"Bagaimana Gema, Kak?"
"Dia baik-baik saja, Rasya. Dia sudah makan dan minum obat. Dokter juga mengatakan besok jika kondisinya baik ia bisa pulang"
"Dimana Deni?"
"Pengacara itu? Dia sedang bersama Harry katanya ada yang ingin dibicarakan tentang kondisi putranya"
"Dia adalah selingkuhan ibuku, Kak. Kemungkinan anaknya adalah adikku. Ceritanya panjang aku tidak bisa menjelaskannya disini. Kak Sahir dan Area sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Untuk sementara awasi dia, Kak. Gema juga sudah tau semua ini"
"Baiklah"
Rasya langsung memutus panggilannya dan mengirimkan pesan pada Harry. Beruntung Harry membaca notifikasi itu dan mengantisipasi kalau-kalau pria dihadapnnya berusaha menyakitinya.
"Kenapa? Kau sudah tau siapa aku?" Tanya Deni dengan wajah lemasnya.
"Aku tidak akan menyakiti Gema atau siapapun. Wanita itu, Marta. Dia sudah berhasil menghancurkan semua yang aku punya" Jawab Deni sesekali dengan senyuman yang menyedihkan.
"Jadi, semua orang sudah tau siapa aku Apa kau akan berhenti mengobati putraku karena ini?"
Harry menghela nafas sejenak. "Tugasku sebagai dokter akan tetap sama. Tapi aku hanya akan melakukannya saat nyawa seseorang terancam. Jika aku melihatmu berusaha menyakiti Rasya, Gema dan semu sahabatku. Aku sendiri yang akan menghancurkanmu"
"Aku sudah akan hancur sebentar lagi, Dokter", Harry membenarkan kalimat Deni dan kemudian memintanya keluar dan menangung semua kesalahannya.
Sementara itu, Rasya dan Naresh sampai ditempat penahanan para tersangka dengan semua kejahatannya. Ia berniat untuk mendengar sendiri dari ibunya. Rasya masih menolak semua kenyataan yang ada.
Bersama Naresh, Rasya dan Marta bertemu diantara pembatas kaca yang masih bisa memantulkan suara mereka untuk bicara.
"Ibu penyebab semua ini?" Tanya Rasya tanpa basa basi. Bola mata elang itu sudah meloloskan satu dua air mata kecewa pada wanita yang sudah melahirkannya itu.
Marta mengalihkan wajahnya. Pandangannya ke segala arah asal tidak melihat putra sulungnya menangis.
"Bukankah kau senang melihat ibu seperti sekarang? Kau seharusnya mengungkapkan kekesalanmu. Bukan menangis!"
Rasya tersenyum miris, "Aku bahkan tidak tau lagi harus mengatakan apa. Tapi ibu pantas mendapatkan ini semua!"
Marta sedikit menaikan kedua sudut bibirnya. Tidak pernah ia duga pada hari ini, putra yang sangat ia sayangi dan banggakan begitu membencinya. Selama ini Marta membiarkan semuanya hancur kecuali Rasya tapi pad aakhirnya ia tidak bisa melindungi apapun dihidupnya.
Rasya keluar dari ruang kunjungan itu dengan berusaha menahan air mata dan melewati Naresh begitu saja. Naresh menatap Marta dengan tatapan kasihan. Walaupun keluarganya selalu membiarkan ia sendirian tetapi Naresh selalu mendapatkan kabar dari mereka. Naresh berjanji akan menyelesaikan masalah Rasya dan Gema hingga tuntas.
Rasya dan Naresh hanya bisa terdiam. Naresh tau sahabat sekaligus adiknya itu butuh tempat untuk sendiri untuk berdamai dengan kenyataan.
***
Gema membuka mata perlahan dan menemukan Yoga yang sedang membaca buku disampingnya. Gema heran mengapa Yoga tidak memilih untuk pulang. Sejak awal ia masuk rumah sakit Yoga tidak pernah meninggalkannya kecuali saat ia tertidur.
"Kak" Panggil Yoga yang kemudian disambut dengan wajah lembut dan juga menenangkan dari Yoga.
"Kak Yoga tidak pulang?" Tanya Gema sembari berusaha duduk dikepala kasurnya.
"Apa yang akan terjadi jika aku tinggal kau sendirian, Gem?". Pertanyaan Yoga ini begitu menusuk. Gema juga terdiam tidak tau harus menjawab apa.
"Tidak akan ada yang terjadi, Kak" Jawab Gema seadanya.
Yoga melepas kacamata dan melipat bukunya. Gelengan tidak percaya dari Yoga membuat Gema sadar ia tidak akan berhasil merealisasikan yang ada dikepalanya.
Yoga menghela nafas sambil membuka nakas disamping meja Gema. "Ares menemukan surat dari ayahmu sebelum konferensi pers kemarin. Jadi begitu? Kau dan Tuan Randy sering mengirim surat, Gema?"
Gema juga menarik nafasnya sebentar sebelum menjawab Yoga, "Ada hal yang tidak seharusnya kau tau, Kak"
"Ini bukan pertama kalinya, Gem!" Tegas Yoga yang langsung membungkam Gema.
"Manusia tidak akan tau sebelum merasakannya. Itu juga berlaku untuk Kak Yoga yang tidak akan pernah bisa mengerti seperti apa yang aku rasakan!" Teriak Gema dengan suara lebih tinggi dari Yoga sebelumnya.
"Jadi, kau ingin semua orang merasakan apa yang kau rasakan, Gem? Bagaimana dengan Rasya? Kau mau dia menderita juga?"
"Aku penyebab penderitaannya. Setiap nafas dan menit dalam hidupku aku sungguh ingin membuangnya. Hidup dengan jiwa yang sakit dan fikiran yang berantakan membuat bumi sudah berhenti berputar untukku!!", kini air mata Gema mewakili semua yang ia rasakan.
Gema turun dari kasurnya dan mencabut paksa infus yang masih dipunggung tangannya. Dengan gerakan cepat ia membuka lengan baju pasien dan menunjukan banyak luka disana. Gema tidak memberikan Yoga kesempatan untuk meringis, selanjutnya ia membuka baju dan memperlihatkan semua tubuhnya yang lebam dan perut yang penuh dengan luka goresan yang baru.
"Saat aku pingsan kemarin, pasti Kak Yoga dan yang lainnya sudah melihat ini semua. Tapi apa Kak Yoga paham? Sebanyak apapun aku meminum obat atau berusaha sembuh dengan bantuan Kak Yoga aku justru merasa makin tidak berdaya dan tidak punya kesempatan. Sembuh itu hanyalah omong kosong untuk orang sepertiku"
Gema melemas dan jatuh begitu saja sembari meremas kedua sisi kepalanya, bermaksud untuk menutup telinga yang penuh dengan suara. Isak tangis Gema terdengar memilukan. Yoga masih belum memberikan reaksi apapun karena Gema butuh waktu dan kesempatan untuk membuka isi hatinya untuk kesekian kali. Yoga juga tidak akan memiliki rasa bosan atau sedikit saja kebencian dalam hatinya untuk Gema. Hubungan Gema dan dirinya sudah sangat dalam menempati batinnya.
"Aku harus bagaimana? Aku tidak ingin hidup lagi" Lirih Gema yang secara tiba tiba memukul kepalanya sendiri dengan keras, "Pergi! Pergi! Bodoh! Bodoh! Kau tidak ada! Pergi dari kepalaku! Bodoh! Aku bodoh! Gema bodoh!"
Pintu ruang rawat itu terbuka dan seketika Rasya dibuat panik saat melihat posisi Gema yang sedang memukul diri sendiri. Niat Rasya untuk menghampiri Gema dihalang oleh Yoga. Gelengan kepala Yoga ditolak oleh Rasya yang langsung mengatakan, "Apa aku harus diam saja saat Gema seperti ini, Kak?"
"Gema masih ingin mengakhiri hidupnya. Percuma kau bicara dengannya saat ia sedang tidak stabil seperti sekarang" Jawab Yoga dengan tatapan tajam untuk meyakinkan Rasya.
"AAAAAARRGH!!", Setelah teriakan itu Gema secara acak menjatuhkan barang yang ada dimeja. Kedua tangannya dan badannya mengayun untuk menghancurkan apa yang ada disekitarnya.
Naresh dengan sigap memanggil perawat dan dokter yang berjaga disana sementara Yoga dan Rasya menbantu Gema untuk tetap tenang. Yoga berhasil memegang kaki Gema sementara Rasya berhasil mengenggam tangan Gema dari belakang tubuh adiknya. Setidaknya pergerakan Gema terbatas dengan usaha mereka.
Rasya memeluk Gema erat dan sesekali berbisik pada adiknya, "Ini kakak, Gem. Kak Rasya disini. Kakak mohon, Gem". Air mata Rasya juga tidak bisa dibendung lagi. Dua hari ini ia banyak sekali menerima kesedihan dan melihat adiknya sendiri jatuh untuk kesekian kali adalah yang paling menyakitkan.
Dokter dan perawat dengan segera memberikan suntikan intramuskular dengan obat penenang sehingga Gema jauh lebih baik. Semakin lemas badan Gema semakin erat Rasya memeluknya.
"Apa yang terjadi, Gem? Kamu kenapa?" Tanya Rasya masih dengan terisak.
"Aku ingin pulang, Kak" Jawab Gema sebelum lelap menguasainya.
-Rasya dan Gema-
Souyaa
Beberapa bagian menuju ending dengan pengorbanan salah satu tokoh didalam cerita ini :")
See you ending part, kak💜
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMA || END
Fanfictionada kalanya redup dan ada kalanya bersinar dan Gema tidak bisa membedakannya @okt2021