[5] Pesan dihapus

952 75 2
                                    

“Maaf Mama.”

Inara tersenyum menatap Risa yang tampaknya tidak nyaman dan meminta maaf setelah mengatakan anak itu ingin pulang saja. Seharian ini Inara memang bisa membuat sang anak tersenyum, membelikan apapun yang Risa inginkan saat mereka berada di salah satu pusat perbelanjaan ternama di kota ini.

Namun, saat mereka sampai di kediaman Inara dan selesai membersihkan diri masing-masing, Risa tiba-tiba berubah pikiran, anaknya tidak ingin menginap dan Inara memaklumi itu. Meskipun ia dan Risa merupakan Ibu dan anak, tetapi selama ini Risa bersama dengan Sean dan sepertinya Risa masih belum terbiasa berpisah dengan sang papa, pun harus bersama dengan dirinya.

“Nggak apa-apa, Mama telepon Papa dulu, ya. Biar Papa jemput Risa ke sini,” katanya seraya mengelus puncak kepala sang anak. Kemudian segera menghubungi Sean untuk menjemput Risa.

“Iya, ada apa?” Suara Sean terdengar dari seberang, tidak menunggu lama panggilannya diangkat oleh lelaki itu. Mungkin karena Risa sedang bersama dengannya, karena kalau tidak, mana mungkin Sean langsung menerima panggilan teleponnya.

“Risa mau pulang, nggak jadi tidur di sini, Mas. Kamu bisa jemput nggak?”

“Tentu. Saya jemput sekarang, kirim lokasi rumah kamu.”

“Masih alamat yang sama, Mas.”

Tidak ada jawaban lagi, Sean mengakhiri sambungan telepon mereka. Kemudian Inara kembali menatap Risa, “Sebentar lagi Papa jemput, kita tunggu ya,” katanya. Risa tersenyum seraya menganggukkan kepalanya.

Inara membiarkan Risa bermain dengan bonekanya, yang tadi mereka beli. Sembari memerhatikan sang anak, Inara tampak bersedih sebab Risa batal tidur dengannya malam ini. Padahal Inara sangat menunggu momen bersama dengan sang anak, semua memang salahnya yang membuat jarak antara ia dan sang anak yang sedang membutuhkan sosok seorang ibu. Cukup lama mereka berpisah, wajar kalau Risa lebih dekat dan nyaman dengan sang papa.

Tidak berselang lama, bel rumahnya berbunyi dan membuat Inara segera membuka pintu, sudah pasti yang datang adalah Sean. Sejujurnya Inara masih membayangkan hidup bersama dengan lelaki itu dan anak mereka lagi, tetapi semua tampak tidak mungkin.

Harapan Inara bahwa Sean datang sendiri menjemput anak mereka ternyata nihil, sosok gadis yang berdiri di samping Sean membuat senyum di wajah Inara memudar. Terkadang masih ada rasa cemburu melihat Sean bersama dengan kekasihnya, padahal ia sendiri yang meninggalkan dan mengkhianati Sean, tetapi sekarang malah ia yang seakan paling tersakiti.

“Kamu udah datang, Mas. Ayo, masuk dulu! Risa ada di dalam lagi main boneka, sekalian aku mau beresin perlengkapan dia,” ucap Inara mempersilakan Sean masuk ke dalam rumah.

“Saya di luar saja,” ucap Sean kemudian menoleh menatap sang kekasih, “Kamu ajak Risa pulang, Yang,” lanjutnya meminta gadis di sampingnya untuk masuk ke dalam rumah Inara.

Akhirnya Inara mempersilakan kekasih Sean masuk ke dalam rumah yang kemudian di sambut suara riang dari sang anak, yang lagi membuat wajah Inara terlihat sendu. Sedekat itu Risa dengan kekasih Sean?

“Ateu!!”

“Hai, kangen banget deh!”

Interaksi mereka tertangkap oleh kedua mata Inara, bahkan senyum di wajah Risa terlihat begitu lebar, ditambah sorot matanya yang penuh binar membuat Inara paham betapa dekat Risa dengan sosok yang ia panggil Ateu.

“Biar aku aja yang beresin, Mbak,” katanya membuat Inara menoleh, ia cukup terkejut saat gadis tersebut sudah berada di sampingnya yang tengah sibuk merapikan mainan ke dalam tas milik Risa.

“Nggak apa-apa, biar aku aja,” balas Inara.

“Maaf ya, Mbak. Nanti Risa pasti terbiasa dan mau tidur di rumah mamanya, walaupun aku belum punya anak, tapi aku tahu gimana rasa sedihnya nggak bisa dekat sama anak sendiri.”

Inara mengangguk seraya tersenyum tipis. Pertemuan dirinya dengan kekasih Sean memang bukan yang pertama. Di waktu lalu, situasinya sangat kacau dan Inara mengakui ia hampir saja menjadi perempuan  perusak hubungan. Mungkin, karena waktu itu Inara masih tidak menerima saat melihat Sean yang jauh lebih bahagia bersama kekasihnya, sementara ia menderita.

“Wajar, tapi aku harap hubunganku sama Risa bisa semakin baik. Aku bersyukur karena dia tetap mau menghabiskan waktunya sama aku hari ini.”

Sekarang, Inara pikir sudah saatnya menerima semua yang terjadi. Bahwa ia dan Sean tidak berjodoh, lelaki itu tidak menjadi selamanya dan hanya sementara. Inara harap setelah hari ini, hubungan mereka baik dan bisa menjadi teman, termasuk berteman dengan kekasih Sean.

“Meskipun sekarang kayak ada jarak, aku yakin suatu hari nanti Risa benar-benar menerima kehadiran Mbak Nara, karena gimana pun dia darah daging Mbak sendiri. Semuanya hanya butuh waktu.”

“Terima kasih, Lea.”

**

Kotak berisi donat, beberapa minuman kaleng dan bungkus snack tampak berantakan di atas meja dalam sebuah kamar. Sementara sang empu tampak serius menatap layar ponsel menampilkan game kesukaannya.

Menjelang malam, Gabriel menghabiskan waktu di dalam kamar miliknya. Ia sedang malas pergi dan memutuskan mendekam di kamar bak seorang gadis.

Tidak ada makan malam, ia hanya melahap beberapa donat dan meneguk minuman kaleng yang berhasil mengenyangkan perutnya. Gabriel benci makan sendirian di meja makan, bahkan kalau boleh ia ingin sekali menjual meja makan tersebut sebab percuma berada di ruang makan.

Gerald—kakak Lea—sempat menelepon dan mengajak dirinya untuk makan bersama, tentu saja Gabriel tolak. Bukan tidak ingin menikmati masakan Tante Yara, tetapi sudah terlalu sering dia berada di antara keluarga Lea, apalagi tadi siang dia juga makan di sana dan malam ini ia memutuskan untuk sendirian, meskipun ia kesepian.

“Kapan ya, gue ketemu sama cewek waktu itu.” Gabriel melempar handphone miliknya ke sembarang tempat, kemudian merebahkan tubuh dengan kedua mata menatap langit-langit kamarnya.

Sudah beberapa hari ini, Gabriel masih belum menemukan sosok perempuan yang sangat ingin ia temui dan ia juga masih mengingat insiden tidak romantis waktu itu, sungguh melekat sekali dan sialnya Gabriel malah jatuh hati pada orangnya.

“Tapi kalau dilihat, kayak nggak asing gitu mukanya. Mirip siapa ya.” Gabriel tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, ia tampak mengingat-ingat sebelum bertemu dengan perempuan tersebut, wajahnya mirip sekali dengan seseorang tapi Gabriel lupa.

“Ah! Bisa kepikiran sampai mati gue kalau nggak ketemu juga sama dia.”

Gabriel tampak frustasi, ia benar-benar ingin bertemu lagi dengan perempuan itu dan tentu saja Gabriel juga ingin mengetahui namanya dan mengenal lebih dalam, lelaki itu masih bertekad kalau perempuan tersebut adalah tulang rusuknya.

“Kata orang kalau jodoh nggak ke mana, tapi ke mana jodoh gue ya!”

“Tidur, El. Siapa tahu besok ketemu, biar sekalian gue ajak nikah.”

Gabriel terus saja bicara, sampai akhirnya lelaki itu kelelahan sendiri dan terlelap dalam tidurnya. Semoga saja apa yang Gabriel selalu harapkan bisa terwujud, mungkin sebentar lagi semesta berpihak kepada dirinya.

Ting

Sebuah notifikasi pesan masuk, tetapi tidak berhasil membuat sang pemilik handphone terusik. Gabriel sudah jauh masuk ke dalam mimpinya.

Layar handphone Gabriel menampilkan pesan masuk tersebut yang ternyata dari Rashi.

Rashi : El, cowok gue selingkuh.
Rashi : Tapi gue juga sama, selama ini hati gue yang selingkuh dan gue sadar kalau gue suka sama lo.
.
.
.
Rashi : Pesan dihapus
Rashi : Pesan dihapus

Nikah Yuk, Mbak! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang