Bagian 19 : Pembaruan

443 74 4
                                    

Gema berjalan perlahan dengan wajah sendu mengarungi jalanan yang sering ia lewati kemarin. Jalanan dengan bebatuan yang tidak cukup terjal namun menanjak inilah yang menjadi jembatan Gema untuk bertemu dengan orang tuanya. Dalam waktu yang tidak tentu dan juga suara ketakutannya selama ini, Gema menaruh harapan.

Yang paling terpuruk karena perceraian kedua orangtuanya adalah Gema. Ia merasa sejak dilahirkan, pertengkaran antara kedua orang tuanya selalu terjadi. Terkadang, ia memikirkan apa jadinya jika ia tidak lahir pada tanggal 1 September itu. Mungkin saja, situasinya akan lain dengan yang terjadi sekarang.

Saat Gema tinggal dengan ayahnya, semua semakin kacau. Ayahnya memaksa Gema untuk terus belajar seperti robot agar mendapatkan nilai terbaik demi reputasi keluarga. Gema dipaksa untuk membuang semua hobi dan ketertarikannya dengan dunia seni. Hukuman untuk Gema jika melanggar semua peraturan ayahnya tentu sangat berat.

Tapi lidah Gema selalu saja kaku untuk sekedar meminta pertolongan pada kakaknya. Lalu sekarang, Gema harus melihat sendiri bagaimana Rasya berjuang dan sedalam apa Rasya menyayangi dirinya.

Langkah kaki Gema sampai ditempat yang dituju. Gema berhadapan dengan pria paruh baya yang ia kenal selama ini sebagai ayahnya. Gema melirik pada Rasya yang pingsan lalu balik menatap ayahnya dengan tatapan tajam.

"Kau mau menculiknya?", pertanyaan dengan nada dingin dan suara rendah itu membuat Randy menaikkan salah satu alisnya.

"Lukamu sudah sembuh, Gema?", tanya balik Randy dengan senyuman miringnya.

Gema menarik nafas dalam untuk mengisi kesesakan dalam dadanya. Meskipun ingatannya tertuju pada semua penganiayaan yang dilakukan ayah dan ibunya, Gema harus bisa mengendalikan diri.

"Apa yang sebenarnya kau inginkan selama ini?" pertanyaan Gema yang bodoh ini tentunya mengundang tawa keras Randy.

Kakinya berjalan mendekat pada Gema lalu Randy kemudian menjawab, "Aku senang mempermainkanmu, Gema" jeda Randy sesaat lalu ia menyingkap kedua lengan didepan dadanya.

"Bagaimana kabar teman khayalanmu? Apa dia juga ikut kemari? Hingga kau memiliki keberanian untuk berhadapan denganku lagi?" Tanya Randy dengan nada bicara yang sangat dan sangat mengejek.

Meski harus mendengar kalimat ejekan berkali-kali semacam itu. Gema tidak akan bicara sampai mendapatkan jawaban yang ia inginkan.

"Aku menginginkan penderitaanmu, Gema. Coba tanyakan pada temanmu itu, apakah kau seharusnya lahir didunia atau tidak. Karena semenjak ada kehadiranmu semuanya berubah menjadi sangat memuakan! Kaulah yang menghancurkan semuanya, bukan aku"

Gema kembali menghirup udara lebih banyak. Ternyata sedalam itu ayahnya menyimpan rasa benci terhadap dirinya.

"Apa yang sudah aku lakukan? Bukankah aku anakmu sama seperti Kak Rasya" tanya Gema dengan suara yang gemetar.

"Tapi aku tidak membutuhkan anak yang sakit seperti dirimu, Gema. Rasya lebih pantas dan memang seharusnya menjadi putra tunggal dari silsilah keluarga. Kau memang seharusnya tidak ada" kalimat terakhir diucapkan oleh Randy dengan membisikannya tepat didepan telinga Gema.

Gema hanya bisa berusaha tetap kuat meskipun peluh keringat sudah mulai membasahi dahinya. "Jadi, kau ingin Kak Rasya kembali padamu. Kau ingin membuat Ibu menderita karena sudah melahirkanku?"

Pertanyaan itu tidak diberikan jawaban oleh Randy. Ia hanya memutar bola mata dan menatap Gema dengan malas. Gema yang melihat reaksi itu kembali menarik nafas. Kali ini tarikannya lebih dalam.

"Kau tidak ingin menukarnya dengan nyawaku?"  tanya Gema yang kali ini berusaha memberikan penawaran.

"Kau hanya tinggal memilih. Semua keinginanmu atau nyawaku yang akan aku antarkan sendiri padamu dengan cara apapun" ucapan Gema membuat Randy menukikkan alisnya. Ia berfikir apakah itu sepadan dengan apa yang akan ia dapatkan nanti.

***

Rasya terbangun dengan kepala yang pening. Kedua matanya beredar ke sekitarnya. Ternyata ini adalah kamar adiknya. Rasya berusaha bangun sambil memperhatikan Gema yang sedang menatap kosong cermin didepannya.

"Gema..." panggil Rasya dengan suara lemah. Gema tidak menyahut. Ia terus menatap cermin itu seakan ada seseorang didalamnya.

Rasya menurunkan pandangannya dan lagi-lagi ia melihat darah menetes sedikit demi sedikit dari lengan Gema. Luka bakar dan luka goresan itu pastinya akan meninggalkan bekas seperti yang lainnya.

Rasya langsung menyibak selimut yang ia kenakan dan mengambil kotak obat dengan cepat. Rasya menuntun Gema untuk duduk didekatnya lalu perlahan Rasya mengobati semua luka akibat penderitaan yang dialami adiknya selama ini.

Tidak ada percakapan diantara mereka untuk beberapa saat antara mereka sampai Rasya selesai memberikan salep antiseptik dan membalut beberapa luka Gema yang terbuka.

"Kamu tidak perlu memikirkan apapun, Gem. Kakak tidak apa-apa" ucap Rasya lalu ia memberikan senyuman pada Gema. Adiknya itu tidak memberikan reaksi apapun. Gema tetap menatap Rasya datar tanpa ekspresi. Rasya tau bahwa adiknya itu terlalu bingung untuk bersikap atau menunjukan apapun yang dia rasakan. 

"Sudah makan belum, Gem?", tetap tidak ada jawaban. Gema juga tidak mengalihkan pandangan. Rasya dibuat kebingungan juga. Bagaimana membuat Gema sembuh jika disaat Gema teringat traumanya, ia selalu melukai diri sendiri. Cara seperti apa yang bisa membuat Gema bicara atau mengadu pada kakaknya sendiri. 

Yoga pernah mengatakan Gema yang saat ini adalah Gema yang merasa asing dilingkungannya. Rasa bersalah bercampur trauma membuat Gema lebih memilih diam. Tingkat rasa sakit Gema bahkan sudah tidak bisa diukur lagi dikarenakan Gema sudah terbiasa terluka sejak kecil dengan jenis luka apapun. Hanya ada satu luka yang baru pertama kali dirasakan oleh Gema yaitu luka bakar dari putung rokok tempo hari. Ibu mereka yang dengan sengaja membuat penyiksaan baru itulah yang membuat Gema berfikir ia bisa tahan terhadap luka apapun. 

Rasya menurunkan pandangan dan menatap luka bakar Gema yang terlihat mengering. Ada kemerahan disekitar luka itu. Rasya tau pasti sangat gatal karena ada bekas garukan dari kuku Gema. Rasya kemudian mengambil gunting kuku yang ada dimeja belajar Gema. Perlahan dan sehati-hati mungkin, Rasya memotong dan merapikan kuku Gema. Suara gunting kuku itu memecah kesunyian diantara mereka berdua. 

Rasya menunduk sedalam mungkin agar Gema tidak melihat kedua mata elangnya yang sedang berkaca-kaca. Sekuat mungkin Rasya menahan tangisnya. Tidak pernah Rasya fikirkan kalau nasib adiknya akan seperti ini. Rasya tidak pernah memikirkan bahwa perceraian kedua orang tua adalah awal dari kehancuran seorang anak. Rasya terlalu berharap dan termakan janji ayah ibu mereka. Janji bahwa semua akan tetap baik saja, tidak akan ada bekas anak, waktu tidak akan berubah, kasih sayang akan tetap sama, tidak akan ada perpisahan antara orang tua dan anak, meski bercerai akan tetap saling menyayangi. Lalu inikah menyayangi yang dimaksud oleh ayah ibu mereka? 

"Menangislah" satu kata dari Gema membuat Rasya mengelurkan isak tangisnya yang sudah ia tahan dalam dalam. "Aku menyedihkan, ya?" tanya Gema lagi dan kali ini Rasya memilih untuk diam. Selain ia berusaha untuk tidak menangis, ini adalah kesempatan yang bagus untuk adiknya bicara. Rasya bersyukur sebanyak-banyaknya. 

"Ayo pulang, Kak", Rasya mengangkat wajahnya lalu menatap Gema tidak percaya. Darimana asal pemikiran dari adiknya kali ini. Pulang? Benarkah itu yang diinginkan adiknya? 

"Pulang ke rumah, Kak. Aku benar-benar menginginkannya" mohon Gema dengan wajah datar tetapi kali ini tatapannya menyendu. Tersirat permohonan yang sangat dalam dari seorang adik untuk kakaknya. Keinginan yang kuat untuk pulang itu bisa Rasya rasakan dan semakin kuat ketika melihat adiknya meneterkan air mata tanpa terisak. 


-Rasya dan Gema-




Souyaa

Setuju Rasya sama Gema pulang atau ngga nih kak? :))

GEMA || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang