setelah selesai menyalami ayahnya, keduanya memutuskan untuk berziarah ke makam ibunya Jingga sekaligus menyalami tetangganya.

Jingga dan Sunandar pun berjalan beriringan menuju ke area pemakaman. Benar kata ayahnya jika di sana ada beberapa tetangganya yang juga tengah di halaman rumahnya karena mereka juga tengah melakukan silaturahmi kepada sesama tetangga. Hal itu pun segera dilakukan oleh anak dan ayah itu.

"Eh, Nak Jingga. Kabarnya dikhitbah sama Ustadz Vickry ya?" tanya salah satu tetangganya yang melirik ke arahnya dengan tatapan lembut.

Menanggapi ucapan dari salah satunya membuat Jingga mengulum senyum.

"Ustadz Vickrynya pasti mengisi acara ya, Neng? Soalnya barusan aja enggak lihat di masjid." Begitu katanya melanjutkan.

Hal itu membuat Jingga terdiam, tubuhnya menegang. Dia tidak tahu apa yang harus dijawabnya. Namun, pada akhirnya pula dia mengangguk pelan seolah membenarkan apa yang ditanyakan oleh salah satu tetangganya.

Selama di perjalanan menuju ke pemakaman Sunandar merasa tidak ada yang beres pada putri semata wayangnya. Dia melirik ke arah Jingga yang sedari tadi diam saja.

"Apa yang kamu pikirkan, Nak?" tanyanya.

Sunandar memang tidak tahu apa-apa mengenai soal Aisyah. Hanya putrinya yang mengetahuinya jika calon suaminya itu pernah menyimpan harap pada seorang wanita nyaris sempurna seperti sosok Aisyah yang saat ini rumah tangganya berada di ujung tanduk. Bahkan Jingga tidak tahu, apakah wanita itu mencintai suaminya atau justru masih mengharapkan Vickry kembali padanya.

Memikirkan hal itu membuat Jingga segera menggeleng pelan, dia berusaha untuk menutupi segala hal yang membuatnya merasa kalut.

"Tidak, Yah. Jingga hanya merindukan Ibu saja." Di satu lain, wanita itu memang sangat merindukan peran Ibu dalam hidupnya, meski pun dia sama sekali tidak pernah merasakan kasih sayang dari Ibu kandungnya karena dia ditinggalkan saat dilahirkan.

Tentu saja, hal itu membuat Jingga merasa hidupnya tidak begitu berwarna, tapi dia selalu membuat warna sendiri dengan caranya. Bahkan wanita itu juga tidak pernah bosan memberi warna pada kehidupan orang lain.

IMAM TARAWIH (Terbit✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang