Bab 7 : Misteri dan Rahasia

2.5K 170 0
                                    

"Susu?"

Lamunan Permata tersentak ketika seseorang dengan tiba – tiba menawarkan sekotak susu coklat dingin di hadapannya.

Permata lalu menerimanya sambil tersenyum tipis. "Thanks, Pram,"

Cuaca panas seperti ini memang paling cocok minum minuman dingin. Dibandingkan dengan soda atau jus, Permata lebih menyukai susu. Kesukaannya ini bahkan masih diingat oleh sepupu dari mantan suaminya karena dulu di kulkas ruang kerja Aditya terdapat stok susu coklat yang cukup banyak.

Pramana membalasnya dengan anggukan ringan. Niatnya berjalan – jalan di taman kantor yang terletak di lantai lima tidak jadi ketika melihat Permata, mantan kakak iparnya, melamun sendirian. Pramana rasa sedikit menggoda mantan kakak iparnya ini adalah hal yang menarik.

"Sudah makan siang?" tanya Pramana.

Permata menaikkan alisnya. "Seharusnya, 'apa kabar', kan?"

"Kamu terlihat baik, dari luar. Jadi, buat apa aku bertanya?"

Permata mendengus. "Kamu tidak membenciku?"

"Untuk apa? Karena berselingkuh dari sepupuku? Atau karena perempuan yang aku cintai akan menikah dengan sepupuku?"

Inilah Pramana, satu – satunya Ganendra yang paling baik hati dan bermulut jujur. Jika Aditya adalah orang dengan gengsi setinggi langit dan tak jarang menutupi perbuatannya dengan kata – kata dingin, Pramana lebih memilih menjadi orang yang jujur dan hangat dalam waktu bersamaan.

Kecuali untuk urusan hatinya.

Tetapi sampai kapanpun Permata tidak akan pernah bisa membencinya. Bagaimana bisa Permata membenci seseorang yang sangat disayang oleh Aditya bagaikan adik kandung sendiri?

"Untuk terlahir di dunia ini," Permata berucap sambil meninggalkan Pramana yang masih berdiri memandang langit siang hari di bawah teduhan kanopi.

Pramana tidak membiarkan Permata lewat, dia menggenggam lengan Permata dengan kuat namun lembut lalu mendekatkan bibirnya pada telinga Permata untuk berbisik. "Remember, Permata. Sepandai – pandainya bangkai ditutupi, baunya akan tetap tercium juga,"

Jantung Permata bertalu – talu. Bangkai? Jangan – jangan Pramana sudah tahu rahasianya?

Dari balik partisi kaca yang memisahkan area dalam dan luar, orang – orang akan salah paham dengan posisi Permata dan Pramana sekarang. Begitu juga dengan Aditya yang melihat itu semua ketika keluar dari lift. Tangannya terkepal. Niatnya ingin menyusul Pramana malah melihat drama picisan seperti ini.

"What a lovely view," Aditya menghampiri mereka dengan rahang mengeras.

Setelah sedetik terpaku dan melotot ke Pramana, Permata menepis dengan tegas tangan Pramana yang masih memegang lengannya. Permata lalu menunduk tanda hormat kepada Aditya dan berniat untuk segera berlalu pergi.

Daripada Pramana, Permata lebih takut kepada Aditya. Sudah setahun Permata tidak pernah bertemu dengan Aditya, tapi tekanan yang diberikan oleh seorang Aditya tidak pernah main – main. Dari jarak tiga meter saja, Permata merasa dirinya seolah – olah di telanjangi oleh tatapan Aditya yang seakan menembus punggungnya.

Tapi niat hanyalah niat. Permata nyaris merasakan dirinya jatuh ke pelukan Aditya ketika berusaha melewatinya, jika bukan karena pegangan kuat tangan Aditya pada lengan Permata yang habis di genggam oleh Pramana. Pegangan itu cukup kuat sampai – sampai membuat Permata sepintas mengernyitkan dahinya. Aditya lalu membuat gestur seperti membuang debu pada lengan tersebut. Permata tidak berani menatap Aditya.

"Perhatikan penampilanmu, Bu Permata," Aditya berucap pelan – pelan seakan singa yang memperingati mangsanya untuk tidak main – main.

"B-baik, Pak," Permata tidak berpikir dua kali untuk segera meninggalkan tempat tersebut kala tangannya sudah terbebas.

Lalu atensi Aditya mengarah ke Pramana.

"Kau mau menuduhku berciuman dengannya?" Pramana memulai pembicaraan yang hanya ditanggapi Aditya dengan menaikkan satu alisnya.

"Whatever, dude. Kamu tau hatiku itu milik siapa," setelah mengucapkan itu, Pramana mensejajarkan posisinya dengan Aditya yang kini memandang hampa ke depan.

Sesaat hening melanda mereka berdua. Tidak ada yang memulai percakapan. Keheningan seperti ini sangat dinikmati oleh keduanya sebelum badai menerpa.

"Is it the time?" bisik Pramana.

"It is," balas Aditya juga sambil berbisik.

---

TBC

Halo semuanya. Aku sedang mengusahakan yang terbaik supaya bisa update 2x seminggu, mohon doanya ^^ Semua tulisan ini adalah murni dari imajinasi ku ya. Aku sadar karya ini masih banyak kekurangan. Mohon kritik dan sarannya yang membangun, terutama jangan lupa komen dan vote/lovenya supaya aku semakin semangat! Untuk tetap keep in touch dengan aku dan karya - karyaku, silahkan follow : wattpad, karyakarsa, dan IG ku juga ^^

Tolong budidayakan untuk tidak menjiplak dan menghargai karya orang lain sekecil apapun, ya! <3

Karyakarsa, Watppad, dan IG : @thebluemoon247

Terimakasih ^^

Permata Satu - Satunya (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang