Sebuah limosin berwarna putih terparkir anggun didepan gedung megah rumah sakit milik keluarga Hendery. Seorang pria dengan kacamata yang bertengger di atas hidungnya berjalan keluar dari area rumah sakit yang sudah ia tempati sekitar seminggu ini. Pria manis itu tersenyum, menyalami seorang dokter yang merupakan sahabatnya.
"Makasih ya der, hahaha" Hendery mendengus kesal namun sedetik kemudian ia tertawa.
"Gue harap Lo gak bikin ulah gini lagi, kasian tu cewek jadi harus ngurus orang aneh kayak Lo." Hendery membalas rangkulan Chenle tak kalah erat. Selanjutnya pria sultan yang sangat usil itu bernapas lega melihat wanita yang mereka bicarakan tadi barusan keluar. Itu artinya pembicaraan mereka tidak didengar.
Disusul sebuah mobil hitam sport yang membuat mereka melebarkan mata. "Kak Ferlyn!" Pekik Ningning girang, ia sudah persis seperti anak balita yang barusan di karantina kemudian pada akhirnya bisa kembali bertemu ibunya.
"Kita duluan," teriak Ferlyn setelah Ningning menaiki mobilnya. Tanpa sadar dengusan terdengar dari pria remaja di sebelah dokter Hendery. Mengundang tawa pecah. "Mau apalagi anjir? Dia udah muak sama Lo hahahaha." Satu geplakan mendarat mulus di atas kepala Hendery disusul wajah cemberut dari sang penggeplak.
"Ya, kan gue mau ngucapin selamat tinggal gitu. Mana besok gak sekolah, kan bakal liburan kenaikan kelas. Sebulan lagi, ARGHHHH." Frustasi Chenle.
Hendery menggelengkan kepala, di sotaknya dahi atas chenle yang tertutup poni. "Ya kan tinggal mampir kerumah Renjun dengan alasan mabar, gitu aja repot."
Perjalanan yang ditempuh dua orang gadis remaja itu terlihat sangat hening. Sang penyetor sengaja memutar musik klasik untuk sedikit meramaikan perjalanan mereka, sementara gadis di sebelahnya kembali pada rutinitasnya yaitu mabar.
Terkejut dengan sebuah geplakan Ningning mengalihkan atensinya. "Gimana seminggu sama Chenle? Ruangan gak hancur kan?" Goda Ferlyn sembari mencolek dagu Ningning.
Gadis itu terlalu malas membahas Chenle sehingga ia hanya diam tanpa merespon. Ferlyn yang peka betapa kesalnya Ningning hanya tertawa kecil. Disusul ngakak brutalnya yang hanya bisa ia serukan dalam hati. Sebenarnya Ferlyn tahu betapa liciknya pria bermarga Zhong itu. Tepat pukul 12 dini hari tadi Ferlyn melihat sebuah fakta di wa grup milik Renjun. Tangannya mengepal kuat karena memang para pria itu sangat brengshake. Namun satu sisi, ia biarkan Ningning agak dekat dengan Chenle karena gadis itu seperti tidak memiliki rasa dengan satu sosok pria apapun. Dia takut Ningning bermasalah.
Ckiiitttttt
Mobil Ferlyn berhenti di parkiran mall daerah kota Seoul. Ningning tersenyum senang karena kakaknya itu selalu tahu bagaimana cara menaikkan mood seorang wanita galau. Mereka berjalan berdampingan memasuki area mall.
"Mau apa dulu? Nonton? Timezone? Makan? Atau belanja?" Tanya Ferlyn.
"TIMEZONE!" Pekik Ningning girang, akhirnya mereka berjalan riang menuju timezone.
Setelah lelah mengitari banyak wahana dan jenis permainan di area timezone yang sangat luas itu mereka duduk sembari menikmati chatime di depan timezone tersebut.
"Capeekk" keluh Ningning sembari memepetkan punggungnya di tembok.
Ferlyn terkekeh. "Capekan mana sama ngurus Chenle."
"Gak usah bahas cowok bencong itu sih kak! Males!"
"Hahaha oke oke, yok lanjut."
🌙
Sementara di satu sisi, tepatnya ruang keluarga milik keluarga Park. Ketegangan menyelimuti mereka, bahkan sampai putra sematawayang mereka menangkupkan kedua tangan.
"Doakan operasi papa lancar ya," senyuman manis mengembang dari wajah pria dewasa kepala keluarga Park. Membuat kedua anak dan sang istri menatap sendu kepada tulang punggung mereka.
Linangan air mata anak perempuan mereka sudah tidak bisa dibendung sedari tadi. "Pa, papa harus sembuh pasti bisa sembuh." Isak Joy sembari mengepalkan tangannya, menggambarkan betapa sedihnya ia sekarang. Sementara sang mama dari tadi hanya bisa menahan genangan air matanya sembari merapalkan doa terkhusus untuk sang suami tercinta.
Jisung merasakan sesak di dadanya, ia belum mau kehilangan sang papa mengingat ia masih berumur SMP. Otaknya sedari kemarin penuh dengan banyak wasiat sang papa mengenai perusahaan. Namun, yang ia mau bukanlah perusahaan.
"Papa, Jisung gak mau perusahaan. Jisung maunya papa sembuh......" Pria remaja itu tak mampu lagi melanjutkan perkataannya.
Sang papa tersenyum di tempat duduknya, tangannya terulur mengusap surai pria sang anak. "Jisung, jadilah pria kuat nak. Kau, adalah calon penerus cita - cita papa, jaga kakak dan mama jika pada akhirnya papa sudah tidak diberi kesempatan untuk melanjutkan perjuangan papa lagi ya."
Malam itu, keluarga Park menghabiskan air matanya. Sementara sang kepala keluarga terus menerus menyemangati mereka dengan senyuman manisnya. Pilu sekali.
"Papa, Jisung janji bakalan jadi anak yang baik buat mama sama papa. Jisung bakal belajar yang rajin. Buat papa bangga mama bahagia. Dan Jisung mohon, bertahanlah pa. Jisung mau mama dan papa masih ada bahkan ketika Jisung sudah punya anak dan cucu. Pa, Jisung sayang papa. Sumpah demi apapun Jisung gak mau perusahaan, Jisung maunya papa sembuh total."
_________
Murung, itu yang dirasakan seorang pria dengan jaket yang melapisi seragam sekolahnya. Wajahnya sedari tadi menunduk menatap pemandangan dari atap sekolahan.
"Are you okay?" Seorang wanita mendekatinya membuat pandangannya beralih menuju wanita tersebut.
"Iam okay, just see the view from here" Jisung berusaha tampak baik - baik saja meskipun sebenarnya hatinya masih berduka atas ucapan ayah semalam.
Perempuan di sebelahnya tersenyum memandang Jisung cukup dalam. "If you have a problem just tell me. Aren't we already friends?" Mata biru itu masih memandang setia Jisung dengan lekat membuat pria itu membalasnya dengan senyumnya.
Kembali pria itu menggeleng sampai pada akhirnya bunyi bel tanda masuk kelas terdengar nyaring di telinga. Jisung berdiri dari posisi duduknya, memasukkan kedua tangannya kedalam saku jaket. "I went to class first, Ariel, thank you for caring for me." Setelah mengucapkan perkataan tersebut Jisung melangkah pergi meninggalkan gadis berkebangsaan Amerika itu mematung sendirian di tempat ia berdiri. Gadis itu hanya mengangkat kedua bahunya, entah mengapa Jisung berbeda dari semua pria. Ia sangat pemalu dan irit bicara, padahal Ariel hanya ingin berteman. Ah, mungkin saja ada hati yang sedang Jisung jaga.
Memasuki pelajaran bahasa mandarin. Jisung memperhatikan seksama apa yang sedang guru tulis di papan tulis.
黄Huáng
"Baik anak anak ini bacanya apa?"
Huang
Marga Ng atau dalam bahasa Mandarin disebut dengan Marga Huang [黃氏] adalah salah satu marga Tionghoa terbesar di dunia. Menurut jumlah populasinya di daratan Tiongkok, Marga NG (Huang) menempati urutan ke-8. Sedangkan Marga Ng (Huang) merupakan marga terbesar ke-3 di Taiwan. Dalam buku ratusan Marga Tionghoa (Bai Jia Xing), Marga NG (Huang) berada di urutan ke-96. Dalam sebutannya, Marga Huang [黃氏] juga disebut dengan Marga NG dalam dialek Hokkien dan Teochew, sedangkan dialek Kantonis menyebutkannya “Wong”.
"Huang Ferlyn," kekeh Jisung dengan suara yang sangat pelan.
"Barusan Jisung mau bilang apa?" Pertanyaan sang guru membuat lamunan Jisung buyar. Pria itu seketika gelagapan.
"T...tidak pak hanya teringat teman yang memiliki marga Huang."
🌙 Verus Amor 🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
Verus Amor || Park Jisung || END
Hayran KurguNCT FANFICTION || PARK JISUNG "Gue gak peduli mau dikatain selera culun, yang penting gue cinta sama Lo." Ferlyn Park Ji Sung Huang Ferlyn 🌙 Verus Amor 🌙 @RamadaniWna