Incantadom (5)

37 4 0
                                    

Akhirnya hari H yang ditentukan bagi Elko tiba juga. Hari penentuan ujian beasiswa, Incantadom, School of Magical Junkyard yang menghebohkan, karena terbetik wacana penutupan sekolah bila kuota 50 murid baru tidak terpenuhi semua. Siapa lagi pelakunya kalau bukan sang presiden di kota lautan, yang menampakkan mukanya cukup dalam rupa thumbnail, foto seukuran dua jempol pria dewasa.

Mungkin dia seorang pria cebol, demikian Elko berpikir, oleh karena itu tubuhnya tak pernah ditampakkan jelas-jelas.

Elko mendesah, matanya memejam agar pendengarannya dapat dipertajam. Di sekitarnya berdiri seratusan murid pelamar beasiswa, dan tak ada satu pun yang dikenalnya. Sahabat-sahabatnya di SMP sebagian besar memulung sampah, tidak berminat bersekolah setelah kelulusan, karena rata-rata membantu orangtuanya menopang nafkah keluarga.

Ibunya sekali lagi benar. Trik jitu membedakan kantong plastik PETE dan PP adalah dari suara gesekannya. PETE dan PP sama-sama bening, agak sulit dibedakan secara kasat mata. Cara termudah adalah penggesekan karena Elko menyadari suara plastik PP menyerupai derau bising radio bila diremas-remas. Entah itu berlaku untuk telinganya saja atau bukan, namun bagi Elko tak ada lagi yang lebih jitu dari mengandalkan pendengarannya.

Gerbang utama Sekolah Incantadom tak ubahnya pagar menuju zona perang atau pembatas dari ladang ranjau yang penuh pencobaan. Barb wire atau pagar kawat duri yang dipasang rapat menjulang, dengan sebuah pintu kaca putar di tengah-tengahnya. Beberapa siswa dapat masuk bersamaan, tetapi jumlahnya terbatas tiga orang saja. Untuk memasuki gerbang pun perlu mengantre dengan sabar. Sekolah ini berasrama, maka mereka bakal tinggal di dalam lingkungan sekolah bila diluluskan ujian beasiswa kali ini.

Berbarengan dengan dua siswa perempuan, Elko menghampiri pintu putar kaca, bagaikan pintu jebakan yang memerangkapmu dalam ruangan kaca berputar, mirip wahana hiburan yang eksis dua abad lalu di Indonesia. Majalah yang dibaca Elko benar, berputar-putar dalam ruang dinding kaca membuatmu pusing berkunang-kunang.

Elko akhirnya menempelkan jempolnya di sebuah panel polimer kayu, bertuliskan PRESS HERE, dan jebakan pintu kaca diakhiri dengan membukanya pintu ke arah lapangan yang lapang dan gundul. Agaknya panel kayu plastik tadi menyimpan rekaman sidik jarinya, yang diserahkan cetakannya berikut formulir pendaftaran tempo hari. Tanpa sidik jari yang cocok, orang yang nekat menyusup masuk cuma berputar-putar di jebakan pintu kaca, tanpa hasil tentunya selain pusing-pusing tak tertahankan.

"Baru kali ini aku melihat gedung yang begitu membumi. Sungguh tiada duanya, ya."

Suara siswa perempuan mendorong Elko menoleh. Remaja putri seusianya, cukup tinggi dan langsing, berhidung mancung, berbibir tipis dan alisnya kecokelatan, nampak ciri etnis kaukasia dan kulitnya sangat terang dibanding Elko yang kuning langsat. Dia tidak tampak seperti orang daratan, Elko menggumam dalam hati.

Setiap orang di daratan tidak bercirikan ras atau kesukuan tertentu. Mereka rata-rata berkulit kuning dan berambut hitam pekat. Hidung dan rahang mereka tidak lancip ataupun tegas, boleh dikata mereka punya fitur wajah serba tumpul. Rata-rata mereka berwajah lonjong atau tirus, sebagian lagi bulat seperti profil paras Elko yang kekanakan. Kebetulan alis Elko tebal dan memanjang, serasi dengan keningnya yang lebar.

"Halo, apa kabar? Apakah kamu bukan dari daratan?" Elko memberanikan diri menyapa si siswi berkulit alabaster, berharap-harap apakah si siswi orang dari kota lautan.

"Kok kamu bisa tahu, sih? Apa aku tidak kelihatan membaur di sini?" Si siswi menipiskan bibirnya, senyum mesem yang terlihat begitu manis.

"Jadi benar kamu dari lautan sana? Eh, maksudku dari kota laut?"

"Boleh dibilang gitu. Aku pindahan dari sana. Ternyata di daratan bumi situasinya asyik dan seru juga, ya." Si gadis mengedarkan tatapan riang gembira.

Perkenalan mereka terpotong protokol ujian beasiswa. Digelar sehari sesudah tes masuk untuk murid non beasiswa, nyatanya ujian ini diikuti cukup banyak siswa yang parasnya tegang seluruhnya. Ketegangan yang mengetatkan urat dan saraf tubuh, lebih-lebih seorang guru bersuara bak pengeras megaphone mendentumkan sapaan selamat datang.

IncantadomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang