Chapter 11 - Keputusan Laras

206 53 19
                                    

Ren berjalan riang sambil membawa dua kantong plastik besar yang penuh dengan makanan dan minuman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ren berjalan riang sambil membawa dua kantong plastik besar yang penuh dengan makanan dan minuman. Akibat terlalu khawatir meninggalkan Laras sendirian, ia membungkus semua makanan dan minuman yang ingin ia makan. Sebanyak yang ia bisa agar tidak perlu lagi keluar ruangan jika malam nanti ia lapar.

Sambil bersiul, Ren sesekali membungkuk sekedar memberi salam pada staf Rumah Sakit. Kakinya melangkah ringan menyusuri lorong Rumah Sakit.

Adik Laras itu baru saja menerima telepon yang membuatnya lega. Sampai ia sama sekali tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia sedang menunggu pesanan burgernya dikemas ketika ia menerima teleponnya.

Bahkan saking senangnya mendengar kabar dari si penelepon, ia hampir berteriak. Untungnya tidak sampai terjadi. Kalau tidak, mau ditaruh kemana mukanya.

Sebenarnya, berita itu tidak seluar biasa seperti mendapatkan lotere. Namun setelah kejadian kakaknya kembali dilarikan ke Rumah Sakit, berita yang ia terima terdengar seperti oasis di tengah kekeringan. Karena itu ia menyusuri lorong Rumah Sakit dengan langkah ringan dan bahagia. Setidaknya sampai ia mendengar suara kencang perempuan yang ada di kamar rawat Laras.

"Seharusnya lo gak pernah kembali kalau sudah menghilang selama itu. Kehadiran lo cuma bakal jadi lintah bagi Ardi. Mau seberapa banyak lagi lo nyakitin Ardi? Kenapa nggak mati saja si—!"

Brugh!

Ren terlalu terkejut dengan ucapan Eva sampai menjatuhkan kedua kantong plastiknya. Baru saja membuka pintu kamar rawat kakaknya, ketika ia mendengar suara teriakan seorang perempuan yang ternyata Eva. Untuk sesaat Ren membeku, mendengar bagaimana perempuan yang ia tidak suka malah menyuruh kakaknya mati. Tidak percaya dengan penengarannya sendiri.

Dan begitu ia kembali tersadar, ia tidak lagi ragu untuk menyembunyikan kebenciannya kepada Eva sampai-sampai udara di sekitar mereka terasa lebih dingin dari yang semestinya.

Bunyi gaduh di dekat pintu, membuat Eva memalingkan wajahnya ke arah tempat kegaduhan berasal tanpa sempat menyelesaikan ucapannya. Matanya terbelalak sempurna ketika menyadari sosok tinggi adik dari Laras yang kini sedang menghujamnya dengan tatapan dengki.

Urat-urat nadi di pelipis Ren menegang seiring dengan kebencian yang semakin meningkat. Sementara maniknya menatap Eva dengan tatapan murka. Jika sorot mata bisa membunuh, Eva pasti sudah tidak bernyawa sekarang.

Dengan langkah lebar, Ren mendekati Eva yang tampak mengkerut takut. Sementara Laras panik. Takut adiknya melakuan hal yang merugikan dirinya sendiri.

Gadis berpipi gembil itu belum sempat melakukan sesuatu ketika Ren tahu-tahu sudah berada dalam jarak satu langkah dari Eva. Wajah murkanya ditambah dengan tingginya yang menjulang, membuat sosok Ren berkali-kali lebih menakutkan.

Ia tampak seperti iblis yang menatap mangsanya.

Tubuh Ren sampai gemetar dan tangannya mengepal kencang hingga bahkan Laras yang berada cukup jauh dari Ren pun bisa melihat urat nadi di tangan Ren yang mencuat mnyeramkan.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang