"Ta, kalau aku merasa nyaman sama seseorang, apa berarti itu tandanya aku suka sama dia?”
Lolita yang sedang menikmati cake-nya sontak menatap Inara penuh kerutan, tidak biasanya Inara membahas perihal perasaan seperti ini saat mereka sedang quality time di luar. Mereka memang berteman cukup lama, Lolita tahu perihal hubungan Inara dan Sean, perpisahan mereka dan tentu saja ia tahu cinta pertama Inara, yang juga senior mereka saat sekolah dulu.
Tetapi, selama ia bekerja dengan Inara dan menjalin pertemanan kembali setelah ia bekerja dengan Inara, baru kali ini Lolita mendengar Inara yang membahas perihal rasa nyaman dan suka. Harus Lolita akui, ia senang kalau memang Inara berhasil sembuh dari masa lalunya.
“Tergantung kalau menurut aku, Ra. Kalau kita nyaman sama seseorang dan nggak begitu khawatir kehilangan orang itu, ya mungkin karena sebatas nyaman aja. Tapi, kalau kita juga merasa khawatir atau nggak rela kalau misal ada orang lain yang lebih dekat sama orang yang kita anggap nyaman, aku pikir itu namanya suka.”
Inara diam. Sebenarnya ia juga masih bingung dengan apa yang saat ini ia rasakan, ia hanya tidak ingin menyalah artikan apa yang sedang ia rasakan sekarang. Haruskah Inara bilang kalau ia mulai terbiasa, ia merasa nyaman saat bersama dengan Gabriel dan ia menjadi sedikit khawatir setelah tahu perasaan Rashi pada Gabriel tadi.
“Kenapa sih, Ra?” Lolita penasaran karena Inara masih diam. Kalau boleh ia tebak, apa semua ada kaitannya dengan seorang gadis yang tadi ia lihat tengah bicara dengan Inara? Memang sih, Lolita tidak terlalu jelas melihat orangnya, karena gadis itu duduk memunggungi pintu masuk Kafe yang tadi Inara sempat menunggunya.
“Nggak, cuman asal tanya aja. Habis ini, aku mau beli sepatu couple buat aku sama Risa, besok aku mau jalan sama dia.” Inara mengalihkan topik pembahasan.
Lolita mengangguk, “Sekalian deh, aku juga mau beli sepatu buat adikku.”
Sementara itu, Gabriel sedang bersama Rashi yang katanya ingin ditemani membeli handphone baru. Semenjak Rashi jomlo, memang yang menjadi ojek adalah Gabriel, setiap saat gadis itu mengganggu ketenangannya.
“Udah belum? Lo cari handphone yang kayak gimana sih? Perasaan itu handphone masih bisa dipakai.” Gabriel lelah menunggu Rashi yang masih memilih handphone.
Gabriel kelaparan. Pasalnya ia menjemput Rashi di Kafe yang cukup jauh dari rumahnya, apalagi rumah Rashi. Gabriel sempat heran dan akhirnya bertanya pada Rashi, kenapa gadis itu menyasar sampai sana? Dan hanya dijawab dengan alasan Kafe tersebut tengah viral, tetapi ia tidak nyaman di sana. Aneh kan? Ya, menurut Gabriel aneh.
“Habis ini cari makan ya, gue lapar. Lo sih, tadi nggak mau makan di Kafe yang katanya viral,” keluh Gabriel.
“Makanan di sana mahal, tempatnya nggak nyaman juga.”
Gabriel mencebik, “Perasaan kayak Kafe lain juga tempatnya.”
Rashi tidak membalas perkataannya, memilih untuk segera membayar handphone yang sudah berhasil ia dapatkan. Setelah cukup lama berpikir, Rashi memilih handphone yang pertama, pilihan Gabriel.
“Ujungnya pilihan gue, tahu kayak gitu mending lo bayar dari tadi, Ras.” Gabriel mengomel, sementara Rashi terkekeh seraya merangkul tangan Gabriel.
“Maaf deh, sekarang kita makan. Gue yang traktir,” ajaknya masih merangkul tangan Gabriel yang membuat mereka seperti pasangan kekasih.
**
Seharian ini Gabriel menemani Rashi ke mana pun sahabatnya ingin pergi. Bahkan dua paperbag sudah berada di tangannya hasil belanja gadis itu. Setelah mengisi perut mereka tadi, Rashi kembali mengajak Gabriel untuk belanja. Tepatnya memaksa lelaki itu agar mau menemaninya. Gabriel yang memang tidak bisa menolak kalau urusan Rashi dan Lea, akhirnya terus berada di samping sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Yuk, Mbak!
RomanceVersi terbaru "Nikah Yuk, Mbak!" Penulis : Purplerill Gabriel tidak paham, Tuhan kenapa senang sekali membuat kisah cintanya tidak mulus. Setelah cinta bertepuk sebelah tangan dengan sahabat sendiri. Sekarang Gabriel harus bersaing dengan masa lalu...