Quintin dan Griffin (14)

26 3 0
                                    

Hari perpeloncoan berikutnya ibarat penyiksaan untuk "si kembar dua" Quintin dan Griffin. Mereka masih juga rancu antara PETE dan PP, lembaran plastik yang sepintas sama tembus pandang, tetapi kekuatannya punya perbedaan besar. PETE alot, PP sifatnya getas. Getas artinya rapuh dan mudah hancur, seperti kursi plastik yang terpapar panas ekstrem, akan remuk dengan gampangnya, bahkan ketika kamu cuma mengusapnya perlahan.

Mental manusia juga tak sama kekuatannya. Bila Quintin yang irit bicara mengaku bermental baja, Griffin lebih lembek dan rapuh semangatnya. Walaupun periang tingkah lakunya, tetap tak menutupi kenyataan bahwa jiwanya masih labil, pasang surut antara optimis atau pesimis, antara antusias atau patah arang menghadapi bahan praktikum yang tiada habisnya untuk diteliti.

Ujian praktik saringan beasiswa yang lalu, mereka, Quintin dan Griffin, memperoleh bantuan bocoran dari Elko. Lalu Griffin mencontek Quintin, atau tepatnya Quintin yang tanggap membantunya memilah PETE dan PP yang sama-sama bening kelihatannya itu. Nah, masalahnya untuk perpeloncoan siswa baru, semua murid diarahkan untuk bekerja sendiri-sendiri, dan si prefect galak, Turin namanya, turun tangan menertibkan jalannya praktikum, di samping tiga guru pembimbing - si serangkai 3K, Kiian, Karol, dan Klara - yang mengawasi murid seketat mengawal pemungutan suara pemilihan presiden.

Coba seandainya aku satu grup dengan Elko, pasti akan lebih gampang perkaranya. Aduh, lembaran plastik ini kan belum hancur, jadi cara membedakan alot dan getas itu bagaimana, ya? Griffin membatin kesal, melirik ke arah Elko yang tak terlalu jauh darinya, dan terlihat santai dan cekatan memilah dari keranjang besar ke sejumlah keranjang-keranjang lebih kecil.

Sekilas Elko nampak menggesek-gesekkan lembaran plastik dan mendengarkan bunyinya. Griffin mencontoh cara kerja Elko, tetapi masih tidak berhasil. Berlagak izin ke toilet, Griffin menjurus mampir ke tempat Elko, yang menempati bangku bundar berkaki pendek dan memasang telinganya pada setiap lembar plastik yang dipisahkannya. Ia sangat fokus hingga terperanjat manakala digamit oleh Griffin.

"Hullo, Elko. Aku masih tak bisa bedakan plastik PP dan PETE. Tolong aku, dong." Griffin membisikinya hati-hati, kebetulan Turin tengah memunggungi mereka sejenak.

"Bedakan dari suaranya. Suara PP kresek-kresek mirip derau radio tua. Kamu pernah kan dengar radio yang susah sinyal?" Elko berbisik buru-buru, berusaha tak kentara memberi contekan bagi Griffin.

"Derau radio itu memang seperti apa, ya? Waktu ujian praktik beasiswa, punyaku dipilah oleh Quintin, itu pun banyak juga yang salah. Aku benar-benar buntu kerja sendirian, nih." Lupa merendahkan suaranya, Griffin menarik perhatian Nolan yang menyikutnya dari belakang. Kebetulan si gadis lewat untuk mengantarkan keranjang pilahan sampah ke tempat penilaian akhir.

"Sikutanmu itu lho, kasar sekali, Nek. Bisa sopan dikit gak sama laki-laki?" Griffin menyalang dengan lagak galak yang malahan kocak kelihatannya.

Nolan mencebik sekilas, dan isyarat ini terlambat menyelamatkan Griffin yang berhadapan muka dengan Turin yang menjulang. Selain jangkung dan lumayan gempal, Turin punya ekspresi muka yang membuatmu terpana tak berkata-kata. Griffin yang bicaranya lebih deras dari muntahan peluru hanya dapat melongo, sadar bahwa nasibnya jauh lebih buruk daripada tumpukan sampah yang menggunung. Diliriknya murid-murid kelas satu lainnya yang duduk berjauh-jauhan, agaknya mereka acuh tak acuh pada Griffin yang tertimpa kemalangan. Alhasil, si malang Griffin mengulas senyum lemah pada Turin yang membalasnya dengan seringai keji.

"Begitu rupanya. Jadi kalian dua bersaudara saling mencontek sejak ujian beasiswa, heh? Temuan yang sangat menarik. Ayo, kamu dan kakakmu ikut aku sekarang juga." Turin segera menjatuhkan "penalti mati" tanpa dapat diganggu gugat.

***

Quintin dan Griffin merasa sekujur tubuh mereka kotor bukan main, karena pria berambut rimbun minim uban meneliti kedua bersaudara ini bak kurator benda prasejarah yang perfeksionis. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, rasanya tak ada yang terluput dari pantauan mata bersinarnya. Master Nostrudalle punya sepasang mata cemerlang, seakan mirip cermin yang merefleksikan semua cahaya yang ada di sekitarnya. Bahkan pupil matanya ibarat suryakanta mungil, kaca pembesar lensa cembung yang mengumpulkan sinar menjadi titik fokus yang menghanguskan.

IncantadomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang