Bab 31 - Kepergian

1.3K 50 0
                                    

Taman ini serasa sunyi, tidak ada satupun makhluk hidup yang bicara hanya ada keheningan diantara keduanya, satu jam lebih seorang Alena berkecamuk dengan pikirannya sendiri, bertanya pada dirinya sendiri, apa yang di pikiran  Arka yang sekarang hanya diam saja

Sedari tadi Alena mencoba mengajaknya bicara tapi pria itu hanya menanggapinya seadanya, hanya ada hembusan nafas kasar yang  terdengar, menunjukan bahwa Arka tengah dilanda masalah.

"Aku masih marah sama kamu," ujar Alena.

Arka mengusap wajah kasarnya, "Kamu kenapa diam aja sih?"
"Tidak ada jawaban, Arka masih setia dalam diamnya.
"Pasti mikirin Andin ya kan? Andin lagi, Andin lagi!" Alena berdiri.

"Kenapa sih semua orang selalu perhatian sama Andin apa sebegitu istimewanya Andin dimata kalian?" ujarnya.

"Jangan bicara seperti itu,"
"Jangan tapi emang itu kenyataannya kan, dia itu cuma sakit biasa,"

"Al kamu enggak tahu bagaimana rasanya jadi Andin, jadi aku mohon sama kamu jangan terus-terusan berbicara seakan-akan menjadi Andin itu menyenangkan, tidak sama sekali," nada bicara Arka naik satu oktaf.

"Kamu kok bentak-bentak aku, sebenarnya aku ini siapa kamu?" tanya Alena menatap Arka yang sekarang sama berdirinya dengannya.

"Maaf aku enggak bermaksud ngebentak kamu barusan."

Alena menatapnya penuh amarah dengan keadaan rasa sesak di dadanya, matanya perih tidak dapat lagi membendung air matanya, ia pergi seraya menangis berjalan dengan tergesa-gesa.

Arka menjambak rambutnya kesal karena tidak dapat menahan emosinya, menyesal telah membentak Alena, ia tahu betul bahwa kekasihnya itu hanya ingin di mengerti dan Alena tidak tahu apapun tentang keadaan Andin, jika wanita itu tahu kenyataannya mungkin Alena tidak akan bersikap seperti itu.

Pikirannya terus berkecamuk tentang ucapan ayah andin yang mengatakan tentang kondisi Andin sekarang, bagaimanapun juga Arka telah menganggap Andin seperti adiknya sendiri, Arka selalu berharap ada keajaiban dari Tuhan.

Ponselnya berdering seketika ia langsung mengangkatnya, dan setelah mendapatkan kabar dari seseorang Arka langsung memutuskan untuk pergi begitu saja tidak untuk mengejar Alena.

***

Matanya menatap nanar ruangan yang bertuliskan R.Mayat, Arka langsung memasukinya.

Melihat jelas tangisan Sarah yang memeluk erat suaminya, tubuh Arka seketika terasa lemas namun sekuat mungkin ia bersikap tegar, arka sudah berjanji pada gadis itu untuk tidak menangis jika gadis itu pergi tapi hari ini Arka benar-benar tidak tahan menahannya, Arka mengingkari janjinya, ia menangis.

Dua jam lebih dokter berkutat menangani Andin, virusnya semakin menyebar menggerogoti seluruh sel dalam tubuhnya, tubuh gadis itu tidak dapat bertahan melawan virus yang semakin menyebar, gadis itu menghembuskan nafas terakhirnya di ruang ICU.

"Tuhan jauh lebih menyayangi Andin bun.. kita harus bisa mengikhlaskan kepergian Andin," Andry mencoba menenangkan istrinya.

Arka masih terus menangis menatap wajah Andin yang kini sudah semakin pucat pasih, bahkan tubuh gadis itu mulai mendingin.

Secepat inikah Tuhan memanggilnya untuk pulang, bahkan gadis itu belum sempat merasakan hidup bahagia, hari-harinya selalu di penuhi rasa sakit, berjuang melawan rasa sakitnya sendirian, sampa ia akhirnya menyerah.

"Suatu saat nanti aku pasti akan kalah," katanya seraya menatap wajah Arka.
"Kamu pasti menang,"
"Aku berjuang sendirian kak,"
"Ada kak Arka disini, jangan menyerah Tuhan tahu kamu sedang berusaha dan dan Tuhan juga tahu kamu itu gadis yang kuat," kata Arka menyemangatinya.
"Tapi suatu saat nanti aku pasti akan pulang, jika aku pulang kak Arka harus janji ya sama aku, jangan nangis nanti," ujarnya dengan senyuman yang menghiasi wajahnya pucatnya.
"Kamu enggak akan pulang, belum waktunya,"
"Aku ingin pulang." Andin tersenyum.

Arka masih ingat jelas percakapannya dengan gadis itu kemarin, gadis itu menghabiskan waktunya untuk berbicara dengan Arka.

***

Alena mendengar jelas suara kerumunan di lantai bawah, ia baru saja terbangun dari tidur siangnya.

Menatap jelas orang-orang yang tengah membacakan surah yasin, tapi siapa yang meninggal hatinya bertanya-tanya, Allena juga melihat kedua orang tuanya beserta neneknya yang tengah menangis di hadapan seseorang yang kini telah di bungkus kain putih lebih tepatnya kain kafan, bukan hanya itu dirinya juga melihat kekasihnya yaitu Arka. Tapi Alena tidak dapat melihat dengan jelas wajah seseorang yang tengah terbaring itu.

"Bunda siapa yang meninggal?" tanya Alena masih dengan kebingungan.

Tidak ada jawaban yang ada hanyalah tangisan, Alena berinisiatif untuk melihat sendiri. Saat ia membuka penutup wajah itu betapa terkejutnya Alena melihat dengan jelas siapa pemilik wajah pucat itu.

"Ayah.. Bunda.. ini bukan Andin kan? Kenapa kalian diam aja jawab pertanyaan aku?" suaranya semakin terdengar parau.

"Arka jawab pertanyaan aku, dia bukan Andin kan, dia bukan Andin adik aku kan Omdud?" Alena mengguncang tubuh Arka.

"Al, dia Andin.. dia sudah pergi dengan tenang," jawabnya menatap wajah Alena yang semakin di buat shock.

"Enggak,ini enggak mungkin kalian bilang Andin hanya sakit biasa?Tapi sekarang... kalian semua pembohong dia bukan Andin!" Alena berteriak histeris, ia beranjak pergi.

"Alena kamu mau kemana?" tanya Arka yang melihat wanitanya berlari keluar dari dalam rumah.

Alena merasa muak dengan semua pembohong yang ada di rumahnya di tambah dengan kebohongan tentang sakit yang dialami Andin mereka menutupi segalanya darinya.

Arka mengejar Alena, ia tahu Alena pasti sangatlah terpukul di tambah dengan kenyataan yang mereka sembunyikan dari wanitanya

"Al tunggu kamu mau kemana?"
"Lepas!" ia menepis tangan Arka.
"Kamu mau kemana?"
"Pergi jangan ikuti aku!" teriak Alena di hadapannya.

"Aku enggak mungkin biarin kamu pergi, sebentar lagi Andin akan di makamkan Al.. apa kamu enggak mau mengantar Andin ke peristirahatan terakhirnya,"  ujarnya seraya memeluk Alena, menenangkan wanitanya.

Arka tahu wanitanya masih belum bisa menerima segala kenyataan yang secara tiba-tiba seperti ini, apalagi kematian Andin pasti sangat membuat hati Alena sangat terpukul.

"Kita pulang ya." Arka selalu saja berhasil membuat Alena luluh, dan akhirnya wanitanya mau pulang bersama
Arka.

Matanya masih sembab Alena masih ingat jelas tangisannya pecah di depan makam adiknya dan sesampainya dirumah, ia memutuskan untuk mengurung dirinya, tidak ingin bertemu dengan siapapun.

Bahkan sedari tadi Sarah bundanya sudah beberapa kali mengetuk pintu kamar Alena tapi tidak ada respon dari sang pemilik kamar, mencoba menjelaskan tapi tidak mau mendengarkan.

Bahkan Arka kali ini ia hanya bisa diam, ia sangat tahu jika wanitanya itu butuh ketenangan biarkan sejenak Alena beristirahat setelah keadaan sudah membaik,  ia akan membantu menjelaskan semua permasalahannya pada Alena tapi bukan sekarang.

***

Huh.. author nulis banyak banget ya di part ini.

My Boyfriend Is Duda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang