Geraldi akhirnya mendengar cerita Gabriel tentang keputusan kedua orang tuanya yang memilih untuk bercerai. Gabriel tidak tahu alasan apa yang membuat kedua orang tuanya berpisah, karena selama ini ia juga tidak pernah melihat bagaimana interaksi keduanya beberapa tahun ke belakang. Papa dan mamanya jarang berada di rumah dan sekarang saat mereka berdua ada di rumah, malah memberikan kabar buruk untuk keluarga.
“Gue benar-benar nggak berhak bahagia ya, Bang? Padahal selama ini gue nggak pernah menuntut mereka, gue terbiasa dengan kesendirian di rumah selama mereka kerja. Kenapa mereka tega banget sama gue, Bang?”
Gabriel mencurahkan semuanya pada Geraldi. Selain Lea dan Rashi yang kerap menjadi tempatnya menumpahkan segala yang tengah ia rasakan, Geraldi menjadi sosok kakak yang membuat Gabriel merasa memiliki pelindung dalam hidupnya.
“Setiap orang punya versi bahagia masing-masing, El. Jangan sampai lo berpikir kalau lo nggak berhak buat bahagia. Tentang perpisahan orang tua lo, mungkin mereka udah memikirkan semuanya sejak lama dan dibandingkan terus bersama tetapi malah saling menyakiti, mungkin lebih baik mereka berpisah.”
“Gue nggak ngerti, Bang. Gue pikir semuanya baik-baik aja, sekarang malah bikin gue kecewa.” Gabriel pikir hubungan orang tuanya harmonis meskipun mereka sama-sama sibuk bekerja, tetapi pekerjaan itu malah membuat mereka memilih untuk berpisah.
“Sebagai anak, kita kadang nggak pernah mengerti pemikiran orang tua kita. Tetapi, kita juga harus bisa menerima keputusan yang mereka ambil meski dimata kita semua kelihatan salah.”
Geraldi memang tidak pernah ada di posisi Gabriel, tetapi ia ingin Gabriel memahami dan menerima dengan lapang dada keputusan yang sudah diambil oleh orang tuanya.
Memang terkesan egois, tidak memikirkan bagaimana perasaan Gabriel sebagai seorang anak, tetapi bukankah berpisah lebih baik, daripada hidup dalam kepalsuan? Dan seakan masih saling mencintai?
“El, lo cuman harus ingat. Kalau lo nggak pernah sendirian, perpisahan kedua orang tua lo mungkin sebuah pilihan yang baik, dibandingkan terus bersama tetapi rasanya udah hambar dan gue yakin lo akan lebih nyaman sama apa yang mereka pilih, dari pada lo melihat mereka hidup dalam kepura-puraan saling mencintai.”
Gabriel tampak mencerna perkataan Geradi, apa yang lelaki itu katakan memang ada benarnya, percuma terus bersama jika kedua orang tuanya sudah tidak memiliki rasa cinta yang sama. Ia juga tidak ingin berada di dalam hubungan yang penuh kepura-puraan.
Mungkin perpisahan adalah jalan terbaik, meski ia sebagai anak menjadi salah satu korbannya. Tetapi, Gabriel bukanlah anak kecil lagi. Ditambah selama ini ia terbiasa hidup sendiri, mungkin apa yang ia rasakan sekarang hanyalah sebuah kekecewaan sesaat. Mungkin juga setelah apa yang ia lewati saat ini, kebahagiaan akan datang pada dirinya.
“Gue sama Lea udah kayak saudara lo juga, El. Lo bisa anggap kita ini keluarga, lo nggak pernah sendirian,” ucap Geraldi seraya menepuk pundaknya.
Benar, Gabriel selama ini tidak pernah sendirian. Selalu ada Lea bersamanya, bahkan gadis itu mengajaknya masuk ke dalam keluarga mereka dan merasakan kehangatan sebuah keluarga yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Kalau perpisahan kedua orang tuanya adalah jalan terbaik, Gabriel akan menerima semuanya. Ia juga akan mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri, meski bukan bersama dengan orang tuanya.
**
Ada yang mengusik hati Inara. Beberapa hari ini ia tidak melihat keberadaan Gabriel di mana pun. Setelah hari di mana Gabriel datang ke rumahnya dengan keadaan tidak baik-baik saja, mereka tidak pernah bertemu kembali. Sampai satu minggu pun berlalu dan Inara tidak tahu bagaimana keadaan Gabriel, apakah dia tetap baik-baik saja?
Tidak. Ini bukan berarti ia mengkhawatirkan Gabriel, kan? Bukan berarti dia takut terjadi sesuatu buruk pada lelaki itu, kan? Mungkin saja ia hanya merasa asing sebab Gabriel tidak berada dalam jangkauannya. Lagi, Inara kerap mengelak semua prasangka dan setiap rasa yang terus mengusik dirinya.
“Tumben banget pacar kamu nggak kelihatan beberapa hari ini. Kalian berantem?” Lolita duduk di samping Inara yang sedang menikmati makan siangnya, kali ini mereka memilih makan siang di lokasi pemotretan. Sebenarnya karena Inara sedang malas pergi ke luar untuk mencari tempat makan.
“Berapa kali aku bilang, aku sama dia nggak ada hubungan apapun, Ta. Sejak kapan dia jadi pacar aku?”
“Iya deh. Habisnya kayak sepi banget karena nggak ada Gabriel, dia kan paling bisa mencairkan suasana sampai kru yang lain aja senang ngobrol sama dia.”
Inara tidak membalas perkataan Lolita. Padahal dalam hatinya, ia setuju dengan apa yang Lolita katakan sebab Gabriel memang mudah sekali bergaul, menjadi si paling pandai mencari topik obrolan, meskipun lelaki itu kerap membahas hal random. Tetapi, Inara menyadari ada satu tempat yang hilang, tampak tidak berpenghuni karena Gabriel tidak ada dalam jangkauannya. Sebenarnya apa yang terjadi pada hatinya?
Di tengah obrolannya bersama dengan Lolita, samar-samar keributan membuat mereka penasaran. Lolita dan Inara tampak kompak menatap ke pintu masuk di mana orang-orang terlihat antusias menyambut tamu yang entah siapa. Bahkan Mas Dafa juga berada di antara yang lainnya, sampai saat tubuh Mas Dafa sedikit menggeser, kedua mata Inara menangkap sosok yang tampak tidak asing.
“Nathan?”
**
“Bodoh! Kenapa lo nggak bilang sih?”
Lea menghapus air matanya, ia marah dan juga merasa sedih melihat kondisi Gabriel saat ini. Malam tadi saat Lea baru sampai di rumah, ia terkejut melihat Geraldi dan Arion—ayah mereka—saling membantu menggendong Gabriel yang tidak sadarkan diri.
Saat berada di rumah sakit dan menunggu Gabriel di tangani, Geraldi menceritakan semua kondisi Gabriel termasuk gangguan kecemasan yang lelaki itu rasakan. Sebagai sahabat, Lea merasa terkejut dan menyalahkan diri sebab tidak tahu kondisi sahabatnya selama ini.
“Nggak semua hal harus gue kasih tahu sama lo, Lea.” Gabriel bicara pelan, lelaki itu masih terbaring di atas ranjang rumah sakit. Katanya harus menjalani perawatan dan dengan terpaksa Gabriel menyetujuinya. Padahal ia tidak suka berada di rumah sakit.
“Tapi, hal penting kayak gini nggak harus lo sembunyikan dari gue, El. Gue sahabat lo, kalau lo mati dan gue belum sempat minta maaf, gimana? Ngeri banget kalau lo gentayangan.” Di tengah kesedihannya, Lea malah bercanda dan Gabriel tertawa mendengar perkataan sahabatnya.
“Gue nggak mau kehilangan sahabat gue.” Tangis Lea kembali pecah yang malah membuat Gabriel kebingungan melihat gadis itu menangis, pun dengan Sean yang sejak tadi menemani kekasihnya.
“Bang, cewek lo kenapa sih? Tadi ngelucu, sekarang malah nangis lagi. Kok lo mau sih sama dia—Aduh!” Gabriel meringis, mengusap puncak kepalanya sebab tangan Lea yang dengan tanpa permisi menjitaknya.
“Lo lagi sakit, jangan bikin gue emosi!” ketusnya menatap tajam pada Gabriel.
“Ya, maaf. Lo juga, udahan kali nangisnya. Gue masih hidup dan baik-baik aja,” ucap Gabriel meyakinkan Lea perihal kondisinya yang sudah membaik.
“Gue mau telepon Rashi, dia juga harus tahu kondisi lo sekarang,” ucap Lea seraya beranjak dari posisinya dan memilih untuk keluar dari ruangan, membiarkan Gabriel bersama dengan Sean di dalam.
“Kamu benar-benar sudah merasa baik?” tanya Sean memecah keheningan di antara mereka. Ia juga tahu perihal kondisi Gabriel, karena saat Geraldi menjelaskan semuanya pada Lea, ia juga berada di sana.
Gabriel mengangguk, “Kayaknya lebih baik dari beberapa jam lalu.” Setidaknya untuk sekarang, Gabriel merasa cukup baik. Napasnya tidak sesak seperti sebelumnya.
“Kalau butuh sesuatu, kamu bisa panggil saya. Saya akan menunggu di luar,” ucap Sean. Ia pikir Gabriel membutuhkan istirahat dan lebih baik ia menunggu di luar sembari menyusul kekasihnya.
“Gue butuh bantuan lo, Bang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Yuk, Mbak!
RomanceVersi terbaru "Nikah Yuk, Mbak!" Penulis : Purplerill Gabriel tidak paham, Tuhan kenapa senang sekali membuat kisah cintanya tidak mulus. Setelah cinta bertepuk sebelah tangan dengan sahabat sendiri. Sekarang Gabriel harus bersaing dengan masa lalu...