Meski masih terasa canggung, Ren berusaha berbaikan dengan Laras. Tentu saja sambil bersiap menghadapi wajah kakaknya yang mendung akibat Ardi. Jika menilik dari pembicaraannya dengan Raka tadi, seharusnya sesuatu memang telah terjadi. Dan kejadian itu pasti telah melukai hati kakaknya sampai Raka bisa memintanya untuk berbaikan dan menjaga Laras.
Ia berdiri menghadap ke pintu kamar Laras yang tertutup. Menghela napas beberapa kali sebelum akhirnya mengetuk pintunya.
"Kak?" panggilnya hati-hati dari depan pintu kamar yang berada tepat di sebalh kamarnya sendiri. Bersiap dengan apa pun yang akan terjadi.
Dengan sabar lelaki bongsor itu menunggu, tapi selama beberapa menit ia berdiri, sahutan tidak juga terdengar. Sehingga tanpa sadar mengernyitkan dahinya. Mungkin tidak terdengar, simpulnya dalam hati.
"Kak!" panggilnya lagi. Kali ini jauh lebih keras dibanding sebelumnya. Mulai merasa takut jikalau sesuatu kembali terjadi pada kakaknya.
Beberapa saat sudah berlalu, tapi belum juga ada jawaban dari Laras. Membuatnya menjadi tidak sabar. Rasa penyesalan mulai tumbuh dalam hatinya. Takut jika kata-kata terakhirnya pada Laras menjadi kata-kata terakhir yang akan kakaknya dengar.
"Kak! Kakak! Woi!" teriaknya sambil memegang handel pintu kamar Laras. sudah berniat membukanya. Tidak peduli apakah perbuatannya itu sopan atau tidak. Keadaan kakaknya lebih penting dibanding kesopanan. Namun sebelum ia sempat menggerakkan handel pintu, suara yang sangat ia kenal terdengar bukan dari balik pintu tapi justru dari balik punggungnya.
"Ya?"
Ren membatu terkejut. Suara itu jelas milik kakaknya. Siapa lagi yang memiliki suara lucu yang mengingatkannya pada film animasi Jepang. Dengan ragu karena malu, Ren mematung sepersekian detik sebelum akhirnya memutuskan untuk memutar tubuhnya dengan perlahan.
Toh, meski ia malu karena ketahuan khawatir di saat ia sendiri mengultimatum tidak akan peduli dengan Laras, ia juga tidak bisa lari dari kejadian yang saat ini sedang terjadi. Jadi satu-satunya pilihan adalah menghadapinya.
Dan benar saja. Begitu tubuhnya sepenuhnya membalik, disanalah berdiri kakaknya. Tampaknya ia baru saja selesai mandi. Melihat bagaimana segarnya Laras yang kini sudah berbalut piyama berwarna kuning dengan motif kucing. Diiringi harum sabun mandi keluarga mereka yang tercium oleh hidungnya. Dengan kepala yang masih berbalut handuk berwarna putih, mata bulat kakakya menatap penuh tanya sikap adiknya yang Ren sendiri merasa lucu.
Membuat pipinya yang tanpa diharapkan, bersemu kemerahan. Rasanya ia ingin sekali bersembunyi di worm hole sekarang juga.
Menanggapinya, Laras sedikit mengulum tawanya. Inginnya sih meledek adiknya, tapi urung karena merasa sepertinya bukan saat yang tepat. Meski begitu, sepertinya Ren menyadarinya dari tatapan Laras yang menatapnya seperti telah menangkap basah pencuri.
"I ... uhmm ... itu ... hmmm," kata Ren gagap. Tidak tahu harus membuat alasan apa.
Laras terkekeh lalu tersenyum melihat sikap adiknya. Netranya melembut melihat adiknya yang tampak malu. Sambil melangkah melewati tubuh tinggi adiknya yang menjulang di depannya, Laras mengulurkan tangannya untuk membuka pintu kamar. Membingungkan adiknya yang masih berdiri kaku di tempatnya. Mengira jika Laras masih tidak ingin bicara dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
RomanceKetika ia terbangun dari koma, dunia Laras seketika runtuh. Semua yang ia ketahui telah berubah. Belahan jiwanya pergi ke tangan perempuan lain. Tetapi, selalu ada harum menyegarkan setelah hujan deras. Dan kali ini datangnya dari orang yang tidak t...