Episode Empat Puluh Empat

1.5K 59 1
                                    

Happy Reading....

*** 

Tidak seperti pengantin pada umumnya yang menebarkan kelopak bunga di atas tempat tidurnya, berbeda dengan pasangan Vickry dan Jingga yang lebih memilih seprai polos tanpa adanya hiasan apapun.

"Aku lebih suka kayak gini." Vickry mengatakannya sembari memperlihatkan deretan gignya.
"Kenapa?" tanya Jingga mengernyitkan dahinya. Hiasan kamar memang Vickry yang menginginkannya.

"Karena bukan tebaran kelopak bunga yang diperlukan, tapi siraman doa seharusnya." Vikcry menyunggingkan sudut bibirnya tertarik ke atas, sangat manis.

"Punya suami ustadz itu kayak gini ya, bikin adem terus." Jingga terkekek pelan, dia bahkan tersipu malu setelah mengatakannya. Padahal, dirinya sendiri yang berbicara demikian.
"Oh, jadi kalau pun ustadz tapi bukan aku orangnya, kamu senang juga?" tanyanya.

Hal itu membuat Jingga segera melambaikan tangan kanannya seolah mengatakan 'tidak'. Dia benar-benar merasa gemas sekali pada suaminya, hal itu membuatnya menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Semua orang bisa menjadi imam tarawih di setiap Ramadhan, tapi tidak dengan imam hidupku, karena Jingga rasa hanya kamu, tidak ada yang lain."

Vickry terdiam saat mendengar perkatan istrinya, bahkan dia merasa jantungnya tampak berdegup lebih cepat tidak seperti biasanya. Dia amat meyakini hal itu, ternyata jatuh cinta setelah menikah itu sangat indah.
Pria itu hendak mengelus lembut kedua pipi istrinya, tapi urung dilakukannya karena mungkin dirinya masih belum terbiasa melakukan seperti itu.

Jingga tersipu malu kala menyadari sikap suaminya yang hendak memperlakukannya manis, tapi justru tidak dilakukannya sama sekali.

Dengan segenap kemampuan Jingga dalam memikat hati, dia menggenggam jemari suaminya sangat kuat.

"Seperti ini, aku ingin terus berada di samping kamu, Imamku." Jingga memberanikan diri mengatakan kalimat manis itu terhadap suaminya. Sudah sejak lama dia menata hatinya, menahan keromantisan yang tidak saja disalurkan dan pada akhirnya pun di hari ini wanita itu bisa menyalurkan semua kelakuan mesra teruntuk suaminya.

Mendapatkan perlakuan seperti itu dari istrinya justru Vickry gelagapan, tangannya gemetar karena dapat merasakan kulit istrinya yang terasa lembut. Dia terpaku di tempat seolah kebingungan dengan reaksi apa yang harus dilakukan.

"Saya ke kamar kecil dulu ya." Vickry tampaknya terkejut dengan tingkah istrinya yang berhasil membuat jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.

Begitu Vickry pergi meinggalkan Jingga yang kini menggigiti jari telunjuknya, wanita itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya saat suaminya pergi dari hadapannya. Dia berlaku seperti itu karena ingin mencairkan suasana agar rasa resah di hari pertama dirinya sah menjadi istri tidak terlalu kaku dan monoton. Akan tetapi, justru dirinya merasa takut sekali terhadap suaminya sendiri.

"Aduh, gimana ya." Wanita itu menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.

Di sisi lain pun justru Vickry merasakan hal yang sama seperti istrinya, justru dia juga merasa kaku sekali terhadap Jingga.

"Kenapa takut sama istri sendiri, astagfirulloh." Vickry mengusap wajahnya kasar dengan kedua tangan.

Bisa-bisanya Vickry yang merupakan seorang ustadz muda merasa takut di hari pernikahannya sendiri, sudah seharusnya dia merasa sangat bahagia karena pada akhirnya pun bisa memiliki Jingga sepenuhnya.
Berulang kali dia mengembuskan napasnya dengan kasar, mengusahakan diri untuk tenang karena bagaimana pun juga dirinya harus segera menemui istrinya yang sudah menunggu.

Benar saja, Jingga terduduk di atas tempat tidur pengantin berukuran king size. Dia terlihat tampak tenang, tapi tidak dengan pikirannya yang semakin semrawut. Meski begitu, wanita itu menampakkan guratan senyuman begitu beradu pandang dengan suaminya.

"Aduh kok deg-degan ya?" batin Jingga bersuara, dia bahkan tidak tahu lagi harus mengatakan apa terhadap suaminya.

"Kamu kenapa belum tidur?" tanya Vickry memastikan.

"Nungguin kamu, Mas. Eh, maksudnya bukan gitu." Jingga merutuki dirinya sendiri, kenapa dia sampai menyampaikan pernyataan seperti itu.

"Kamu pasti capek banget ya?" Vickry segera mengalihkan pembicaraan, karena dia berusaha mengontrol jantungnya yang sudah seperti lari marathon.

"Enggak kok, Mas." Jingga menggeleng pelan, tapi dia menggerutu lagi, kenapa tidak mengiyakannya saja, kalau menjawabnya seperti itu pasti suaminya akan segera mempersilakannya istirahat.

"Oh, belum ngantuk?" tanyanya, menaikkan sebelah alisnya.

"Aku sedang menghafal dulu, Mas." Jingga mengatakannya asal, dia bahkan tidak menyadari apa yang dikatakannya, karena pikirannya terus saja tertuju pada kewajiban suami istri, dia belum merasa siap untuk itu.

"Menghafal?" tanya Vickry mengulangi ucapan istrinya, menaikkan sebelah alisnya sebelah seolah kebingungan sendiri.

"Menghafal materi tausiyah Ummi di bulan lalu, Mas."

"Rajin sekali Ya Jauzati." Pria itu mengusap lembut puncak kepala istrinya, hal itu membuat Jingga semakin meleleh.

Jingga merasa dirinya seolah terbang ke angkasa, kalau saja tidak di depan suaminya mungkin dia akan pingsan dalam satu hari saking mleyot dengan perlakuan Vickry.

"Harus rajin dong, kan istrinya ustadz." Jingga terkekeh pelan begitu mengatakannya.

"Jadi, kalau saya bukan ustadz kamu enggak akan rajin ikut kajian?" tanyanya, pertanyaannya membuat Jingga nyengir, memperlihatkan deretan giginya.

"Kalau suaminya Mas Vickry, apa pun profesinya Mas, Jingga akan berusaha jadi istri yang baik."

"Berarti kalau suaminya bukan Mas gimana?" tanya Vickry lagi.

"Pokoknya harus Mas," ucap Jingga kekeuh berkata demikian. "Lagipula juga kan sekarang Mas sudah sah jadi suaminya Jingga."

"Hm, iya deh iya." Dia tersenyum, membuat Jingga ingin meloncat ke planet Mars sekarang juga, dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya karena kini dirinya satu atap dengan Imam Tarawih.

"Kalau mau jadi istri yang baik, turuti keinginan Mas malam ini ya, mau?" tanyanya.

Jingga meneguk salivanya dengan susah payah, dia tidak paham dengan perkataan suaminya yang begitu antusias sekali.

Dia tidak ingin menjadi istri pembangkang, tapi di sisi lain juga dirinya belum siap menunaikan kewajiban sebagai seorang istri sepenuhnya. Namun, pada akhirnya pun wanita itu mengangguk pelan, meski terasa ragu.

"Setor hafalan kamu mulai dari malam ini, istriku." 

*** 

Galau-galaunya udah dulu, kita sekarang bubuhi kisah mereka dengan yang manis-manis ya hehe. 

Stay in my story ya. 

Sorry kalau nunggu lama update, tapi aku benar-benar mau fokus di cerita Imam Tarawih mulai sekarang hehe. 

Jangan lewatkan membaca qur'an ya. 

IMAM TARAWIH (Terbit✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang