Chapter 17 - Pulang Bareng Raka

163 43 17
                                    

Dari sisi kanan, Raka sesekali melirik kearah perempuan cantik yang tengah termenung menatap jalanan dari balik jendela mobil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari sisi kanan, Raka sesekali melirik kearah perempuan cantik yang tengah termenung menatap jalanan dari balik jendela mobil.

Setelah menumpahkan semua perasaannya melalui tangisan di pelukan Raka, Laras jadi canggung padanya. Meski menyayangkan, Raka mengerti. Karena itu, selama awal perjalanan, dokter berusia 33 tahun itu memilih diam dan membiarkan gadis berparas seperti boneka itu larut dengan pikirannya sendiri.

Sementara ia sendiri masih terus memikirkan apa yang baru saja ia lihat beberapa waktu lalu. Masih terngiang jelas di kepalanya bagaimana Ardi yang merupakan mantan Laras memperlakukan gadis itu. Membuatnya kembali mengertakkan giginya. Menahan emosi.

Jika Ardi tidak melakukan hal pengecut seperti itu, Raka mungkin akan mengerti mengapa Ardi memilih putus. Bagaimana pun, satu setengah tahun adalah waktu yang lama. Apa pun bisa terjadi. Meskipun jika ia berada di posisi Ardi, ia memilih untuk terus menunggu hingga ada kejelasan.

Laras terlalu sempurna untuk digantikan, begitu pikirnya.

Mereka mulai memasuki jalan tol, tapi Laras masih terus plarut dengan dunianya sendiri. Rasanya Raka ingin mengajaknya bicara, tapi terlalu bingung harus memulai darimana.

Akhirnya, ia memilih menyerah. Dan membiarkan gadis bermata bulat itu sendirian. Hingga akhirnya mereka tiba didepan rumah Laras dan gadis itu masih saja asyik dengan pikirannya.

Kali ini, Raka justru dengan hati senang menunggu Laras. Dengan begitu, ia bisa menikmati porfil samping Laras yang menurutnya sempurnya. Dan Raka tidak bosan memandangnya. Bahkan jika ia harus menghabiskan semalaman. Meskipun mata gadis itu masih terlihat sembab dan puncak hidungnya masih sedikit memerah karena menangis.

"Hah?!"

Raka tersenyum, mendengar keterkejutan Laras. Apalagi setelahnya, Laras tampak celingukan dengan mata melebar karena akhirnya sadar kalau mereka telah tiba di depan rumahnya. Sungguh menggemaskan.

"Sejak kapan?" tanyanya menuntut dengan mata masih membulat bingung.

"Sekitar sepuluh menitan ...," sahut Raka sambil mengecek jam tangannya. Menjawab pertanyaan Laras dengan santai tanpa merasa terbebani meskipun Laras telah membuang waktunya.

Laras terbelalak mendengar jawaban santai Raka. Seakan apa yag ia perbuat bukanlah sebuah masalah. Padahal hari sudah cukup malam dan Raka mungkin lelah.

"Kok Dokter enggak bilang sih?" protes Laras yang sudah bersemu merah karena malu dan merasa tidak enak. Sudah numpang, diantar, membuang waktu berharganya pula. Begitu yang ada dalam pikiran Laras. Sambil mencebikkan bibirnya yang ranum, Laras menatap Raka dengan mata bulatnya. Meminta penjelasan dari Raka. Persis seperti kucing yang sedang merajuk.

Bagaimana jantung Raka bsia aman kalau begitu.

"Jadi keluhannya kurang fokus?" tanya Raka, berusaha mengabaikan jantungnya yang berdebar. Siapa pun tidak akan sanggup jika ditatap Laras seperti itu.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang