17

630 74 12
                                    

Semua barang sudah di packing rapi, Hyunjin menanti kedua orang di hadapannya dengan tatapan tajam. Jeongin terus tertunduk lemah tak berdaya, dia mengikuti dengan patuh semua instruksi dari pengasuh Jang.

" Ini gajimu! Berikutnya carilah pekerjaan di tempat yang lebih baik!" Hyunjin menyerahkan sejumlah uang pada pengasuh Jang dan membuat sang pengasuh itu kebingungan.

" Maksud tuan, saya ....."

" Kau tenang saja, semua ini bukan karena kinerjamu yang buruk, hanya saja aku sudah tidak membutuhkan seorang pengasuh lagi."

" Lalu tuan muda?"

" Pergilah! Aku juga akan segera pergi. Sampai jumpa, dan terimakasih untuk kinerjamu selama ini."

Hyunjin menyerahkan uang tersebut dan segera tanjap gas. Jeongin yang menyadari jika satu-satunya orang yang bisa dia andalkan tidak ikut bersamanya pun mulai gelisah. Sesekali mata sipitnya melirik wajah pengemudi yang terlihat dingin dan masam.

Hyunjin mengambil earphonenya dan menghubungi seseorang.

.
.
.

[ HJ ] " Hallo nyonya! Aku dengan anda memiliki lembaga penampungan untuk anak-anak tanpa orang tua? Iya benar, apa anda bisa datang kebandara malam ini juga? Maaf, aku sedang sibuk jadi tidak bisa mengantarkannya ketempat anda. Iya --- benar, atas nama Hwang Hyunjin. Iya ---- Yang Jeongin. Baiklah nyonya Oh, aku akan sangat tertolong jika anda bisa datang tepat waktu. Iya, selamat malam."

.
.
.

Tubuh kecil Jeongin memucat dan gemetar, dia tahu betul rencana dari orang dewasa disampingnya.

Sesampainya di bandara Hyunjin menarik Jeongin menuju kursi tunggu bandara. Bunyi denting jam besar di bandara begitu mengusik hati bocah itu, setiap detik yang di lalui jarum besar itu seperti dentang kematian bagi dirinya.

" Umm... Papa... In mau ketoilet." Ucap Jeongin ragu. Hyunjin menatap tajam si kecil yang terus tertunduk.

" Pergi!" Singkat Hyunjin.

Jeongin bengkit dan melangkah sendiri mencari letak toilet di bandara yang cukup besar tersebut. Karena kurang fokus, Jeongin tak sengaja menyenggol seorang pengunjung bandara di sana.

" Adik kecil, kau baik-baik saja? Dimana orang tuamu? Apa kau datang sendirian?" Tanya pengunjung tersebut khawatir.

" Hmm... Paman, bisakah membantuku? Aku ingin menghubungi mama." Jeongin memohon dengan sangat.

" Apa kau terpisah dari orang tuamu? Kalau begitu aku akan mengantarkanmu ketempat informasi."

" Tidak!" Tolak Jeongin cepat.

" Itu ... Jika boleh... Aku ingin pinjam ponsel paman. Mamaku ada di rumah, aku mau menelponnya."

" Hah? Hmm.. baiklah." Meski bingung dengan cerita Jeongin yang terbata, pengunjung ramah itu akhirnya meminjamkan benda pintarnya pada Jeongin.

" Apa kau hafal nomor mama mu?"

" Iya!" Jeongin mengangguk mantap.

.
.
.

[ IN ] " Hallo mama..."

[ FL ] " IN? Mamama?"

[ IN ] " Lixie ... Lixie... Apa itu kau? Lixie Aku takut..."

Dengan suara gemetar, Jeongin menceritakan semuanya pada Felix malam itu. Felix yang berada di balik sambungan telpon mendengarkan dengan baik setiap kronologi yang Jeongin adukan padanya.

Mata Felix membulat ketika Jeongin mengucapkan nama 'nyonya Oh'. Sementara itu Jeongin terus merengek pada Felix, agar Felix bersedia menolongnya.

[ BL ] BLUE EMERALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang