Alfred terdiam, ia ingin mengucapkan sepatah kata, namun bibirnya terasa berat.
Cukup lama dia memandang wajah Kimberly, hingga tanpa ia sadari bubur itu telah tandas.
"Besok tidak usah bekerja, kau akan merepotkan aku lagi," celutuk Kimberly.
Alfred merasa bersalah, ia selalu merepotkan wanita di depannya. Setiap pagi Kimberly akan menyiapkan baju kantornya, baju tidurnya, baju santainya, kadang membantu mengikat dasinya, membawakan tas kerjanya. Ya, layak di juluki istri idaman. Tapi, dia tidak bisa melakukan apa pun. Ia hanya bisa mengecewakan Kimberly dengan perlakuan yang dingin.
"Ly, kalau seandainya aku berbohong pada mu? Apa kau akan membenci ku?" Tanya Alfred. Dia menunduk dan cemas dengan jawaban Kimberly.
"Tergantung, tergantung kebohangan mu."
Drt
Alfred menoleh, itu panggilan dari Jennie dan Kimberly memahami situasi itu. Dia mengigit bibir bawahnya dan tersenyum.
"Alfred, aku ke dapur dulu untuk menaruh mangkok ini."
Kimberly pun langsung pergi dan Alfred hanya bisa memandang tubuh sang kakak ipar yang menghilang di balik pintu. Setelah pintu di rasa tertutup, Alfred mengangkat panggilannya.
"Iya, Jen."
"Alfrik, apa kau benar tidak bisa makan malam dengan ku? Tadi kakak ku mengatakan kau tidak bisa datang dan malah ... "
"Maaf, aku terlalu mengorbankan mu," ucap Alfrik merasa bersalah. Ia delema, masuk ke dalam dua hubungan yang membuatnya tercekik tiap saat. Menyakiti Jenni dan membohongi kakak iparnya, meskipun ia lakukan demi kakaknya, Alfred.
"Tidak, ini kewajiban mu membantu orang tua mu, tapi bagaiman kalau seandainya kakak mu tidak terbangun? Apa selamanya akan seperti ini?" Tanya Jenni dengan tenggorokan tercekat, ia menghapus buliran air matanya yang telah membasahi pipinya.
Alfrik menunduk, ia mendengarkan isakan tangis di seberang sana. "Maaf, kalau aku selalu membuat mu menangis, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa?"
"Tidak bisakah kau menolak permintaan kedua orang tua mu, kau berhak bahagia. Kita sudah menjalaninya terlalu lama, Fri. Aku tidak mau kehilangan mu. Apa aku saja memohon pada kedua orang tua mu?"
"Jangan, biar aku yang mengatakannya. Kita hanya menunggu waktu, sekali lagi aku minta maaf karena menjadi penyebab air mata mu. Jangan menangis untu ku, aku tidak patut di tangisi."
##
Kimberly menaruh mangkok itu ke atas wastefal. Dia membasuh mangkok itu dan bibi Mira menghampirinya.
"Nyonya, biar saya saja," tawar bibi Mira. "Ini pekerjaan saya."
"Tidak apa bi, biar aku saja. Lagi pula aku malas tidak melakukan apa pun."
Bibi Mira tersenyum, entah drama apa yang terjadi di rumah ini? Tapi satu hal yang ia ketahui, sang nyonya sangat mencintai suaminya.
Kimberly duduk di kursi meja makan itu, Alfred dan perkataanya tadi, yang kemarin tentang siapa yang sakit dan semuanya, kepalanya seakan meledak memikirkan semuanya yang bagai misteri. Ia merasa, Alfred menyembunyikan sesuatu, apa lagi dia bertanya tentang kebohongan yang semakin meyakinkan dirinya kalau ada sesuatu yang telah terjadi, tapi ia tidak mengetahuinya.
Mungkin dengan perlahan-lahan ia harus menyelidikinya, kebetulan mama mertua akan datang. Ia harus memulai pertemuan mama mertuanya dengan Alfred.
Apa dia sudah selesai berbicara?
Karena penasaran meskipun akan menyakitkan, Kimberly kembali ke kamarnya, perlahan dia membuka pintunya. Dia membuka pintu kamarnya dengan pelan dan masuk, mengintip di samping lemarinya.
Wajah Alfred terlihat serius berbicara dan menunduk.
"Aku berharap kakak secepatnya sadar,"
Kakak? Alfred memiliki kakak? Tapi aku tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reinkarnasi Istri Pajangan
FantasíaKimberly Madline, baru merasakan betapa hangatnya pernikahan. Setelah pernikahannya berjalan satu tahun. Kimberly di hadapkan sebuah kenyataan pahit, bagaikan di sambar petir siang bolong, hatinya merasakan di cabik-cabik saat suaminya mengatakan ak...