[20] Si anak tunggal tak bahagia

662 45 10
                                    

"Jadi, ada perkembangan bagus dong antara lo dan Mbak Janda? Nggak sia-sia juga perjuangan lo yang sampai bucin banget, El," ucap Lea setelah mendengar cerita Gabriel perihal dirinya yang sudah mengenal keluarga Inara.

"Jelaslah! Gabriel gitu. Gue kan pantang menyerah sebelum pujaan hati gue menjadi milik gue sepenuhnya dan gue semakin yakin kalau Inara bakalan terpesona sama gue, selain karena gue tampan, gue juga berondong," balasnya yang seperti biasa penuh percaya diri.

Rashi tampak menyimak saja obrolan Gabriel dengan Lea. Ada perasaan aneh dalam hatinya saat mengetahui bahwa hubungan Gabriel dengan Inara tampak berjalan baik, perasaan yang seperti agak tidak rela saja mengetahui sahabatnya bersama dengan Inara. Apa ini berarti ia cemburu, kan? Sialan! Kenapa menyakitkan sekali ketika kita mencintai dalam hati?

Selama ini ia terus mengelak perasaan asing yang muncul dalam hatinya. Ternyata semakin lama, semakin ia sadar bahwa perasaannya kepada Gabriel bukan tentang rasa sayang pada sahabat, tetapi perasaan yang muncul dari hati seorang perempuan kepada lelaki yang membuatnya merasa nyaman dan terlindungi. Perihal dirinya yang kerap berdebat dengan Gabriel. Semua adalah cara ia menutupi perasaan yang ada dalam hatinya. Agar Gabriel tidak menyadari perasaan yang selama ini dalam hatinya.

"Woi!" Gabriel berseru di hadapan Rashi membuat gadis itu tersentak. Sejak tadi ia bicara, Rashi malah asyik melamun saja, padahal kan sangat jarang Gabriel curhat seperti ini kepada mereka, biasanya selalu menjadi pendengar di antara keluh kesah dua cewek ini.

"Lo parah banget, malah melamun pas gue lagi curhat begini. Lagi mikir apa sih? Si mantan kampret? Udah kali, lo cari cowok lain aja. Move on," lanjut lelaki itu. Gabriel pikir, Rashi masih belum move on dari sang mantan. Sebab beberapa waktu ini hanya diam saja.

"Apaan sih! Jangan bahas dia deh, siapa juga yang belum move on?" Rashi tampak kesal karena dituduh masih belum move on dari sang mantan. Sejak hubungannya dengan Marko berakhir, bahkan rasa sakitnya tidak terlalu menyesakkan. Berbanding terbalik dengan perasaannya saat tahu Gabriel jatuh cinta pada Inara.

"Udah tahu Rashi lagi sensitif sama itu cowok, lo malah pakai sebut nama dia, El," timpal Lea yang memang tahu semenjak hubungan Rashi dan Marko berakhir, sahabatnya sudah tidak mau membahas yang sudah berlalu.

"Sorry deh, gue kan nggak tahu kalau lo masih sedikit sensitif sama si kampret."

"Jelas nggak tahu, akhir-akhir ini yang menjadi prioritas lo cuma Inara," gumam Rashi yang masih jelas terdengar.

Gabriel menatap Rashi seraya berkata, "Lo cemburu?"

"Dih! Pede banget!"

**

Gabriel baru saja sampai di depan rumah, masih berada di atas sepeda motor dengan pandangannya terfokus pada sebuah mobil yang tentu saja sangat dia kenal, milik orang tuanya. Lelaki itu mendesah pelan, padahal ia senang mengingat misinya mendekati Inara berjalan dengan lancar, tetapi sekarang saat sampai di rumah ia malah di hadapkan dengan kehadiran orang tuanya. Bukan tidak senang, Gabriel hanya tidak tahu harus bersikap bagaimana, sebab hubungan keluarga baginya malah terasa asing.

Gabriel tidak membenci mereka. Ia hanya tidak suka dengan keadaan asing yang tercipta di antara mereka, ia terlalu terbiasa dengan kesunyian yang ada, keheningan yang setiap saat menyambutnya, bahkan mungkin saja ia nyaris nyaman menjadi sosok anak tanpa sebuah kehangatan yang orang lain rasakan dari dua orang yang disebut orang tua dan dari hubungan yang kerap dibilang keluarga.

"Anak Mama akhirnya pulang."

Langkah kakinya terhenti saat suara sang mama terdengar, padahal Gabriel berencana langsung masuk ke kamar saja, tetapi nyatanya Mama ada di ruang tengah. Gaby-mamanya-beranjak dari sofa lalu menghampiri anak tunggalnya dan menarik Gabriel ke dalam pelukan, tanpa sempat lelaki itu hindari. "Mama kangen banget sama anak mama ini," katanya.

Kalau saja hubungan mereka seperti keluarga lainnya, tanpa rasa canggung, Gabriel akan membalas pelukan tersebut. Sayangnya semua terlanjur asing, bahkan ia tidak tahu kapan terakhir kalinya sang mama memeluk Gabriel seperti ini.

"Mama tadi masak udang kesukaan kamu. Ayo kita makan sama-sama! Kita tunggu Papa dulu, masih mandi tadi," ucap Mamanya dengan raut wajah berseri.

"Aku alergi udang, Ma."

Jawaban Gabriel membuat senyum di wajah sang mama memudar. Sementara lelaki itu tersenyum miris, bahkan mamanya sendiri melupakan perihal alerginya.

"Maaf, Mama lupa sama alergi kamu."

Gabriel tersenyum, "Nggak apa-apa, aku udah biasa dilupakan. Mama nggak perlu merasa bersalah."

Dibalik sosok Gabriel yang menyebalkan, kepercayaan dirinya yang menggunung serta kerap membuat sahabatnya kesal, pun dengan Inara sekarang. Gabriel sebenarnya merasakan kesepian yang luar biasa, ia terkadang iri dengan Lea karena sahabatnya memiliki keluarga yang begitu hangat, orang tua yang sangat memperhatikan dan kakak lelaki yang begitu menyayangi Lea. Sementara dirinya, hanya anak tunggal dengan kedua orang tua yang jarang berada di rumah.

Sudah sering Gabriel makan sendirian di rumahnya dan tidak jarang juga ia akan pergi ke rumah Lea untuk merasakan hangatnya suasana makan bersama di meja makan. Beruntung Gabriel masih memiliki sahabat seperti Lea dan keluarga gadis itu yang selalu menyambutnya dengan tangan terbuka.

"El ke kamar dulu, Ma. Mau bersih-bersih," pamitnya dan berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban sang mama.

Mama Gabriel menatap sang anak dengan pandangan penuh kesedihan. Semua memang salahnya karena selama ini tidak memperhatikan anak semata wayangnya. Ia hanya fokus berkarier, pun dengan sang suami yang juga sangat sibuk di pekerjaannya. Yang mereka berikan pada Gabriel hanyalah uang dan uang, bukan sebuah perhatian dan keberadaan mereka di rumah ini.

**

Gabriel sebenarnya tidak mau keluar dari kamar setelah mandi dan berganti pakaian. Tetapi, ketukan pada pintu kamarnya serta suara sang papa yang memanggilnya terus menerus membuat ia akhirnya mau tak mau keluar dari kamar dan bergabung bersama orang tuanya di meja makan.

"Gimana kuliah kamu? Semuanya lancar, kan?" tanya sang papa di sela-sela makan mereka.

"Lancar," balasnya singkat.

"Kabar Lea sama Rashi gimana? Kalian masih main barengan kan?" Kali ini pertanyaan dari sang mama, yang dibalas sebuah anggukan oleh Gabriel.

Kedua orang tua Gabriel tampak mengembuskan napas pelan, mereka sadar diri kenapa sang anak menjawab secara singkat begini. Mereka sama sekali tidak tersinggung maupun marah karena kesalahan ada pada mereka sebagai orang tua. Dan selebihnya makan malam kali ini hanya diisi dengan keheningan, karena Gabriel tidak sedikit pun mengeluarkan suara.

Selesai makan malam, Gabriel tidak diperkenankan untuk beranjak dari kursinya. Sang papa mengatakan ada hal yang akan dibicarakan padanya, alhasil ia pun masih duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya.

"Ada hal yang mau Papa bicarakan sama kamu, sebenarnya sudah cukup lama, tetapi memang baru kali ini Papa dan Mama bisa sampaikan sama kamu."

Gabriel hanya mendengarkan tanpa mau menyela perkataan papanya, ia juga sedikit penasaran apa yang akan kedua orang tuanya bicarakan.

"Papa dan Mama sudah sepakat untuk bercerai."

Bagaikan bom waktu, Gabriel benar-benar tidak menyangka hal ini akan terjadi pada dirinya. Selama ini Gabriel tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari keduanya karena kesibukan mereka, lalu sekarang ia malah mendengar bahwa kedua orang tuanya akan berpisah.

Jadi, ini arti kepulangan mereka dan makan malam barusan? Mengapa dunia seolah tidak adil padanya?

Apakah ia tidak berhak merasakan kebahagiaan? Bahkan dari keluarganya sendiri?

Gabriel memilih beranjak, ia tidak sanggup lagi mendengar semuanya, sebelum ia pergi dari hadapan orang tuanya, lelaki itu berkata, "Lakukan apa yang kalian mau, lagi pula selama ini kalian nggak menganggap keberadaan aku di sini, kan? Aku juga udah terbiasa sendiri."

"Memangnya apa yang mau Papa dan Mama dengar dari aku? Setelah kalian kasih tahu keputusan yang bahkan nggak akan berubah, sekalipun aku mengutarakan apa yang aku mau. El pikir selama ini kalian mungkin memang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, ternyata sibuk untuk saling asing. Makasih, Pa, Ma, kabar buruknya untuk keluarga yang nyaris tidak pernah bahagia."


Nikah Yuk, Mbak! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang