🌙 VIGINTI 🌙

68 13 9
                                    

Apa kau percaya sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa waktu berjalan sangat cepat? Seperti angin berhembus kencang, bahkan semakin kesini jika kita mengalami sebuah peristiwa seakan durasinya begitu singkat. Ketika hari esok sudah tiba, seakan peristiwa itu sudah hilang di telan masa. Begitulah waktu, betapa banyak manusia yang menyia - nyiakan waktunya sehingga yang ia dapatkan adalah penyesalan di akhir. Dan rasa ingin kembali pada masa - masa saat ia menyia - nyiakan waktu.

"NINGNING!!! BELAJAR!" suara teriakan Ferlyn menggema di ruang tamu keluarga Huang, sungguh ia sudah naik darah karena sedari tadi menunggu saudara sepupunya itu untuk belajar karena besok mereka sudah harus ujian untuk tes masuk perkuliahan.

Apa kubilang tadi, waktu berjalan sungguh cepatkan.

Dengan lemah tak berdaya, Ninging menghela napas. Diletakkannya seperangkat alat game yang sangat mendominasinya itu. Mulai dari iPad dan headphone yang ia pakai agar fokusnya tidak teralihkan. Namun, saat ini ia harus mengalah.

"Kak."

"Hmmm."

"Kakak mau masuk jurusan apa?"

Ferlyn menatap Ningning agak lama, ia tampak berpikir keras karena jujur ia juga belum tahu mau memilih jurusan apa.

"Kak, jurusan game ada gak sih?"

Gadis bermarga Huang di depan Ningning itu menghela napas panjang. Ia tahu, pasti adik sepupunya itu sudah sangat terobsesi bahkan jatuh cinta sedalam - dalamnya pada dunia per game gameman yang sama sekali tidak ia ketahui bagaimana asiknya game itu. Namun, jujur saja Ferlyn agak takut karena belum tentu orangtua Ningning menyetujui harapan dan cita - cita gadis itu. Ferlyn jadi khawatir dan was - was, takut jika Ningning down tiba - tiba.

Tinggal beberapa tahun bersama Ningning membuat Ferlyn semakin memahami gadis itu. Tidak jarang ia temui adik sepupunya itu tiba - tiba menangis sesegukan saat malam hari atau saat ia tiba - tiba melamun. Sebenarnya, Ningning ketakutan, takut ketika orangtuanya marah karena ia tidak sesuai ekspektasi. Takut jika orangtuanya tiba - tiba menyuruhnya untuk melakukan hal yang ia tidak mampu, dan segala ketakutan lainnya akibat harapan orangtua yang terlalu menjulang tinggi.

"Mungkin ada, lo mau masuk jurusan itu?"

Wajah Ningning tampak berbinar dan antusias saat Ferlyn seakan bilang bahwa jurusan game itu ada. Namun sedetik kemudian pandangannya melemah membuat Ferlyn menangkup kedua pipi berisinya.

"Hey, jangan sedih oke Lo terlalu ketakutan sama bayang - bayang tentang apa yang bakalan dibilang sama orangtua Lo."

Air mata Ningning seketika menetes, sebenarnya kakak sepupunya itu peka kalau akhir - akhir ini Ningning sering sekali murung di pojokan, bahkan tidak mood makan karena memikirkan ekspektasi orangtuanya tentang perkuliahan. Sungguh, itu menyiksa.

"Sttt, please dengerin gue." Ferlyn setia menatap manik mata gadis dihadapannya itu.

"Overthinking itu gak salah, apalagi di masa - masa kita sekarang. Tapi, coba deh Ning Lo ubah mainset Lo. Selama ini Lo selalu menghindari apa yang di omongin sama orangtua Lo, selama ini Lo cuma bisa ngambek diem - diem atau nurutin permintaan mereka dengan hati yang gak ikhlas sama sekali kan?"

Ningning mengangguk samar, ia masih setia mendengar perkataan demi perkataan yang Ferlyn ungkapkan.

"Coba deh, mulai belajar terbuka sama orangtua Lo. Mulai belajar mengutarakan apa yang Lo pengenin. Mulai belajar ngasih suatu alibi terkuat yang bisa ngeyakinin orangtua Lo, karena gak semuanya harus sesuai apa yang orangtua kita pikirkan. Gue tau, Lo pasti pengen banget jadi gamers mendunia kan? Gue tau Lo males banget dengan segala hal yang formal dan terikat kan?"

Mendengar perkataan Ferlyn, gadis bersurai panjang dengan mata owl itu memeluk erat tubuh Ferlyn. Menangis di sana seakan bilang bahwa apa yang diucapkan Ferlyn tadi benar. Namun, jujur ketakutan dalam hidupnya adalah ekspektasi orangtuanya.

Tangan Ferlyn mengelus lembut surai adik sepupunya. Meyakinkan, bahwa semua bisa dijalani dan semua akan baik - baik saja.

"Gimana? Lo mau kan nyoba ngomong ke orangtua Lo? Nanti gue tuntun, kita masih punya waktu seminggu sebelum orangtua Lo kesini ngerembukin masalah perkuliahan. Gak cuma Lo Ning, gue juga. Bahkan gue udah berusaha nyusun rencana buat alibi terkuat yang bisa gue kasih ke orangtua. Agar mereka yakin bahwa keinginan anaknya tu gak main - main."

Lagi - lagi Ningning mengangguk, mengulur pelukannya pada Ferlyn kemudian mengusap sisa air matanya yang sedari tadi membanjiri.

"Ya udah, jangan nangis lagi. Sekarang kita belajar, terus bobok ya. Besok kita harus masuk sekolah buat persiapan UTBK." Senyum manis Ferlyn mengembang.

Malam semakin larut, Ferlyn menghela napas agak panjang. Entah mengapa sedari tadi ia tidak bisa tidur. Padahal jelas - jelas ia sudah merencanakan dengan sempurna, sesudah belajar tidur. Namun, nyatanya sekarang ia susah tidur.

Dilihatnya Ningning yang sudah tampak nyenyak di kasurnya, ia tersenyum kecil. Ternyata memang benar, alasan Ningning akhir - akhir ini sudah tidur adalah ketakutannya.

Setidaknya Ferlyn sudah menasehati gadis itu tadi. Karena bukan Ferlyn namanya jika mendiamkan suatu masalah tanpa ada solusinya.

Merasa haus Ferlyn keluar kamar menuju ke dapur, hendak mengambil air minum.

Ia melirik sebal seseorang yang masih setia berkutat dengan laptopnya.

"Belum tidur Lo?" Suara Renjun menghampiri indera pendengarannya.

"Haus gue, lah Lo sendiri? Ngelembur apa?" Ferlyn membuka tumbler yang ia ambil dari kulkas, seraya duduk di sofa samping Renjun yang sedang berkutat dengan segala hal yang membuat ia begadhang.

"Urusan BEM, gak ada kelarnya. Lo lihat nih! Mata gue sampe kayak pocong," lawak Renjun sembari memperlihatkan lingkaran hitam di matanya. Ferlyn tertawa.

Seketika hening menyapa, Renjun masih sibuk mengetikkan jemarinya di laptop sementara Ferlyn sibuk dengan lamunannya.

"Heh, ngelamun larut malem. Kesambet nenek gayung Lo!"

Gadis yang ada di samping Renjun seketika menghentikan lamunannya, berdecak kesal. "Njun, kuliah enak gak sih?" Tumben - tumbennya Ferlyn menanyakan hal yang bermanfaat.

Renjun terkekeh, tangannya terulur mengacak surai adiknya. "Tergantung Lo milih jurusan apa," ucap Renjun sembari menatap adik perempuannya.

"Gue bingung sumpaaah, gue stress gak tau mau milih jurusan apa!"

"Nikah aja sono lu, kan udah bisa masak."

Plaakkkk

Sebuah tabokan Ferlyn layangkan menuju pundak Renjun, pria itu tertawa puas.

"Apaan sih Lo! Gue gak mau ya nikah muda! Juga keknya gue gak mau nikah! Gue mau perawan selamanya aja."

Mendengar perkataan Ferlyn Renjun bergidik ngeri, semenjak Ferlyn menyatakan bahwa dirinya sudah move on dengan Jisung wanita itu memang sangat sensitif membahas soal cinta dan hal - hal yang berbau pasangan.

Renjun menghela napas. "Iya iyaa, gue ngerti perasaan Lo sekarang. Coba deh Lo yakinin ke diri Lo, kira - kira Lo minat jurusan apa?"

"Hmmm gueee,,,"

Verus Amor

Verus Amor || Park Jisung || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang