Ayahnya bekerja dengan pikirannya, sekalipun tangannya terlihat menganggur. Elko masih memercayai mukjizat kecil, kekuatan pikiran yang mengatasi keterbatasan fisik, karena mind over matter dipercaya bukan semboyan omong kosong, seperti dibuktikan ayah Elko yang otot-otot tangannya sudah tidak berfungsi belakangan ini. Sepertinya baru kemarin ayah Elko berkutat dengan solder listrik.
"Ayah sedang mereparasi elektronik?"
Pertanyaan Elko yang sama setiap menyapa sang ayah, disambut sang ayah dengan senyuman sukacita, tangannya mengibas lemah, tanda agar Elko mendekat padanya. Lengan ayahnya tidak lumpuh, hanya otot-otot telapak tangannya yang tak berfungsi. Acap kali Elko mengira lengan ayahnya seperti lengan palsu di masa lalu, lengan dari kayu yang sekadar imitasi, jari-jarinya lunglai seperti maneken di pusat perbelanjaan, gedung megah yang punah dari daratan kami dua ratus tahun lalu, sesudah dunia dilanda perang nuklir tingkat paling tinggi.
Elko tahu soal maneken di pusat perbelanjaan, atau manusia masa lalu menyebut gedung tinggi itu mall. Sebuah majalah bekas dari sembilan puluh tahun lalu membahas kenangan gedung-gedung mall teramai dan termewah di penjuru negeri, termasuk Grand Plaza Jakarta yang dianggap termegah di antara semuanya.
Semua gedung-gedung jangkung sudah tenggelam di dasar lautan. Maaf, maksudnya puing-puing gedung itu yang terbenam, hanya menyisakan nama besar dan gambar-gambar bisu, saksi kejatuhan peradaban modern di daratan bumi. Kini, manusia-manusia di daratan hidup prihatin, sebagian besar bertahan sebagai pemulung yang berkekurangan dalam segalanya. Termasuk miskin dalam soal kepuasan batin.
Lampu di ruang kerja ayah Elko temaram, hanya lampu delapan watt yang kuno dan kecil, dinyalakan atas nama penghematan listrik. Sinarnya bahkan tidak menyorot separuh ruangan, menciptakan kemurungan di sudut-sudut terselubung debu pekat. Ayah Elko tak mengizinkan siapa pun menyentuh kamar kerjanya. Suatu ruang sempit 3 x 3 meter, meski sinar matahari tidak masuk dari jendelanya, ruang ini hangat pada malam bersuhu ekstrem sekalipun.
"Lihat, Elko, elektronik-elektronik ini sudah seperti teman senasib ayahmu. Tapi mereka nampak jauh lebih baik bersaput debu, kan?" Ayah Elko mengangguk riang pada putranya.
Kecacatan yang diterima dengan ikhlas, bahkan perkataan ngawur ayah Elko sebetulnya optimisme yang mengharukan. Ayahnya tak menyentuh elektronik rusak dan membiarkannya berdebu, karena suatu hari kelak, tangan ayahnya sendiri yang akan mereparasi semuanya. Aku yang memulai, maka aku yang membereskannya hingga selesai. Prinsip hidup tak terpatahkan itu menular pada Elko yang keras hatinya.
Elko tersenyum, menekan lampu lima belas watt yang compang-camping. Lampu belajar yang ditemukan di antara rongsok sampah dan direparasi ayahnya, semacam lampu darurat yang cuma dinyalakan secukupnya untuk perbaikan elektronik yang lebih rumit.
"Yah, dulu kita pernah sama-sama memperbaiki elko di televisi kita. Ayah ingat, kan?"
Terngiang kenangan satu tahun lalu, ayahnya memberi instruksi dengan tegang, sementara Elko memegang elko yang lain, ini elko dengan huruf "e" kecil, suatu komponen pada mesin universal televisi tabung, dan dicurigai kerusakan ada pada power supply-nya.
"Elko, coba ukur dengan multitester analog, pada skala 250 Volt DC, kamu cek kaki elko yang besar. Tivinya kamu on-kan lagi. Ayo, coba diukur." Ayah Elko memerintahnya ketika itu.
"Jarumnya menunjuk tinggi, Yah." Elko menjawab.
"Nah, biasanya tegangan normalnya 300 volt. Coba pakai skala 1000 Volt DC. Lihat jarumnya melonjak atau tidak."
Elko memekik berlebihan. Meski usianya empat belas kala itu, caranya bermanja pada sang ayah adalah bertingkah serupa anak balita. "Woww!! Di tegangan 1000 Volt DC, jarum juga melonjak naik, Yah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Incantadom
FantasyTahun 2222 Dua ratus tahun setelah tahun kematian umat manusia. Kasta manusia terbagi menjadi angkasa, lautan, dan daratan. Tiga kasta yang diciptakan keserakahan manusia penguasa, sampah menjadi satu-satunya sumber daya bumi yang tersisa. Seorang E...