Chapter 20 - Kesempatan Terakhir

173 37 0
                                    

"Kamu beneran enggak bolos kan?" tatapan curiga ditujukan Laras ke arah adiknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu beneran enggak bolos kan?" tatapan curiga ditujukan Laras ke arah adiknya.

Mendengar pertanyaan yang telah berkali-kali ditanyakan kakaknya, raut wajah Ren tampak bosan. Walau pada akhirnya, ia tetap menjawabnya, dengan jawaban yang sama seperti sebelum-sebelumnya.

"Benar Kak. Ada kelas mestinya, tapi dosennya dari minggu lalu bilang enggak bisa datang. Jadi hari ini kosong. Terus besok adanya sore. Lagian jarak Bandung Jakarta tuh dekat kan. Temanku banyak yang pulang pergi dari Bogor setiap hari."

"Bogor sama Bandung jauh kali Ren," dengus Laras, mengahuti jawaban asal Ren.

"Jauh kalau tiap hari. Aku kan enggak tiap hari. Lagian besok setelah makan siang pulang kok. Kelasnya itu jam empat, jadi masih keburu. Paling lama aku sampe Jakarta sekitaran jam tiga, atau kalau mepet-mepet karena mampir, paling jam empat kurang sudah sampai."

"Yah jangan mampir atuh. Kalau sampainya jam empat yah telat kali. Belum kalau macet."

"Enggak macet kali Kak. Besok masih Kamis. Tenang saja kenapa sih. Aku enggak akan bolos kok. Masa Kakak enggak percaya sama aku sih?" cibir Ren sebal.

Laras menghela napas panjang. Meski belum bisa percaya, ia tidak memiliki pilihan lain. Apalagi setelah ia tahu kalau Ren tidak pernah benar-benar menikmati kehidupannya sendiri selama satu setengah tahun ia menghilang.

Adiknya itu begitu takut meninggalkan Jakarta atau sekedar pergi jalan ke Mal karena siapa tahu ada yang menghubunginya tentang kakaknya. Begitu ia pulang pun, Ren berusaha untuk terus berada di sisinya kecuali sedang kuliah. Jadi Laras juga tidak sampai hati melarang.

"Jangan jajan sembarangan," katanya lagi sambil terus memperhatikan adiknya yang sedang mengecek kembali barang bawaannya. "Nyetirnya gantian sama Dimas," katanya lagi. Kali ini mendongak karena adik tingginya sudah berdiri menjulang di hadapannya.

"Aku enggak naik mobil sendiri ke sana, Kak. Tapi naik mobil online," hela Ren lelah.

Dari sejak kakaknya bangun tidur sampai sekarang sudah jam sepuluh pagi, ia tidak juga berhenti berpesan atau bertanya. Artinya, Laras sudah mengoceh sejak hampir tiga jam.

"Kalau begitu, jangan lupa sesekali ajak ngomong supirnya. Biar enggak ngantuk."

Ren memijat pangkal hidungnya sambil memejamkan mata. Sambil merapikan letak tas ranselnya di bahu, Ren kembali berbicara. Kali ini jelas sekali meyuarakan rasa lelahnya.

"Kak ... Kakak lupa kalau aku sudah 21 tahun? Aku bukan lagi remaja, Kak," protes Ren.

"Kan cuma jaga-jaga."

"Tapi Kakak udah bicara hampir tiga jam. Memangnya enggak capek? Apa enggak haus?"

"Enggak tuh. Kan Kakak sambil minum," sahut Laras cuek.

"Tau ah," sebal Ren yang memilih melangkah keluar dari kamarnya. Meninggalkan Laras yang masih bersandar di pinggir meja belajarnya.

"Kakak serius, Ren." Ada nada takut dan khawatir dari setiap untaian kata yang keluar dari bibir plum Laras.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang