[14] Hujan, semangkuk bakso dan helm

573 62 7
                                    

Inara kesal sekali, karena Gabriel melakukan penculikan. Iya! Inara katakan begitu, toh memang benar kan sekarang bocah menjengkelkan itu sudah menculiknya, membawa Inara pergi sesuka hati tanpa bicara lebih dulu. Dan Inara tidak suka sekali dengan dirinya yang sekarang, kenapa berada di dekat Gabriel tidak bisa membuatnya berontak dan menolak? Padahal Inara bukan tipikal perempuan lemah. Aneh! Sepertinya El sudah melakukan guna-guna padanya.

“Lo suka kan, Mbak? Tempatnya enak banget buat menghangatkan diri saat hujan kaya gini.” Alih-alih membawa Inara ke tempat romantis, apalagi di dukung dengan langit yang mendadak turun hujan begini, Gabriel malah membawa Inara makan bakso di tempat langganannya dengan Lea dan Rashi.

Inara benar-benar tidak menyangka bocah satu ini membawanya ke sini, sungguh di luar ekspektasi. Memang benar ya kata orang jangan berharap lebih, terkadang ekspektasi tidak sesuai dengan kenyataan. Lagi pula kenapa juga Inara harus berekspektasi tinggi pada bocah macam Gabriel? Sepertinya otak Inara tidak sedang baik sampai berpikir sejauh itu.

“Lo cantik banget sih, Mbak. Lagi makan bakso begini juga cantik," ucap Gabriel yang mulai dengan jurus gombalan recehnya.

“Apalagi kalau pakai baju yang kemarin, lo kelihatan cantik dan seksi,” lanjutnya. Mengingat pakaian yang terakhir Inara kenakan saat pemotretan beberapa waktu lalu, gaun yang cukup menampilkan lekuk tubuhnya.

Inara terbatuk-batuk. Dasar bocah gemblung! Bisa-bisanya mengatakan hal semacam itu, apalagi sekarang mereka sedang berada dekat dengan orang-orang. Astaga ... ingin sekali Inara menendang Gabriel sampai ke kutub.

“Pelan-pelan dong, Mbak. Gue nggak akan minta kok, gue juga punya dan lo tenang aja, kalau mau tambah lo bebas tambah berapa pun,” ucapnya seraya memberikan segelas air pada Inara.

Inara mendelik, itu juga karena perkataan Gabriel yang tidak tahu tempat dan kalau saja bukan karena perutnya yang tiba-tiba berbunyi saat menolak ajakan Gabriel untuk makan tadi, sudah pasti Inara tidak akan makan bersama dengannya seperti ini. Salahkan perutnya yang tidak tahu waktu sekali sampai membuat Inara malu. Menyebalkan!

“Kalau bicara itu jangan asal-asalan, bisa di saring kan ucapannya,” gerutu Inara setelah minum air yang Gabriel berikan padanya.

“Gue kan bicara tentang fakta. Tapi, gue sebenarnya nggak suka karena fotografer lo kan cowok, enak banget lihat tubuh seksi lo setiap pemotretan, kayaknya gue harus kasih tahu Mas Dafa kalau pas bidik lo, mata dia tutup pakai kain aja.”

Inara langsung menyikut perut Gabriel, “Aneh! Mana bisa kayak gitu.” Membuat lelaki itu meringis karena mendapatkan serangan tiba-tiba.

“Sakit tahu, Mbak.” Gabriel mengelus perutnya yang mendapatkan sikutan cukup kencang. Tenaga Mbak Janda luar biasa sekali kalau sedang kesal begini.

Inara mengabaikannya,  memilih untuk makan bakso kembali daripada meladeni Gabriel yang tidak akan ada habisnya kalau bicara. Dan sekarang Inara juga harus gagal diet karena makan bakso yang tidak bisa ia hindari, pasalnya sudah lama sekali Inara tidak makan bakso seenak ini. Inara akui Gabriel pintar mencari tempat makan.

Gabriel pun kembali memakan baksonya, diam-diam melirik Inara yang duduk di samping dan tengah lahap sekali memakan bakso miliknya. Lelaki itu tersenyum senang karena bisa makan bersama dengan Inara, Mbak Janda kesayangannya.

“Lain kali gue ajak ke tempat romantis ya, Mbak. Ini kan gara-gara hujan aja, gue pilih tempat paling dekat. Gue nggak mau kalau lo sampai sakit karena kehujanan,” ucap Gabriel setelah mereka menghabiskan bakso pesanan masing-masing.

“Nggak, makasih. Cukup hari ini aja dan ini juga terpaksa,” balas Inara ketus.

“Halah sok terpaksa tapi habis juga tuh semangkuk baksonya,” ledek Gabriel seraya memakaikan helm di kepala Inara. Membuat perempuan membuat perempuan itu merona bukan karena apa yang Gabriel lakukan, tetapi karena perkataannya yang membuat Inara malu sekaligus kesal.

“Tapi gue senang lihat lo makan lahap kayak tadi, jangan sok diet segala ya. Nikmatin apa yang mau lo makan, lagian tubuh lo berisi di bagian yang pas, gue suka kok. Semakin seksi.” Dan sekarang perut Gabriel menjadi sasaran tangan Inara, perempuan itu mencubitnya membuat Gabriel kembali meringis.

“Berapa kali sih, harus aku kasih tahu, omongannya dijaga!” Inara geram sekali, bocah ini kenapa tidak pernah mau menyaring omongannya?

“Kalau lagi di kamar, gue makan lo langsung, Mbak. Untung lagi di tukang bakso begini, mau iya-iya kan jadi mikir, takut yang lain jadi pengen lihat kita main.”

“Gabriel!!”

“Main ular tangga, Mbak. Ya ampun jangan salah paham begitu deh,” elak Gabriel.

Inara mendelik, “Dan aku risi banget sama panggilan Mbak, stop panggil kayak gitu,” katanya.

“Ok, Sayang.”

**

“Akhirnya gue bisa antar lo sampai sini,” ucap Gabriel setelah Inara turun dari atas motornya.

Gabriel berhasil mengantarkan Inara pulang setelah hujan reda, untung tidak lama. Tetapi, ia sih tadi berdoa agar hujannya terus saja deras, agar ia masih bisa bersama dengan Inara. Ternyata semesta belum mendukung dirinya untuk yang satu itu.

“Terpaksa!” Inara masih saja ketus.
Bukan mau Inara diantar oleh Gabriel sampai di depan rumahnya, melainkan karena lelaki itu yang tadi mengancam akan menciumnya di depan penjual bakso. Sinting! Mana mau Inara begitu.

Sungguh, selain Gabriel benar-benar menyebalkan, ia juga tidak bisa dipercaya, karena sekali lelaki itu bicara, maka akan benar-benar dilakukannya, begitu yang Inara perhatikan selama Gabriel  mengganggu kehidupannya.

“Terpaksa nanti terbiasa. Tiap malam minggu gue kencan deh, biar lo happy. Kalau perlu setiap minggu kita jalan, sesekali ajak Risa biar kayak keluarga bahagia gitu,” ucap Gabriel panjang lebar sampai menyebut Risa yang tak lain adalah anak Inara dengan Sean, mantan suaminya.

“Dalam mimpi kamu!”

“Udah gue bilang, lo memang selalu ada di mimpi gue. Mau tahu nggak apa yang kita lakuin dalam mimpi?”

“Nggak!”

Gabriel mendengkus, "Jawab mau gitu, apa susahnya sih, Beb. Biar gue senang dikit, lo kenapa nggak bisa sih bikin gue senang sekali aja?”

“Kalau nggak senang ngapain muncul terus dan ganggu orang kayak gin?” balas Inara yang semakin ketus sekali perkataannya.

Beruntung Gabriel yang bucin sekali pada Mbak Janda tidak pernah merasa tersinggung, lelaki itu malah semakin semangat untuk mendapatkan hati Inara, penuh tantangan sekali kalau seperti ini dan Gabriel menyukainya.

Gabriel semakin jatuh cinta kalau Inara ketus seperti ini padanya. Inara benar-benar perempuan pertama yang membuatnya bisa sampai berjuang sejauh ini, meski mendapatkan penolakan berulang kali. Tidak masalah, semakin Inara menolak, semakin dirinya mencintai Inara secara ugal-ugalan.

“Gue nggak senang, tapi lebih ke bahagia pakai banget karena bisa di dekat lo kayak gini. Mau lo cuek, ketus, pokoknya apapun itu, lo nggak akan pernah bikin gue menyerah, lihat aja nanti," balas Gabriel sungguh-sungguh.

Inara tidak membalasnya, sudah ia katakan kan, bicara dengan Gabriel tidak mudah. Selalu ada saja jawaban dari mulut lelaki itu dan Inara memilih untuk berlalu dari hadapan Gabriel saja. Kalau dilanjutkan menghadapi lelaki itu, bisa-bisa Inara terkena darah tinggi.

Gabriel tersenyum melihat Inara yang berjalan sembari mengentakkan kakinya, kenapa terlihat lucu sekali di mata Gabriel? Ditambah Inara yang masih mengenakan helm yang memang tadi sengaja ia beli khusus untuk sang pujaan hati.

“Helm-nya nggak dibuka, Beb! Suka banget ya sama helm yang gue kasih!" teriak Gabriel yang membuat langkah kaki Inara terhenti dan tangan yang terangkat menyentuh bagian atas kepalanya.

Astaga, Inara malu sekali!

Nikah Yuk, Mbak! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang