Bab 4 : Pantaskah?

2.6K 175 0
                                    

"Proses dari akuisisi Biantara Company sudah mencapai sembilan puluh persen, Pak," begitu berkas di tangan Aditya terbuka dan dibacanya dengan cermat, Satya Handoyo selaku sekretaris pribadinya menjelaskan.

Aditya mengangguk. "Aku tidak mau ada kesalahan. Kita harus menyambut karyawan – karyawan transfer dengan baik, kan?"

Nada Aditya terdengan santai, tapi sebagai orang yang sudah delapan tahun bekerja bersama, Satya tahu ada maksud lain dari kalimatnya. Terutama, ketika dia menemukan nama Permata Pramudya di salah satu daftar karyawan – karyawan transfer dari Biantara Company.

Alasan Aditya untuk mengakuisisi Biantara Company pun dipikir Satya masih abu – abu. Karena profit saham yang naik kah? Karena masuk ke dalam daftar sepuluh besar perusahaan penerbitan paling berpengaruh dalam dua tahun ini kah? Atau karena seorang Permata Pramudya?

"–Satya?" lamunan Satya langsung buyar mendengar nada atasannya yang menajam.

"Y-ya, Pak?" Satya berusaha untuk tidak kehilangan suara.

Aditya tersenyum, manis sekali hingga Satya merinding. "Lain kali jangan sampai tertangkap sedang melamun di tengah jam kerja atau gajimu akan kupotong,"

Tubuh Satya langsung kaku. "B-baik, Pak. Maafkan Saya,"

Satya merasa Lingga yang sedari tadi berdiri di belakang Aditya menertawainya. Padahal, gerakan yang dilakukan Lingga sedari tadi hanyalah berkedip dan bernafas!

Jika diingat – ingat, dulu suasana kantor tidak setegang ini berkat seorang Permata Pramudya. Mantan istri bosnya itu selalu bisa mencairkan suasana hati Aditya yang seperti diisi oleh bongkahan salju sangking dinginnya. Semenjak mereka bercerai, perangai Aditya yang buruk menjadi lebih buruk. Harusnya Satya lebih hati – hati lagi dalam menjaga sikapnya yang bisa saja mempengaruhi suasana hati Aditya.

Permata juga tidak akan segan berbagi makan siang yang langsung dibuatnya sendiri. Niatnya ingin makan siang dengan Aditya, tapi Permata pasti membuatkan lebih untuk dibagi ke para bodyguard yang sedang berjaga diuar dan bahkan Satya juga mendapat bagiannya. Tak jarang hal tersebut akan membuat Aditya cemberut, tetapi beberapa saat kemudian akan tersenyum cerah lagi karena Permata yang terlihat bahagia.

Mencoba menetralkan kegugupan, Satya kembali berucap. "Pak, sepuluh menit lagi meeting dengan dewan direksi akan di mulai,"

Baru saja Satya selesai berucap, Aditya sudah berdiri sambil mengancingkan jasnya. "Ayo,"

Perjalanan menuju ruang meeting besar hanya memakan waktu kurang dari lima menit. Hal ini dikarenakan lokasi ruang meeting besar yang berada tepat di bawah ruang pribadi Aditya di lantai tiga puluh delapan dan dapat di capai dengan lift khusus para petinggi perusahaan.

Begitu dibukakan pintu oleh Satya dan masuk ke dalam ruangan, suara diskusi langsung berhenti menjadi hening. Semua orang yang tadinya duduk di kursi serempak bangun untuk menyambut Aditya dengan hormat meskipun beberapa di antara mereka tidak tulus. Aditya tidak mau ambil pusing tentang hal itu dan hanya mengangguk tanda menerima salam mereka.

"Mari kita mulai rapatnya," kata Aditya ketika sudah duduk dengan nyaman di kursi kebesarannya dengan Lingga yang menjadi bayangannya.

Proyektor langsung dinyalakan lalu menampilkan kurva – kurva rumit hasil penjualan selama sebulan ini. Tidak terasa dua jam rapat berjalan dengan serius dan berencana akan diakhiri sampai seorang pria yang umurnya tidak jauh dari Aditya mengangkat tangannya untuk bertanya.

"Ya, Pak Damian Adipati?" Aditya bertanya.

Pria yang di panggil namanya hanya tersenyum sopan dan mengangguk. "Tanpa mengurangi rasa hormat Saya kepada Pak Aditya, apakah kami boleh tau maksud dan tujuan Bapak mengakuisisi Biantara Company?"

Sudut bibir Aditya berkedut karena merasa geli dan jengkel. Dia berani bertanya maksud dan tujuannya disaat maksud dan tujuan dirinya sendiri seakan terpampang jelas di wajah? Apakah orang ini sedang bercanda dengannya? Karena selera humornya sangat buruk. Dia tidak menerima candaan seperti ini, terutama oleh jenis manusia menyedihkan seperti Damian Adipati dan ayahnya yang sudah mendekam di penjara.

Aditya jadi sedikit meragukan keputusannya menarik Damian untuk bekerja di perusahaan ini. Tidak ada alasan lain selain rasa belas kasihnya kepada sesosok semut dalam hidupnya. Tapi jika tidak begitu, permainan tidak akan menjadi menarik, kan?

Memang, sekilas mereka pasti akan bertanya – tanya. Kenapa Ganendra Company yang menguasai bisnis otomotif perlu repot – repot mengakuisisi Biantara Company yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali?

Tapi pantaskah mereka menanyakan hal tersebut? Pantaskah Damian menanyakannya?

"Kalau Saya membaca daftar karyawan – karyawan transfer yang akan masuk mulai senin depan, ada satu nama yang menarik perhatian Saya, yaitu Perm–" Damian melanjutkan dengan santai tanpa mengetahui bahwa nyawanya akan terancam sebentar lagi.

Aditya sudah berdiri, kursinya sampai terdorong ke belekang, dia hampir saja akan kehilangan kesabarannya dan akan segera menghampiri tempat Damian duduk jika saja suara dari wakil direktur tidak menyela.

"Pak Damian, saya rasa hal itu tidak perlu di pertanyakan lagi. Proposal pengakuisisian Biantara Company dua bulan lalu sudah cukup untuk menjelaskan keuntungan apa yang kita dapatkan. Jika ada yang menarik perhatian pribadi Bapak di luar proposal tersebut, silahkan melakukan riset sendiri dan bukan di rapat ini," Pramana Ganendra, cucu tertua kedua dan sepupu dari Aditya, yang terkenal dengan keramahannya berucap dengan dingin.

Bukannya menyudahi kelancangannya, Damian masih terus melanjutkan. "Baik, Pak Pramana. Terimakasih sudah diingatkan. Saya akan ikut turun tangan langsung menyambut karyawan – karyawan transfer senin nanti. Siapa tau akan ada hal yang menarik, bukan?"

Suasana di dalam ruang rapat semakin tegang. Para petinggi saling melirik takut namun penasaran dengan tanggapan dari direktur utama mereka. Siapa yang tidak tahu gosip mengenai direktur utama mereka yang seorang duda? Berita itu lenyap tanpa jejak di internet, tapi bukan berarti lenyap dari ingatan orang – orang dalam seperti mereka.

Kali ini Aditya tidak mau repot – repot duduk lagi karena memutuskan untuk segera meninggalkan ruangan ini sebelum dirinya meledak dan membunuh Damian. Tapi sebelum benar – benar meninggalkan ruangan ini, Aditya terhenti di ambang pintu dan berucap dengan nada misterius.

"Who knows?"

---

TBC

Halo semuanya. Mohon maaf bab ini sedikit pendek. Mulai minggu depan, aku akan usahakan untuk update 2x, mohon doanya ^^ Semua tulisan ini adalah murni dari imajinasi ku ya. Aku sadar karya ini masih banyak kekurangan. Mohon kritik dan sarannya yang membangun, terutama jangan lupa komen dan vote/lovenya supaya aku semakin semangat! Untuk tetap keep in touch dengan aku dan karya - karyaku, silahkan follow : wattpad, karyakarsa, dan IG ku juga ^^

Tolong budidayakan untuk tidak menjiplak dan menghargai karya orang lain sekecil apapun, ya! <3

Karyakarsa, Watppad, dan IG : @thebluemoon247

Terimakasih ^^

Permata Satu - Satunya (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang