[24] Ungkapan rasa

547 48 0
                                    

“Lo nunggu siapa sih? Dari tadi lihat pintu melulu, bukannya cepat makan.”

Gabriel menoleh, menatap Rashi yang duduk tidak jauh dari ranjangnya, sahabatnya itu sedang mengerjakan tugas sembari menjaga dia di sini. Sebenarnya sudah Gabriel katakan agar Rashi pulang saja, tetapi gadis itu keras kepala dan memilih berada di sini.

“Hari ini gue nggak lihat Ayang lagi,” keluhnya.

Rashi mendelik. “Lo cepat makan, keburu dingin itu nasi,” ucapnya tanpa menanggapi apa yang Gabriel katakan.

Gabriel tampak tidak bersemangat. Pasalnya setelah Inara datang ke sini dua hari lalu, perempuan itu tidak menunjukkan batang hidungnya lagi. Gabriel jadi berpikir, apa Inara marah sekali sebab ia yang mengajak perempuan itu menikah?

Kali ini ia merutuki diri sendiri sebab mulutnya tidak bisa diajak kerja sama. Sudah pasti Inara marah, sekali pun apa yang dikatakan Gabriel serius, perempuan itu pasti tidak akan percaya karena situasinya tidak tepat sekali.

“Besok lo bisa pulang, tadi gue sempat tanya Dokter.”

Gabriel mengangguk. Seharusnya kemarin dia sudah bisa pulang, tetapi Geraldi malah menyuruhnya untuk istirahat di rumah sakit beberapa hari lagi, yang membuat Gabriel bosan tetapi tidak bisa menolak apa yang dikatakan oleh Geraldi.

“Lea nggak ke sini?” tanya Gabriel membuat Rashi menatapnya.

“Hari ini giliran gue yang jagain lo, tapi nanti Kak Geral ke sini kok,” balas Rashi.

Gabriel kembali mengangguk seraya menyantap makanan yang beberapa menit lalu diantarkan oleh salah seorang perawat. Meski ia tidak berselera gara-gara masih memikirkan Inara.

Rashi diam-diam memerhatikan Gabriel yang tengah menyantap makanannya dengan ogah-ogahan. Ia sedikit kesal karena Gabriel terus menunggu Inara datang menjenguknya. Kenapa harus Inara? Pertanyaan itu selalu mengusiknya. Rashi tidak mengerti dengan Gabriel. Kenapa lelaki itu malah jatuh cinta pada Inara? Apa yang kurang darinya? Sampai Gabriel tidak pernah sedikit pun memandangnya lebih dari sekadar sahabat.

“El..,” Gabriel yang baru saja menyelesaikan makan siangnya kembali menoleh pada Rashi, lelaki itu menatap penuh tanya dan tampak menunggu kalimat yang akan Rashi utarakan.

“Gue kayaknya jatuh cinta sama lo.”

“Hah?!”

“Ya, gue suka sama lo.”

Gabriel sangat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Rashi. Sebentar .... Rashi ini kenapa ya? Tidak ada angin, hujan dan badai, kenapa tiba-tiba Rashi mengatakan semua itu? Ia sedang tidak berhalusinasi, kan?

“Kayaknya gue nggak bisa simpan semuanya sendirian. Gue mungkin baru sadar sama apa yang gue rasakan selama ini, gue nggak tahu kapan dan kenapa perasaan ini muncul di hati gue, yang jelas sekarang gue suka sama lo.”

Mungkin waktunya tidak tepat, tetapi entah kenapa Rashi ingin mengutarakan perasaaanya pada Gabriel. Mungkin juga karena sekarang mereka benar-benar memiliki waktu berdua yang membuat Rashi berani berkata jujur.

Gabriel sendiri masih tidak bisa berkata-kata, terlalu mengejutkan apa yang saat ini Rashi ungkapkan kepada dirinya, bahkan Gabriel sama sekali tidak menduga Rashi memiliki perasaan lebih dari sekadar sahabat kepadanya.

“Gue cemburu setiap kali lo bahas Inara dan gue sadar kalau selama ini yang gue inginkan adalah lo, gue jatuh cinta sama sahabat gue sendiri.”

“Ras, ini gue kena prank dan semacamnya, ya? Nggak lucu banget candaan lo.” Gabriel masih tidak mempercayai apa yang Rashi katakan.

“Memangnya muka gue kelihatan lagi bercanda?” Gabriel sontak menggeleng, tidak sih, tapi Gabriel masih tidak percaya dengan apa yang Rashi ungkapkan.

“Jujur gue kaget dan nggak nyangka sama apa yang lo bilang, Ras. Nggak tahu juga harus merespon kayak gimana, ini sama sekali diluar dugaan gue. Lo suka sama gue, menaruh rasa lebih sama gue. Semua kayak nggak mungkin aja,” ucap Gabriel akhirnya membuka suara.

“Tapi yang gue sadari, sorry gue nggak bisa balas perasaan yang lo punya buat gue. Gue sayang sama lo, tapi sebatas lo itu sahabat gue dan nggak lebih,” lanjutnya.

Rashi sudah menebak. Tetapi, tetap saja saat mendengar secara langsung dari mulut Gabriel, rasanya menyesakkan sekali. Apa lelaki itu benar-benar tidak bisa sedikit saja membuka pintu hati untuknya?

“Gue cuma mau jujur aja sama lo, tanpa perlu lo balas perasaan gue. Karena perasaan seseorang nggak bisa kita paksa, tapi dengan gue ungkap apa yang gue rasakan, semoga lo nggak menjauh dan kita tetap sahabatan.”

Gabriel tersenyum, “Pasti. Gue nggak mungkin menjauhi sahabat gue gara-gara ungkapan perasaan lo dan gue berterima kasih karena lo punya perasaan spesial sama gue. Tapi, gue minta maaf karena nggak bisa balas apa yang lo rasakan. Seperti yang lo bilang barusan, perasaan nggak bisa dipaksakan.”

Rashi tahu jawaban Gabriel akan sesuai dengan apa yang ia pikirkan. Kecewa, mungkin sedikit karena sampai sekarang Gabriel tetap menganggap dirinya sebagai sahabat. Itu sudah menjadi pilihan Gabriel, setidaknya Rashi merasa lega sudah mengungkapkan perasaannya pada Gabriel. Meskipun pada kenyataannya rasa itu tidak pernah bisa terbalaskan.

**

“Kamu kelihatan lebih baik sekarang?”

Inara tidak pernah menyangka bertemu dengan Nathan kembali seperti ini. Meski dia tahu dunia kerja yang selama ini dia geluti tentu saja akan ada waktu di mana dia berhubungan dengan lelaki itu, tetapi Inara tidak berpikir akan secepat ini bertemu dengan Nathan untuk kedua kalinya setelah lama tidak mendengar kabarnya.

“Aku kira kamu udah nggak di indo,” ucap Inara.

Beberapa hari setelah pertemuan mereka waktu itu, di mana Nathan yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya, Inara tidak melihat lelaki itu lagi. Ia pikir Nathan hanya berkunjung sebentar dan kembali ke London. Ternyata sekarang malah sudah berada di hadapannya lagi dan sayangnya Lolita tidak bersamanya saat ini.

“Kenapa? Kangen kalau aku pergi?”

Inara terkekeh, “Kamu terlalu percaya diri," katanya. Inara mencoba untuk bersikap biasa berhadapan dengan Nathan.

Nathan tersenyum tipis. Perempuan yang berada di hadapannya sekarang berbeda sekali dengan yang dulu. Jika dulu kedua mata Inara memancarkan cinta untuk dirinya, sekarang yang ia lihat hanyalah tatapan biasa. Sekarang dia menyadari betapa beruntungnya dia karena pernah dicintai oleh Inara dan betapa menyesalnya ia karena tidak benar-benar menerima cinta dari perempuan itu.

“Mungkin sudah terlambat, tapi aku mau minta maaf sama kamu dan mau bilang kalau aku menyesal karena menyia-nyiakan kamu selama ini. Kalau aja aku nggak terobsesi dengan karierku dan mengabaikan kamu, mungkin sekarang kita udah punya keluarga kecil yang bahagia.”

Perkataan Nathan membuat Inara bungkam. Dia tidak tahu harus merespon seperti apa, bagaimana membalas perkataan Nathan yang cukup membuat jantungnya kembali berdebar, tetapi semuanya memang sudah terlambat. Inara terlanjur kecewa dan ragu untuk memulai hubungan, meskipun masih ada sedikit rasa dan tempat untuk Nathan di hatinya.

Ya, namanya juga cinta pertama. Nathan pernah menempati relung hatinya, wajar kalau Inara masih menyimpan rasa untuk lelaki itu. Hanya saja, mengingat apa yang sudah Nathan lakukan, membuat Inara kecewa dan merasa sakit hati.

“Kalau aja kamu kasih aku kesempatan, aku ingin memulai semuanya sama kamu, Ara.”

Seharusnya Inara bahagia mendengar kalimat ketulusan dari bibir Nathan, tetapi kenapa kali ini Inara merasa biasa saja? Dan kenapa ia malah memikirkan lelaki lain saat Nathan berada di hadapannya? Ada apa dengannya? Kenapa ia malah mengingat Gabriel?

Nikah Yuk, Mbak! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang