Bab 9 : Mentari yang Bersinar

2.4K 124 3
                                    

"Halo, anak – anak!" sapa Mentari dengan riang ketika memasuki ruang rawat khusus anak – anak di sebuah rumah sakit di Jakarta

Inilah pekerjaan sampingan Mentari yang tidak di bayar. Ketika di Bandung, Mentari sudah terbiasa selama lima tahun bekerja sebagai sukarelawan penghibur anak – anak di rumah sakit. Neneknya juga senang kala Mentari mengisi waktu luangnya untuk hal – hal baik seperti ini.

"Halo, Kak Mentari!" serentak anak – anak menjawab Mentari.

Mulailah Mentari bercengkrama dengan mereka. Mulai dari membacakan cerita, menyusuk balok – balok kayu kecil, menyuapi mereka cemilan, sampai menemani mereka untuk buang air kecil.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, jadwal ketika anak – anak tersebut untuk dikunjungi oleh dokter. Mentari undur diri untuk dapat ke toilet sembari menunggu dokter tersebut selesai memeriksa anak – anak.

Ketika dalam perjalanan balik menuju ruang rawat anak – anak, Mentari melihat sebuah selendang terjatuh dari seorang wanita paruh baya yang sedang mengayuh kursi rodanya sendiri. Hati Mentari langsung terenyuh dan sontak setelah mengambil selendang yang terjatuh, Mentari membantu wanita tersebut untuk mendorong kursi rodanya.

"Ibu, mari Saya bantu. Ini juga selendang Ibu tadi terjatuh," ucap Mentari dengan lembut.

Wanita tersebut membalas dengan senyum keibuan mendengar suara Mentari yang begitu lembut.

"Terima kasih...?"

"Nama Saya Mentari, Bu. Semoga Saya bisa mencerahkan hari Ibu seperti nama Saya, ya!" balas Mentari yang keceriaannya tidak pernah luntur.

Wanita tersebut tertawa. Akhirnya diketahui bahwa wanita paruh baya tersebut, Bu Kirana, ingin menonton pertunjukkan biola yang selalu ada di taman rumah sakit ini setiap pukul empat sore. Karena anak laki – lakinya datang telat dan Bu Kirana tidak ingin melewatkan pertunjukkan tersebut, maka dia berinisiatif untuk pergi ke sana sendiri. Toh, dia lebih dari mampu dan merasa sudah sehat.

Mentari sendiri baru tahu di rumah sakit menyediakan pertunjukkan biola setiap pukul empat sore. Mungkin karena Mentari adalah orang baru dan tidak pernah melewati lorong rumah sakit bagian ini, jadi Mentari tidak mengetahui hal tersebut. Mentari ikut senang karena berarti banyak orang – orang baik yang menyediakan waktunya untuk jadi relawan disini.

Sampai di taman yang dimaksud, pertunjukkan biola tersebut sudah di mulai. Bu Kirana langsung hanyut dalam melodi – melodi indah yang di lantunkan, begitu pula dengan Mentari. Mereka berdua bersama pasien – pasien lain terdiam karena sedang menikmati alunan dari biola yang sedang dimainkan.

"Indah sekali ya, Mentari?" bisik Bu Kirana.

Mentari mengangguk mengiyakan. Takut jika bersuara malah akan menganggu suasana yang sedang fokus ini.

Permainan biola itu memang tidak lama, tapi sangat membekas di hati mereka. Pemain biola tersebut kemudian pamit untuk pergi ke taman yang satunya lagi di rumah sakit ini guna memberikkan pertunjukkan berikutnya.

Mentari lalu ijin untuk mendorong kursi roda Bu Kirana sehingga dapat mengantarkannya ke ruang rawatnya.

Dari cerita Bu Kirana sepanjang perjalanan mereka ke ruang rawat, Mentari tahu bahwa Bu Kirana adalah orang yang sangat mencintai musik terutama instrumen biola. Dia sendiri dulu merupakan seorang komposer, tetapi terkendala oleh masalah kesehatannya sehingga harus mengundurkan diri dari dunia tersebut untuk fokus pada kesehatan dan keluarganya.

Mentari menikmati cerita Bu Kirana sambil sedikit bersimpati di dalam hatinya. Bagaimanapun, tidak mudah untuk berbesar hati melepas impian yang sudah melekat sejak kecil. Tapi Mentari sungguh kagum akan kedewasaan dan ketulusan hati Bu Kirana yang memprioritaskan kesehatan dan keluarganya. Karena kalau dia sehat, keluarganya juga akan ikut bahagia.

Permata Satu - Satunya (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang