TAH - 43

3.6K 338 21
                                    

Happy Reading ✨️

***

Pria muda yang tengah tidur di ranjang pasien langsung tersentak saat pintu ruang rawatnya dibuka dengan kasar. Bibirnya mengeluarkan ringisan disertai tangan yang memijat pelipis. Meski kini ia sudah tampak sehat, tetapi tubuhnya masih merasakan lemas atau bisa dibilang ia sedang dalam masa pemulihan.

Sebenarnya dokter sudah membolehkan pulang sejak kemarin, tapi dengan alasan masih belum benar-benar sehat, pria muda itu menambah waktu perawatannya di rumah sakit. Jarang-jarang ia masuk rumah sakit, sekalinya masuk rumah sakit ia akan menggunakan kesempatan langka ini sebaik mungkin.

“Ngapain sih lo berdua ke sini? Ngeganggu gue lagi istirahat aja. Udah tahu ada orang lagi sakit, bukannya buka pintu pelan-pelan ini malah ngedobrak. Dasar stres!”

“Ya maaf, Bang. Gue lagi buru-buru soalnya. Tahu nggak, Mama nyuruh gue balik hari ini dan penerbangannya nanti dua jam lagi, mangkanya gue cepet-cepet ke sini untuk ngelihat lo dulu sebelum gue berangkat.”

“Lo mau balik sekarang? Yang bener?”

“Iya, waktu gue juga udah habis buat healing.

Pria muda dengan baju rumah sakitnya memutar arah memandang sosok yang tadi ikut masuk bersama sang adik. “Bener tuh, Zen, bonyok gue ngomong kek gitu?”

“Iye, Vi. Lo jadi Abang nggak percaya banget sama adik sendiri,” ucap Zen mengambil duduk di sofa yang letaknya tidak terlalu jauh dari ranjang pasien. “Erza balik ke Indonesia, bonyok gue berangkat ke sini.”

“Ngapain Om Raga dan Tante Zahra ke sini? Gue udah sembuh, bilang ke mereka nggak usah jenguk gue. Lagian penyakit gue nggak parah kok, kenapa orang-orang pada panik denger gue dirawat. Kayak gue lagi sekarat aja yang besoknya mau mokat,” gerutu Vian.

“Lo telat, mereka berdua udah take off dari beberapa menit yang lalu.”

“Anjing!” Vian mengumpat. Kenapa kabar ia sakit justru seperti kabar bahwa ia akan mati? Mama dan papanya yang panik langsung memutuskan detik itu juga melakukan penerbangan ke Inggris. Itu wajar karena Redyna dan Gavin adalah orang tuanya, orang tua mana yang tidak khawatir mendengar kabar bahwa salah satu anaknya dilarikan ke rumah sakit.

Lalu ada Zaky yang katanya sampai menangisinya begitu histeris. Dan kali ini ia mendengar jika Raga dan Zahra yang sedang on the way kemari, seharusnya tidak perlu tante dan om-nya sampai jauh-jauh menjenguknya ke sini. Lagi pula Vian sudah sembuh kok.

“Ge’er banget lo, Bang. Lo pikir Tante sama Om ke sini itu cuman mau jengukin lo doang yang lagi sakit? Nggaklah, di sini juga ada anak semata wayangnya. Mereka sekalian mau ngunjungin Zen, siapa tahu anak itu ketularan penyakit dari lo, ‘kan bisa antisipasi,” ujar Erza mengejek abangnya.

“Asu bener lo, Er. Eh, tapi ada benernya juga sih apa yang lo bilang.” Buah jeruk yang ada di atas nakas sengaja Vian lempar kepada Erza dan menyuruh laki-laki itu untuk mengupasnya.

Walaupun ogah-ogahan, Erza tetap melakukan perintah sang Abang tercinta. Setelah permukaan jeruk telah bersih dari kulit, Erza dengan tatapan menggodanya mulai menyuapi jeruk itu kepada Vian yang sebelumnya mendelik tidak suka.

“Kasihan abang gue tangannya buntung, nggak bisa ngupas buah, makan aja harus disuapin sama gue dan Mama. Nanti kalau gue udah balik dan Mama lagi nggak bisa nyuapin, lo minta bantuan aja ke Papa. Papa pasti mau kok nyuapin anak durhaka kayak lo, bagaimanapun lo tetep anaknya, salah satu pewaris Zhafir Group juga.”

“Lo tuh yang anak durhaka, Er! Dasar bangsat!” berang Vian. Saking kesalnya ia terhadap ucapan Erza, kepala laki-laki itu yang menjadi sasaran empuknya.

The Angry Husband [Completed - Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang