[21] Tidak seperti apa yang dilihat

628 54 5
                                    

Inara sedang menikmati malamnya dengan menonton film, seharian ini dia sibuk bekerja dan saat sampai di rumah tadi, ia tidak berniat ke mana pun dan akhirnya memilih untuk me time di rumah saja. Ia juga sedang menunggu makanan yang di pesan lewat online, sebab rasa malasnya sedang menyerang. Tidak berselang lama, bel rumahnya berbunyi membuat Inara berlari karena ia pikir pengantar makanan.

“Pesanan atas nama Nara.”

Inara menerima kantung plastik yang berisi makanannya, “Makasih, Mas.” Lalu ia pun segera membayar dan kembali ke dalam rumah. Namun, sesaat setelah ia menutup pintu, bel rumahnya kembali berbunyi.

“Siapa? Atau ada yang salah ya sama pesanannya?” Inara memilih untuk membuka pintu lagi, sampai hal tidak terduga terjadi membuat perempuan itu tidak sempat menghindar. Seseorang dibalik pintu tiba-tiba memeluknya.

“Gabriel?”

Inara hendak mendorong tubuh lelaki yang selama ini membuatnya kesal, tetapi suara isakan mulai terdengar begitu menyesakkan yang membuat dirinya urung melakukan hal tersebut dan berakhir dengan membiarkan Gabriel memeluknya dalam kondisi menangis.

Inara masih dibuat terkejut, ia tidak tahu apa yang membuat Gabriel menangis seperti ini, tetapi mendengar tangisan yang begitu menyesakkan, ia pikir sesuatu telah terjadi pada lelaki tersebut, yang entah kenapa membuat Inara ikut merasakan kesedihannya.

“Apa gue nggak berhak untuk bahagia, Mbak?” Di tengah isak tangisnya, Gabriel mulai bicara. Pelukannya pada Inara masih begitu erat dan Inara tampak membiarkannya.

“Gue selalu iri lihat keluarga sahabat gue yang harmonis, rumah benar-benar tempat untuk pulang dan berkumpul dengan keluarga. Tapi selama ini gue hanya sendirian, orang tua gue sibuk dengan pekerjaan mereka, tentu itu membuat gue kecewa karena sama sekali nggak ada waktu buat gue, terus sekarang mereka pulang yang harusnya bikin gue happy, tapi lagi-lagi mereka malah bikin gue semakin kecewa.”

Gabriel menumpahkan semuanya setelah melepaskan pelukannya pada Inara. Sementara Inara sama sekali tidak memotong apa yang sedang lelaki itu katakan, ia mendengarkan semua curahan hati bocah tengil yang saat ini sedang tidak baik-baik saja.

“Dengan santainya mereka bilang kalau mereka udah sepakat buat pisah. Gue pikir akan ada sedikit kebahagiaan dalam hidup gue saat orang tua gue pulang dan kita bisa kumpul bertiga, tapi mereka malah semakin memberikan gue rasa sakit. Gue sendirian sekarang, orang tua gue nggak menyayangi gue, bahkan orang yang sedang gue perjuangan juga nggak pernah bisa menyayangi gue. Gue benar-benar menyedihkan ya, Mbak.”

Inara diam. Ia tidak menyangka dibalik sikap lelaki ini begitu menyebalkan, ternyata Gabriel sama sekali bukan anak yang berada di antara kehangatan keluarga. Inara mungkin ditinggalkan oleh orang tuanya untuk selamanya, tetapi selama ini dia tidak pernah merasa sendirian, ada Tante dan kerabat lain yang membuat dirinya tidak pernah sendirian di dunia ini. Meskipun mereka kerap membuat Inara kesal, tetapi ia tahu keluarganya sangat menyayangi Inara. Apalagi keberadaan Damian yang kerap melindungi dirinya.

“Kamu masih punya sahabat kamu, Gabriel. Kamu nggak benar-benar sendirian.”

Inara akhirnya mengeluarkan suara, ia tidak tahu harus berkomentar apa dan bagaimana. Semua yang Gabriel lakukan dan katakan begitu tiba-tiba dan membuatnya kebingungan, tetapi melihat Gabriel yang bersedih seperti ini, entah kenapa membuat perasaannya ikut sesak? Ada apa dengannya?

**

“Makasih.” Gabriel menerima secangkir teh yang dibuatkan oleh Inara. Setelah acara pelukan dan curhat dadakannya, Inara mengajak Gabriel untuk masuk ke dalam rumah.

Tidak ada Inara yang ketus, perempuan itu melakukan semuanya dengan tulus. Begitu juga dengan Gabriel, tidak ada tingkah menyebalkan dari lelaki itu membuat situasi di antara mereka terlihat normal. Gabriel meminum teh tersebut, lalu kembali terdiam bergelut dengan pikirannya sendiri. Gabriel tahu sekarang dirinya sedang tidak baik-baik saja, meski sejak dulu ia selalu sendirian karena orang tua yang sibuk bekerja, tetapi tetap saja mendengar perpisahan orang tuanya seperti ini membuat Gabriel sebagai seorang anak  merasa sedih.

Biasanya di saat terpuruk begini, Gabriel akan lari pada sahabatnya, Lea. Berada di rumah Lea meski tanpa mengatakan apapun, tetapi gadis itu akan langsung mengerti bahwa sahabatnya tidak baik-baik saja. Dan sekarang,  entah mengapa yang terlintas dalam benaknya hanyalah Inara.

“Gue pulang, Mbak.” Gabriel beranjak, ia juga tidak mungkin terus berada di rumah Inara begini, selain hubungan mereka yang belum ada kejelasan, Inara juga pasti merasa risi dengan keberadaannya di sini.

“Kamu benar-benar pulang kan?”

Inara merutuki dirinya sendiri dalam hati, kenapa pertanyaan itu malah keluar dari bibirnya? Alih-alih senang karena Gabriel akan pergi dari sini, Inara malah berpikir apakah lelaki itu akan benar-benar pulang ke rumah atau malah memilih tempat lain untuk melupakan kesedihannya?

Mendengar perkataan Inara, membuat Gabriel menoleh lalu tersenyum tipis, “Gue pulang ke rumah teman, nggak mungkin juga kan, gue di sini? Lo pasti nggak nyaman,” balasnya.

Inara bungkam. Benar sih apa yang Gabriel katakan, tetapi entah kenapa Inara jadi memikirkan ke mana Gabriel akan pergi? Apakah lelaki itu akan pergi ke tempat yang waktu itu Inara kunjungi di saat ia sedang bersedih? Kelab malam yang menjadi awal pertemuan mereka.

“Beneran pulang ke rumah teman, kan?” tanya Inara. Ah, kenapa ia seakan mengkhawatirkan bocah di hadapannya ini? Inara tidak mengerti dengan dirinya kali ini.

Gabriel terkekeh mendengar pertanyaan Inara, kalau saja mereka memiliki hubungan yang jelas, kalau saja Inara juga menyukainya, akan manis sekali saat mendengar Inara berkata seperti ini. Benar, kan? Tangannya terulur seraya mengacak rambut perempuan yang berada di hadapannya ini,
“Iya, pulang. Lo nggak usah khawatir.”

Inara mendelik, “Nggak! Siapa juga yang khawatir?” elaknya yang membuat Gabriel kembali terkekeh mendengarnya.

“Jangan kangen loh.”

“Jangan kepedean.” Dan kali ini Gabriel tertawa, bukankah dirinya memang selalu percaya diri?

**

Gabriel tidak pulang, sungguh ia sama sekali tidak berniat untuk pulang selama orang tuanya masih berada di rumah. Bahkan Gabriel juga tidak benar-benar pulang ke rumah teman, seperti yang ia katakan pada Inara tadi. Gabriel tidak mau mengganggu Lea dan keluarganya, apalagi harus pergi ke rumah Rashi. Kali ini Gabriel hanya ingin menenangkan diri.

Gugun. Lelaki itu tampak heran melihat keberadaan Gabriel malam ini, apalagi melihat penampilan yang sedikit berbeda dari biasanya, kali ini Gabriel kelihatan berantakan.

“Butuh minum?” Gugun menyimpan satu gelas minuman di depan Gabriel, membuat lelaki itu mendongak menatap orang yang baru saja menghampirinya.

Thanks.” Kemudian Gabriel meneguk minuman tersebut.

Tidak hanya sekali, bahkan kali ini Gabriel tampak melewati batasnya dan Gugun tidak bisa melakukan apapun, memilih membiarkan Gabriel melakukan apa yang di inginkannya. Namun, sebagai salah seorang teman yang cukup dekat, Gugun sudah menghubungi Geraldi—kakak Lea—yang memang selalu ia beritahu saat Gabriel tidak dalam kondisi baik.

Tidak berselang lama, Geraldi datang dan tampak mengembuskan napas pelan melihat kondisi Gabriel. Lelaki itu sudah menganggap Gabriel seperti adiknya sendiri, sama seperti Lea. Geraldi tahu bagaimana keadaan Gabriel dengan keluarganya dan melihat Gabriel yang seperti ini, sudah pasti keluarga menjadi alasan utamanya. Mengingatkan Geraldi pada Gabriel beberapa tahun ke belakang.

“Terima kasih, lo langsung kasih tahu gue setiap El kayak gini.”

Gugun mengangguk, “Udah seharusnya karena lo yang minta, Bang. Kayaknya dia benar-benar kacau.”

“Gue bawa dia pulang.” Geraldi memapah Gabriel dibantu oleh Gugun keluar dari area kelab ini. Sebagai sosok kakak untuk Gabriel, ia tentu saja akan melindungi sang adik.

Dalam perjalanan pulang, Gabriel terus merancau bahkan dari sudut matanya mengeluarkan air mata. Geraldi begitu prihatin melihat keadaan Gabriel, adik lelakinya itu menyimpan kesedihan seorang diri.

Geraldi tidak membawa Gabriel pulang ke rumah, melainkan ke apartemen miliknya. Sebab tidak ingin membuat orang rumah khawatir dan ia juga tidak mungkin membawa Gabriel pulang ke rumahnya, Gabriel pasti tidak akan mau berada di sana.

“Lo masih terus memendam semua sendirian, padahal gue selalu bilang lo bisa cerita apapun dan anggap gue abang lo, El.”

“Sejak dulu, gue selalu bilang lo nggak perlu merasa sendirian dan kenapa selalu pakai minum segala? Punya adik cowok, giliran kacau malah pergi minum.”

Sosok Geraldi yang kaku dan dingin akan berubah menjadi orang yang banyak bicara jika dirinya berada di tengah keluarga dan orang-orang yang ia sayangi, termasuk Gabriel.

“Bang Ge...,”

Geraldi menoleh, wajahnya tampak panik melihat Gabriel yang baru saja sadar. Bahkan gelas yang berada di tangannya hampir jatuh, sebab langkah kaki yang melebar menghampiri Gabriel.

“El, tenang. Atur napas pelan-pelan.”

Tangan Gabriel tampak gemetar, deru napasnya tidak beraturan tetapi Geraldi mencoba untuk menenangkan lelaki itu. Setelah kondisi Gabriel cukup baik, napasnya kembali normal, ia mengulurkan gelas yang berisi air putih.

“Jadi adik selalu bikin pusing,” katanya yang tentu saja hanya bercanda. “Obat lo jangan lupa di minum,” Geraldi memberikan beberapa pil obat pada Gabriel, yang langsung diminum olehnya.

“Gue nggak mau lihat lo minum lagi kalau ada masalah, kesehatan lo juga penting, El. Jangan mentang-mentang selama ini lo merasa baik, seharusnya lo menyadari kondisi tubuh lo sendiri,” lanjutnya.

Sorry, Bang. Dan makasih banyak.”

Gabriel tersenyum lebar. Senyum yang bagi Geraldi adalah sebuah kepalsuan, sebagai seorang Dokter yang juga merawat Gabriel selama ini, tentu saja ia jauh lebih tahu kondisi Gabriel yang selama ini mereka rahasiakan dari Lea, juga keluarga mereka termasuk orang tua Gabriel.

Lelaki itu mengalami gangguan kecemasan, sejak tiga tahun yang lalu. Semenjak kondisi keluarganya tidak baik-baik saja dan Geraldi hampir gagal menyelamatkan Gabriel yang saat itu melakukan percobaan bunuh diri, sebab Gabriel merasa ditinggalkan dan ia merasa sendirian sampai berpikir bahwa dirinya tidak diinginkan di dunia ini oleh orang tuanya.

Nikah Yuk, Mbak! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang