31. Luka Yang Lain

30.4K 3.8K 1.2K
                                    


[Episode 31---Luka Yang Lain]

“Manusia terbodoh adalah manusia yang selalu berbuat baik kepada orang lain, namun malah jahat kepada dirinya sendiri.”——7 WISHES.

Seorang pria tampan berjubah putih dengan alat stetoskop yang selalu menggantung sempurna pada leher mulusnya itu berlari sekencang mungkin menyusuri koridor rumah sakit hendak memasuki kamar pasien yang kini tengah dalam kondisi kritis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang pria tampan berjubah putih dengan alat stetoskop yang selalu menggantung sempurna pada leher mulusnya itu berlari sekencang mungkin menyusuri koridor rumah sakit hendak memasuki kamar pasien yang kini tengah dalam kondisi kritis. Mengesampingkan wajahnya yang tengah babak belur tak karuan, Chandra lebih mengutamakan kesehatan putra kandungnya.

“Minggir, sini biar saya yang urus,” titah Chandra menyuruh seorang dokter wanita agar menyingkir dari hadapannya.

“Tapi tugas kamu bukan di sini, Chandra,” sela perempuan paruh baya itu, menjawab Chandra dari balik masker medisnya.

“Putraku sedang sekarat sekarang! Dia sangat membutuhkanku. Anda tidak akan paham bagaimana rasanya menjadi seorang Ayah!” sentak Chandra menatap si wanita dengan tatapan penuh kehancuran.

Mata pria bertubuh kekar itu berair, berkaca-kaca, tak sanggup lagi melihat lebih lama penderitaan yang dirasakan sang anak. Semua ini terjadi karena kelengahan Chandra sendiri. Andai saja ia datang tepat waktu ketika Riki memberitahu bahwa Janu dibawa pergi oleh Zalfa dan Devan, mungkin Janu tidak akan sekarat seperti ini.

Sang dokter perempuan pun segera menyingkir mundur seakan mengerti akan kesedihan mendalam yang dialami rekan kerjanya.

“Dokter! Dokter! Gawat! Detak jantung pasien tiba-tiba berhenti!” pekik seorang suster cemas. Membuat pembuluh darah Chandra seakan berhenti berdesir, ia panik luar biasa.

“Cepat nyalakan defibrilator!” perintah Chandra tegas, seluruh perawat yang berada di sana pun langsung mematuhinya.

Sementara kondisi Janu malah kian memburuk, embusan napas hangat anak itu kini bahkan nyaris tak dapat dirasakan. Sekujur tubuh Janu membiru, bibirnya pucat pasih, rambutnya lepek dibasahi keringat. Entah sudah berapa kali Janu tak henti-henti mengalami muntah-muntah sewaktu dalam perjalanan menuju rumah sakit. Padahal Riki sudah berkali-kali mengoleskan minyak kayu putih pada leher dan perut sang abang, akan tetapi tak berpengaruh sama sekali.

Selang oksigen dimasukkan ke dalam hidung mancung Janu. Chandra segera mendekatkan wajahnya pada telinga sebelah kanan Janu sebelum berbisik pelan. “Kakak bisa dengar suara Ayah? Kakak sembuh, ya? Ayah, Bunda, dan Adek di sini kangen banget sama Kakak. Berjuang sekali lagi, Ayah mohon...,” pinta Chandra melirih.

Perlahan demi perlahan, Chandra mendekatkan wajahnya pada wajah Janu, mengecup puncak kepala Janu cukup lama sebelum ia letakkan alat defibrilator di atas dada telanjang anak itu membuat dada Janu sesekali terangkat lantaran efek samping dari alat kejut jantung tersebut.

“Janu ayok bertahan! Ayok hidup!” Chandra kembali mengulangi hal yang sama, berharap dapat mengembalikan detak jantung Janu. Namun sayang, usahanya belum kunjung berhasil.

[✓] 7 WISHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang