Chapter 6 - Don't Judge The Book From It's Cover

224 56 14
                                    

"Kamu beneran gak mau istirahat dulu?" tanya Laras khawatir melihat Dimas yang pamit pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu beneran gak mau istirahat dulu?" tanya Laras khawatir melihat Dimas yang pamit pulang.

Mereka baru saja tiba di rumah keluarga Maeswara setelah melakukan perjalanan tujuh jam tanpa henti dari Dataran Dieng ke Jakarta meskipun bergantian menyetir.

"Enggak perlu ditawarin, Kak. Biasanya juga nyelonong masuk aja."

"Ren gak boleh gitu ih," sahut Laras sambil memukul pundak adiknya. "Dimas kan sudah bantu, masa kamu gak berterima kasih sih."

"Emang tuh kak. Ren mah selalu gitu. Makanya, mendingan aku yang jadi adiknya Kak Laras dibanding Ren, 'ka—."

"Okay! Waktunya pulang!" potong Ren sambil membungkap mulut Dimas dan menariknya keluar. "Kak Laras harus istirahat. Pesan dari Dokter Raka."

Dengan sengaja Ren menekankan kata "Pesan dari Dokter Raka" supaya Dimas menurut.

Nyatanya, memang begitu adanya. Tadi sebelum pulang, dengan raut wajah yang terlampau serius, Raka sukses membuat jantung Ren hampir berhenti berdetak. Ia kira selama seminggu ia tidak ada, sesuatu terjadi pada kakaknya.

Ternyata dokter 33 tahun itu memanggilnya hanya untuk kembali mengingatkan obat-obatan dan check up berkala Laras termasuk agar kakaknya jangan sampai stress. Jadi Ren tidak mencari-cari alasan, bukan.

***

Setelah mengantar Dimas kembali, Ren masuk ke rumahnya yang tidak terlalu besar. Tepat di ambang pintu, ia menghentikan langkahnya. Manik matanya mengedar, melihat Laras yang sedang duduk di meja makan sambil melihat-lihat setiap sudut rumah.

Setelah sekian lama, Ren bisa kembali mengatakan, "Akhirnya aku pulang ke rumah,"

Sejak hilangnya Laras, rumah dua lantai milik orang tuanya yang berukuran 120 meter persegi terasa tidak seperti rumah. Kakaknya memang sudah kuliah di Bandung sejak ia berusia enam belas, tapi selain jaraknya yang tidak terlalu jauh, ia selalu menyempatkan pulang setiap minggunya. Jadi meskipun kakaknya tidak ada di rumah, Ren masih merasakan kehadirannya. Itu karena ia tahu dimana kakaknya berada.

Ketika berita tentang hilangnya Laras sampai ke telinganya dan orang tuanya, rumah tempat tinggalnya sejak lahir langsung terasa berbeda. Seperti ada sebuah lubang besar di dalam rumah yang membuatnya kesulitan bernapas. Perabotan rumah yang tadinya tampak familiar, terasa asing. Bahkan kamar kakaknya yang biasanya hangat terasa dingin.

Orang tuanya juga tidak membantu. Mereka tetap sibuk bekerja seperti biasa setelah merasa telah melakukan hal yang cukup untuk mencari kakaknya.

Hari-hari Ren selama satu setengah tahun tanpa tahu kabar Laras rasanya seperti berjalan di benang tipis dengan batu besar di punggungnya. Ia kehilangan arah dan lelah sekaligus. Namun tidak juga ingin berhenti berjalan karena ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Itulah mengapa, meskipun ia selalu tertipu, Ren tidak bisa untuk tidak mempedulikannya. Ia masih berusaha berpegangan pada tali rapuh yang mungkin mampu menariknya ke realita. Meskipun tali itu hanyalah bayangan semata.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang