[18] Pengakuan di depan keluarga

524 53 7
                                    

Inara sedang bingung, sebab dia tidak memiliki cara untuk menghindari acara keluarga besarnya besok, pasalnya di acara yang lalu ia sempat absen dan sekarang sudah pasti keluarga besarnya tidak akan menerima alasan apapun kalau sampai dirinya kembali tidak bisa hadir.

Apalagi Damian—kakak sepupunya—yang baru saja datang dari luar kota ingin sekali menemui dirinya.

Bukan tidak mau bertemu dengan keluarganya, ia hanya sedikit kesal. Karena di acara tersebut, sudah bisa dipastikan ia akan menjadi sasaran empuk sebagai tokoh utama dalam sebuah perjodohan.

Ya, perjodohan yang kerap dilakukan anggota keluarga yang lain setelah ia berpisah dengan Sean dan kembali ke Indonesia. Bahkan sebelum ia kembali ke sini, beberapa dari keluarganya kerap menghubungi hanya sekadar mengenalkan seseorang kepadanya. Dari pemilik restoran sampai Dokter pun sepertinya sudah di promosikan oleh kerabatnya.

“Kalau kamu nggak datang, mereka makin menekan kamu dan nggak akan berhenti cari cowok buat jadi pasangan kamu.” Lolita akhirnya bersuara sembari menuangkan mie ke dalam mangkuk setelah telinganya mendengar cerita Inara.

Inara menerima mangkuk miliknya, mie di saat hujan begini memang paling pas. Mereka baru saja sampai di apartemen Lolita dan rencananya Inara akan menginap di sini sekaligus bercerita kepada Lolita perihal acara keluarga.

“Kayaknya aku tetap datang aja masih pada gencar jodohin, padahal aku masih mampu cari pasangan sendiri, nggak perlu sampai di jodohin,” gerutu Inara. Ia seperti anak gadis saja sebab tidak juga memiliki pendamping, lalu orang tuanya melakukan perjodohan.

“Aku punya ide!” seru Lolita tiba-tiba. Sebuah ide yang tidak buruk baru saja terlintas di pikirannya. Semoga saja Inara mau menerima sedikit sarannya.

“Apa?”

“Gimana kalau kamu pergi sama Gabriel? Dia kan cowok kamu, nggak ada salahnya juga kalau kamu ajak dia ke acara keluarga.”

Ide Lolita luar biasa sekali, sampai Inara gemas sendiri pada temannya itu. Kenapa harus membawa-bawa nama Gabriel, sih? Seharian ini dia sudah tenang sekali karena tidak bertemu dan melihat tingkah Gabriel, pikirnya mungkin lelaki itu mulai bosan. Ya, Inara bersyukur saja kalau memang begitu, hidupnya pasti akan tenang tanpa si pengganggu yang kerap datang tak tahu waktu.

“Nggak usah bawa-bawa dia dan nggak mungkin banget aku pergi sama dia, lagian aku sama dia nggak ada hubungan apapun, dia aja yang terlalu percaya diri, siapa yang mau sama bocah kayak dia?”

“Hush! Jangan ngomong kayak gitu, bisa jadi nanti kamu malah jatuh cinta setengah mati sama dia,” ucap Lolita membuat Inara melotot.

“Amit-amit deh!”

“Aduh! Telinga gue panas nih, curiga ada yang lagi gibah gue.”

Gabriel menggosok pelan telinganya, ia sedang menatap langit-langit kamar dengan pikiran masih tertuju pada satu hal—cinta pertama Inara. Obrolannya bersama dengan Sean sore itu masih membuat ia galau sendiri, pasalnya Sean saja kalah dengan cinta pertama Inara, apalagi dia yang masih belum memiliki hati perempuan itu. Menyedihkan.

“Tapi, gue nggak boleh menyerah sih. Siapa tahu jodoh Mbak Janda itu gue, mangkanya Tuhan memisahkan dia sama cinta pertamanya, terus sama Bang Sean juga.”

“Fix sih! Udah pasti jodohnya itu gue.”
Gabriel sebenarnya sedang menghibur diri saja, meyakinkan diri sendiri perihal jodoh Inara. Padahal hatinya sekarang sedang ketar ketir sebab masih belum ada tanda-tanda kalau Inara akan membuka hatinya. Apa ia harus melakukan rencana cadangan? Menemui Mbah dukun?

Gabriel menggeleng, “Nggak! Gue tetap harus percaya diri, soalnya feeling gue kuat banget kalau dia bentar lagi bakalan terpesona sama ketampanan gue yang paripurna.” Lagi. Sebenarnya Gabriel sedang menghibur diri.

Nikah Yuk, Mbak! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang