32 - Pulang

124 3 0
                                    

Sudah tiga hari gara dirawat, selama itu pula mika merawatnya antara ikhlas dan tak ikhlas. Seperti saat ini gara berupaya memaksa pak bram untuk memperbolehkan dirinya pulang, gara tak tahan lagi dengan suasana rumah sakit.

"Pah... Gara itu udah sembuh" rengek gara yang masih diatas brankar.

Pria paruh baya berkulit putih itu tetap kekeh dengan putusannya, "Gak. Pokonya kamu masih harus di sini," tolak pak bram, kini tatapannya tertuju pada mika yang tengah mendampingi gara, "Mika tolong suruh pacar kamu jangan ngerengek minta pulang! The stab wound took several weeks to heal." Beber pak bram.

"Miki....," Panggil gara, mika menoleh kembali pada gara "jangan dengerin papa yah, bilang ke papa. Kalau gue sudah sembuh" printah gara.

Sementara itu mika dilanda kebingungan, antara memihak kepada gara atau pak bram.

Mika memberanikan diri untuk membela gara, menurutnya jika gara tidak dirawat di rumah sakit ia tidak usah repot-repot harus pergi ke rumah sakit sepulang sekolah.

"Kata dokter, gara boleh kok dirawat di rumah," ucap mika "Maaf aku lancang, sebaiknya Om tolong turutin kemauan gara." Tambahnya.

"Jadi gitu," sahut pak bram seraya mengagumkan kepalanya. "Maunya kamu mika sebagai pacar anak saya apa? Ingin gara tetap di hospital atau pulang?" Tanyanya kembali.

"Pulang." Tegas mika.

Gara tersenyum lebar, "Lihatlah Mr. bram, mika lebih memihak pada anakmu" sungut gara bergebu-gebu penuh kemenangan.

"Papa tetap gak izinkan kamu pulang." Tegas pak bram, kemudian berdiri dari duduknya.

"Pah... Gara gak betah lama-lama di RS, papa please ngertiin gara dong" sela bu sekar.

Bu sekar berdiri dari duduknya, detik kemudian tangannya menepuk pelan pundak suaminya, "Donn't worry." Tutur bu sekar.

Suaminya itu memanglah overprotektif jika berurusan dengan keluarga, meskipun begitu pak bram sangat peduli terhadap kesehatan gara.

Mengingat anak laki-lakinya saat masih menduduki kursi SMP pernah dilarikan ke rumah sakit karena kejadian tauran antar pelajar SMP, dan akibatnya kepala gara harus dijahit.

"Baik papa izinkan." Ucap pak bram mengiyakan.

***

"Gue harus pulang." Ucap mika.

Gara menghentikan aktivitas makannya, "Biar supir gue anterin lo pulang" sahut gara, tangannya bergerak pada saku celana jeansnya.

Gara menggenggam handphone, ia akan menelpon bang hayat untuk menghantarkan mika pulang.

"Gak perlu, gue udah pesen ojol" tolak mika.

Tangan gara menaruh benda pipih yang dipengangnya pada meja makan kantin rumah sakit, "Lain kali jangan gitu"

"Udah buru abisin makanannya" Ketus mika.

"Gue gak nafsu makan." Balas gara tak kalah dingin.

Mika menghembuskan nafas gusar, "Ayo" ajak mika yang kini sudah berdiri.

"Kemana?"

"Balikin lo ke nyokap bokap lo!" Sahut mika kemudian mendorong kursi roda yang diduduki gara.

***

"Yaudah pulangnya hati-hati," ucap Bu Sekar. "rencananya sih Tante mau ajak kamu ke rumah tapi, yah udah deh kalau kamunya pengen pulang" imbuh Bu Sekar.

Mika tersenyum ramah, "Iya Tante nanti mika ke rumah" sahut mika.

"Harus dong, kamukan belum pernah main ke rumah Tante" seru Bu Sekar.

"Udah pernah, tanya aja bang gara" bukan mika lah yang menjawabnya tetapi Vivi bocah yang sedang duduk tenang di belakang dirinya.

Bu Sekar sontak menoleh kepada gara yang duduk di kursi roda, "Benar Abang bawa perempuan ke rumah?" Tanyanya.

"Bener kok." Jawab gara tenang.

"Tuhh kan!" Seru Vivi dibalik sana.

Bu Sekar menatap lekat mika, "Mika?" panggil Bu Sekar.

Mika mulai panik ia berusaha menghirup udara panjang, "Ah, iya?"

"Kapan-kapan main lagi ke rumah kalau bisa besok malam kita dinner!"

Mika membeo, ini tidak seperti dugaannya. Lalu mengapa ia menjadi akrab dengan keluarga gara, ini bukan tujuannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SALENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang