Ardi masih berada di apartemen pribadi Eva. Semalam ia menginap. Bukan maunya. Namun Eva tidak bisa ditinggal. Perempuan itu merengek dan terus meracau. Takut Ardi meninggalkannya. Sepertinya, Eva tidak memiliki kepercayaan pada pacarnya sendiri sampai ia sebegitunya tidak percaya kalau Ardi tidak akan pindah ke lain hati.
Jadilah Ardi terpaksa menginap. Meski sebenarnya ia ingin pulang.
Wajah lelah dan kurang tidur terpapar jelas di wajah lelaki berusia 23 tahun itu. Tanpa ditanya pun, orang bisa melihat kalau Ardi sepertinya tidak tidur cukup.
Bagaimana mau tidur cukup kalau sepanjang malam Eva terus menanyakan hal yang sama dan terus memaksa Ardi untuk menmaninya. Mantan dari Laras itu terpaksa meladeninya sepanjang malam. Padahal, ia sendiri juga membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Salah satu alasan mengapa ia ingin pulang.
Tidak pernah ia menyangka kalau kemunculan Laras yang tiba-tiba seperti sekarang akan mengguncang kehidupannya sehebat ini. Apalagi setelah melihat ekspresi terluka Laras ketika ia pergi meninggalkannya dengan kasar bersama Eva.
Ardi tidak tahu apa perasaan tidak enak yang ia rasakan sejak itu. Tidak. Perasaan itu sebenarnya telah ia rasakan sejak Laras menghubunginya. Salah satu alasan mengapa ia menerima permintaan Laras untuk bertemu. Ia kira, dengan bertemu dengannya, segalah kegundahan yang tiba-tiba muncul akan hilang. Siapa yang mengira kalau yang terjadi justru sebaliknya.
Rasanya seperti berhenti membaca buku tepat di bagian puncak.
Itulah mengapa, ia membutuhkan waktu sendiri untuk berpikir agar bisa mengurai perasaan mengganjal yang ia rasakan.
Ardi menghela napas berat tanpa suara. Manik matanya menatap ke arah satu-satunya pintu kamar di apartemen itu. Di sanalah, Eva akhirnya bisa tertidur setelah semalaman bergadang. Perempuan yang telah menjadi kekasihnya itu akhirnya pergi tidur atau ketiduran sekitar satu jam yang lalu. Yakni sekitar jam satu siang siang. Meninggalkan rasa lega untuk Ardi yang akhirnya kembali bisa bernapas tenang.
Meladeni kekasih yang sedang gamang, ternyata membutuhkan lebih banyak energi dibanding olah raga. Setidaknya, olah raga hanya melelahkan fisik. Bukan mental seperti keadaannya saat ini.
Ardi memijat pelipisnya. Mengurangi rasa penat yang ia rasakan.
Manik matanya menatap kosong ke arah televisi yang sedang dalam keadaan mati. Sementara di sisi kanannya, matahari siang yang semakin terik di bilangan Jakarta menerobos masuk melalui kaca jendela yang hampir setinggi tembok.
Memperparah keadaan Ardi yang sedang bingung dengan keadaannya sendiri. Mencoba berlari dari perasaan yang mengganjal, Ardi mengeluarkan ponselnya. Berselancar di media sosial miliknya.
Ia tidak termasuk orang yang rajin mengunggah foto apalagi melihat-lihat media sosialnya. Baginya, media sosial hanya membuang waktu berharganya. Namun sepertinya sekarang, ia memilih melakukannya. Dengan maksud membuat dirinya sibuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
RomanceKetika ia terbangun dari koma, dunia Laras seketika runtuh. Semua yang ia ketahui telah berubah. Belahan jiwanya pergi ke tangan perempuan lain. Tetapi, selalu ada harum menyegarkan setelah hujan deras. Dan kali ini datangnya dari orang yang tidak t...