Sejak pertemuan Gema dan Yoga pada hari itu, kepercayaan diri Gema sedikit meningkat. Ia menemui Yoga secara rutin satu minggu sekali hanya untuk bercerita. Satu demi satu semua yang ada dikepala Gema mulai terurai dan Yoga juga ikut senang karena perlahan Gema mau berusaha bangkit dari keterpurukannya. Yoga menganggap sekecil apapun langkah Gema menjauh dari tekanananya, itu adalah harapan agar Yoga bisa membuat anak itu menjadi seperti dulu.
Keinginan untuk 'pergi' atau kata-kata yang cenderung membuat Gema ingin menjauh dari mereka semua sudah hampir tak pernah diucap olehnya. Yoga juga tidak lagi bahasa tubuh yang menyakiti diri sendiri seperti memukul dada, tatapan kesedihan, memukul kepala dan menjambak rambutnya, atau luka ditangan kiri Gema. Yoga tak melihat luka baru meskipun luka yang lama masih belum pulih sepenuhnya.
Itu adalah tugas Yoga untuk menyembuhkan Gema. Tapi Yoga lupa, setiap luka yang memiliki bekas akan selalu mengganggu. Bekas luka yang tidak pernah hilang itu akan selalu menghantui Gema. Ingatan Gema tentang hal-hal menyakitkan bisa saja datang tak terduga dan mengganggunya lagi.
Suasana dirumah mereka masih sama meskipun ada beberapa yang masih belum menyadari perubahan Gema. Menurut Yoga, sebenarnya Gema sudah membaik tetapi bagi yang lainnya Gema terlihat sama saja. Ia masih murung dan bahkan lebih jarang membuka suara. Ia lebih suka sendiri dan tidak ingin diganggu pada waktu tertentu.
Perubahan itu dirasakan semua orang apalagi Rasya yang sangat peka dalam urusan adiknya. Gema yang dilihatnya semakin pendiam itu sangat mengganggu pikiran dan hatinya. Seharusnya, Gema menjadi lebih ceria atau setidaknya tersenyum sedikit ketika berkumpul bersama semua kakak dan temannya disini. Rasya bahkan juga menyempatkan waktu untuk setiap malam menemani Gema dan mengajak adiknya bercerita.
Seperti sekarang, Rasya dan Gema sedang duduk saling berhadapan dan bercakap tentang diri mereka sendiri dihadapan api unggun yang hangat, dipinggir danau yang menenangkan.
"Aku rasa bukan saatnya untuk memikirkan tentangku, Kak. Aku sudah sedewasa ini dan kau perlu lebih memperhatikan diri sendiri" ucap Gema dengan bermaksud tidak menolak perhatian dari Rasya yang menurutnya sudah mulai berlebihan. Rasya juga harus memikirkan kebahagiaannya. Gema juga tidak boleh terus bergantung pada kakaknya.
"Wajar, Gem. Aku juga tau batasan untuk mengkhawatirkan dan memikirkan adikku. Aku percaya kau sudah dewasa dan pasti bisa menjaga diri. Tapi kekhawatiran seorang kakak pada adiknya juga tidak bisa disalahkan" balas Rasya dengan suaranya yang dalam dan sedikit ada penekanan dibeberapa kalimatnya.
"Tapi Kak Rasya juga harus punya waktu untuk diri sendiri"
Rasya mengangguk lebih dulu dan mengiyakan ucapan Gema. "Tapi kau tau, Gem. Kita hanya punya satu sama lain sejak kecil. Jadi ketika kau perlu apapun, kau harus mengatakannya padaku. Karena sampai kapanpun aku tetap kakakmu meski aku sudah punya kehidupan sendiri suatu hari nanti" kata Rasya.
"Aku tau aku selalu bisa mengandalkanmu, Kak. Terima kasih ", Gema mengakhirinya dengan senyuman yang dibalas dengan senyuman yang tak kalah indah dari Rasya.
"Jadi, harus mengobrol seperti ini denganmu agar kau bisa tersenyum, Gem?" tanya Rasya yang mulai mencari pembicaraan lain.
"Aku tidak tau, Kak. Aku rasa ini karena aku semakin dewasa dan aku juga harus bertanggung jawab untuk hidupku. Disini aku melihat Kak Rasya, Kak Sahir, Kak Yoga, Kak Harry, Kak Naresh, Kak Arestya, semuanya punya tujuan. Jadi, aku harus memiliki tujuan juga. Aku sangat sering bersama kalian, aku merasa semua sifat dan kebiasaan kalian semua ada padaku. Aku seperti duplikat kalian karena semua kakakku disinilah yang membesarkanku. Kakakku disinilah yang mengajarkan aku dewasa dan akhirnya membentukku seperti Gema yang sekarang" ujar Gema yang menjelaskan sambil memainkan kedua tangannya sebagai penekanan.
Rasya yang memperhatikan cerita Gema itu hanya bisa tersenyum sambil berkata dalam hati dengan penuh haru, Gema sudah dewasa.
"Aku tau saat ini aku juga sedang dalam pengobatan karena psikisku dan aku juga tidak boleh skip minum obat sekalipun. Tapi Kak Rasya, aku baik-baik saja. Aku punya Kak Rasya, Kak Sahir, Kak Yoga dan yang lainnya. Sahabatku juga akan selalu bersamaku" lanjut Gema dengan wajahnya yang tenang dan senyuman tipisnya.
Senyuman Rasya luntur seketika saat Gema menyebut kata 'sahabat' yang asing dan sepertinya tidak seharusnya Gema ucapkan. Rasya menatap Gema dengan sangat dalam sampai Gema terlihat tidak nyaman.
"Ada apa, Kak?"
"Gema, sahabat mana yang kau maksud?"
Alis Gema berkerut sangat dalam dan bola matanya terlihat bergulir cepat karena berfikir, "Sahabat yang mana, Kak? " tanya Gema dengan waja kebingungannya.
Rasya perlahan mulai menyingkirkan kemungkinan buruk yang melayang dalam benaknya, "Tidak, Gem. Mungkin tadi Kak Rasya salah dengar" kata Rasya yang masih berusaha menenangkan diri.
***
Harry baru saja pulang dari pekerjaannya dan ia harus meregangkan otot-otot badannya yang kaku sebelum tidur. Dia lelah sekali. Tapi angan untuk segera beristirahat itu sirna karena Naresh tiba-tiba memanggilnya dan mengajaknya untuk bicara sebentar.
"Naresh, ini jam 1 pagi. Kalau ini tidak penting kau tidak akan mendapat maaf dariku" ancam Harry yang sebenarnya adalah orang yang paling pemaaf diantara yang lain.
Tanpa peringatan apapun Naresh menarik tangan Harry dan mengajaknya berjalan memutari rumah utama dan menemukan Gema yang sedang duduk diayunan dibawah pohon besar dengan tenang dan tanpa terganggu oleh dinginnya malam.
"Kenapa kau tidak mengajak Gema masuk kalau kau tau dia masih diluar, Naresh?"
Naresh berdecak kesal sejenak lalu membantah, "Aku akan mengajaknya masuk tapi saat aku bertanya dia terus menolak. Apa kita perlu menanyakan soal ini pada Kak Yoga? Apa menurutmu terapinya berhasil?"
Harry berpikir keras sejenak. "Aku tidak tau. Aku selalu pulang tengah malam dan jarang sekali mengajaknya bicara. Tapi aku rasa kita perlu menanyakannya pada Kak Yoga. Rasya tidak boleh tau tentang Gema yang masih menyendiri ditengah malam seperti ini"
Naresh menghela nafas. "Aku akan membujuknya lagi. Apa kau bisa mengambilkan selimut untuk Gema, Har? Aku rasa dia mulai kedinginan"
"Hm, baiklah", Harry langsung mengambil langkah dan sedikit berlari menuju rumah utama dan mengambil selimut yang biasanya digunakan Gema. Harry tidak memakan waktu terlalu lama. Dia berjalan menyerahkan selimut itu pada Naresh yang sedang berlutut dihadapan Gema sambil mengajak Gema berbicara.
"Apa dia tertidur?" tanya Harry heran dan Naresh menggeleng saja. Harry tersenyum datar lalu memberikan selimut itu pada kedua bahu tegap Gema. Gerakan pelan seperti itu saja menumbangkan tubuh Gema yang akhirnya kepala Gema bersandar tepat dibahu bidang Naresh.
"Gem?..", Naresh tidak sengaja meraih pergelangan tangan kiri Gema dan melihat darah terus mengalir dari sana tanpa henti. kemungkinan sejak tadi. Naresh yang terkejut langsung berteriak memanggil Gema lebih keras sambil meminta Harry untuk membangunkan siapapun di rumah. "Panggil semua orang, Har. Cepat!!" pinta Naresh dengan wajah panik dan bola mata yang tidak fokus.
"Gem! GEMA!" teriak Naresh yang mulai panik dan terus menepuk pipi kanan Gema. Dirasa itu tidak berhasil, Naresh lalu mengunci darah Gema agar tidak terus keluar. Ia mengenggam erat lengan kiri Gema dengan kedua tangannya yang kekar sambil mempertahankan bahunya agar Gema tidak jatuh.
"Gem! Gema, sadar! Gema!", menunggu Harry itu sangat lama. Naresh memutuskan untuk menggendong tubuh Gema yang sebenarnya sama besarnya dengan dirinya. Tetapi disituasi panik seperti ini Naresh tidak merasa Gema berat atau terbebani. Semua itu hilang begitu saja. Yang ada difikiran Naresh saat ini adalah penyesalan. Andai saja dia tau Gema terluka sejak tadi, ia tidak akan membiarkan Gema diluar sendirian.
-Rasya dan Gema-
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMA || END
Fanfictionada kalanya redup dan ada kalanya bersinar dan Gema tidak bisa membedakannya @okt2021