"Kok gak di angkat sih?" Hendery mencoba menghubungi Kun terus menerus namun ponsel Kun mendadak malah tidak aktif, seperti sengaja di matikan agar sambungan telepon Hendery tak terhubung.
"Kok handphone nya malah di matiin sih?" Hendery mengigit bibir bawahnya, merasa cemas dengan semua ini.
Disaat ia benar benar membutuhkan Kun, kakaknya itu malah sulit untuk di hubungi. Hendery sadar, kini pikiran jahat Hendery sudah sirna. Tangisan Hendery waktu di pemakaman omah itu adalah tangisan yang benar benar di sebabkan oleh sakitnya kehilangan, bukan karena ada niat mencari perhatian ataupun hal lain.
Semenjak hari kematian omahnya, akhir akhir ini dia jadi sering melamun. Ia jadi merenungi semua kesalahan dan kejahatan yang dia perbuat.
Karena bayangan omah terus menghantuinya, padahal bukan Hendery yang menjadi penyebab kematian itu. Namun entah kenapa Hendery selalu merasa jika bayang bayang omah selalu mengikuti dan menghantui dirinya sampai sampai dia ingin pulang lagi pada Kun dan yang lain.
"Tapi kalau gue bilang ke mereka, apa mereka masih bakal percaya sama gue?" Tanya Hendery pada dirinya sendiri.
"Kalau misalnya mereka anggap alasan yang gue jelasin itu cuma bualan gue doang nanti gue harus gimana?"
Lagi lagi otak Hendery berpikir keras, disaat dirinya sudah ingin berpihak kembali pada yang benar, orang orang malah tidak merangkulnya lagi dan malah pergi meninggalkannya.
Hendery menyesal karena telah melalukan ini, jujur Hendery sangatlah menyesal. Hendery menyesal karena sudah termakan oleh ego nya sendiri, menyesal karena dia malah mengikuti egonya yang malah menghancurkan dirinya sendiri.
"Gue adalah manusia paling bodoh, manusia yang paling bego karena bisa bisanya ngehancurin diri gue sendiri lewat ego yang gue punya."
Hendery berbaring menghadap langit langit kamarnya, ia mengambil pisau yang ada di nakas. Ia perhatikan pisau itu di posisi yang masih sama.
"Kenapa Lo jadi bego gini sih Der?" Hendery masih memainkan pisau itu.
"Ada banyak orang yang terancam mati gara gara ego Lo, Der. Termasuk diri Lo juga Der," Hendery bermonolog.
"Tuhan—" Lirih Hendery.
"Apa tusukan pisau ini bisa nebus semua dosa yang udah Dery lakuin, Tuhan?"
Mereka berempat sudah selesai melalukan ritual, namun mereka semua belum bisa memastikan apakah ritual ini berhasil atau tidak karena perubahannya tidak bisa dilihat oleh mata secara langsung.
Kun menipu semua lilin yang menyala dan berdiri di atas meja.
"Udah selesai kah ritualnya?"
"Udah," Kun menjawab pertanyaan Lucas sambil fokus menyalakan daya ponselnya lagi.
"Apa Winwin udah bisa dapetin keris itu sekarang?" Tanya Ten.
"Gue belum tau pasti, tapi secepatnya keris itu bakal sampe ke Winwin." Jawabnya lalu mendekatkan ponselnya pada telinganya.
"Kok gak di angkat sih?" Heran Kun sambil mencoba menghubungi seseorang lagi.
"Nelpon siapa sih?" Tanya Yangyang.
"Hendery,"
"Loh ngapain Lo nelpon dia?" Sudah terdengar jelas dari nada sewotnya, itu Lucas yang bertanya.
"Loh, tadi kan dia nelpon gue tapi gak sempet gue angkat kan Jadi apa salahnya gue telepon balik?"
Lucas memijat pelipisnya.
"Buat apa sih Lo telepon dia balik? Gak guna tau ga!"
"Loh Cas, siapa tau dia lagi kenapa Napa makannya dia telpon gue segini banyaknya."
"Tetep gak di angkat lah," Gerutu Kun sambil mengotak ngatik ponselnya lagi dan berakhir berdiri dari posisi duduknya.
"Sekarang Lo mau kemana?"
"Ke rumah Hendery."
"Heh bang, Lo jangan gila. Kalau dia apa apain Lo gimana?" Untuk sekarang Yangyang ikut panik dengan apa yang akan dilakukan oleh Kun.
"Tapi perasaan gue gak enak, gue takut Hendery malah kenapa Napa kalau gue gak nyusul dia."
"Gue tau, tapi please Lo gak boleh nekat gini juga anjir." Ten ikut menghalangi Kun.
"Gue bisa jaga diri, lagian Hendery gak bakal apa apa in gue. Justru gue punya firasat Hendery bakal celakain dirinya sekarang."
"Padahal biarin aja dia celaka, gara gara dia semua orang jadi ikut celaka bahkan yang gak berdosa pun ikut celaka karena ego dia. Jadi kenapa Lo harus peduli sama dia bang?"