47. Sirna Tanpa Bekas [END]

72.2K 5K 7.1K
                                    

Episode 47---Sirna Tanpa Bekas

“Pada akhirnya tidak pernah ada kehidupan yang sempurna di dunia, sebersih apapun tubuh seorang manusia, akan selalu ada secuil kuman yang tidak terlihat.”

***

Aii aii🙌

Seneng gak dapet notif dari Mwiza?

Cung yang gamon dari cerita ini? Btw ini chapter terakhir yaw 😔☝️

Buka part ini jam berapa?

Lagi ngapain? Di mana?

Tahta tertinggi di dunia K-Pop siapa?

Eh sumpah ga kerasa, masa udah mau end aja:) Mwiza seneng banget tapi juga sedih huhu;(

Karena ini part terakhir, tolong bantu ramaikan komen di setiap paragraf sebagai bentuk apresiasi terakhir kalian untuk penulis, ya! 🥺🤍

⚠️ Bacanya pelan-pelan aja, jangan ngebut. Diresapi baik-baik biar feel-nya nyampe 🤍

⚠️ Jangan diskip-skip.

***


Riki memejamkan mata, kedua tangannya mengepal kuat dengan gigi mengeras menahan rasa nyeri nan ngilu yang semakin menjadi-jadi. Kepala anak itu sudah berlumuran darah, bahkan kini otaknya tak kuat untuk sekadar digunakan berpikir.

Para preman suruhan Devan mulai berlarian ke sana kemari, mereka tergopoh-gopoh berlomba-lomba untuk keluar dari dalam bangunan. Tanpa peduli pada kondisi mayat anak-anak yang porak-poranda di atas lantai dengan segala bentuk luka yang beragam.

Sebelum betul-betul keluar, beberapa preman itu secara sengaja terlebih dahulu menutup dan mengunci semua akses pintu keluar. Tak cuma pintu, semua jendela-jendela pun dikunci rapat-rapat. Tak dibiarkan terbuka sedikit pun. Tujuannya sederhana, agar satupun anak panti tidak ada yang selamat. Termasuk Jidan.

Benar, awalnya Abi memang berniat mengadopsi Jidan guna membalaskan dendam. Akan tetapi, kini Abi berubah pikiran. Kenapa tidak ia biarkan saja Jidan mati bersama saudara-saudaranya di sana? Kalau Jidan mati, otomatis saingannya pun akan berkurang.

“WOE! JANGAN DIKUNCI PINTUNYA BANGSAT!” murka Satria. Dengan napas ngos-ngosan, ia berusaha keras memutar kenop pintu. Namun naas, pintunya terlanjur dikunci dari luar.

Lutut Satria melemas, pasalnya barusan telinganya mendengar jelas suara teriakan kencang seorang preman yang memberi peringatan tentang adanya sebuah bom yang akan meledak di lantai dua.

Sandy menghembuskan napas gusar. Di dalam kamar mandi ia tak henti-henti mondar-mandir kepanikan, takut terjadi sesuatu pada Satria di luar sana. Belum lagi, ia juga amat mencemaskan kondisi Janu yang sempat tertembak dan mengalami luka cukup serius.

Sandy tak sanggup lagi, anak itu akhirnya memutuskan untuk keluar dari toilet menuju ke ruang aula panti. Dan betapa terkejutnya Sandy kala melihat Jidan tengah menangisi Riki yang tergeletak di atas tanah dalam kondisi kepala bercucuran darah.

Mulut Sandy menganga, dalam sekali tarikan napas anak itu berteriak guncang sambil berlari sekencang-kencangnya menghampiri mereka. “RIKII!!”

Tak jauh beda dari Jidan, Sandy kini meluruh ke lantai. Dia lemas tak bertenaga menyaksikan detik-detik kematian sang adik. Luka Riki tak main-main, peluru panas itu menghancurkan organ di dalam kepalanya membuat ia mustahil untuk hidup karena otaknya sudah rusak.

[✓] 7 WISHESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang