6

17.7K 925 3
                                    


Kita tidak akan pernah tahu berapa banyak waktu yang kita miliki di bumi, oleh karena ituKelana mencoba untuk tidak sia siakan waktu yang terbatas itu. Saat ini Kelana sedang berdiri di halaman rumah Mbah Uti dan Mbah Kakungnya.

Matanya memanas menyaksikan pemandangan Kakungnya dengan sabar menyuapi Utinya yang terkena stoke tahun lalu. Bahkan saat ini pria tua itu membersihkan sekitar mulut Utinya yang berantakan karena makanan.

Kelana menggigit bibirnya menahan tangis, beruntung Utinya mendapatkan pria yang mencintainya dan setia hingga tua. Kakungnya dengan sabar dan telaten merawat Uti yang saat ini sudah tidak bisa berjalan, jika kemana mana harus dibantu kursi roda.

“Selamat Pagi Uti, Kakung.”

Kelana menyapa orang tua dari ibunya itu, wanita itu menapilkan senyuman lebarnya.

“Lho kok engga bilang bilang kalo ke sini.” Kelana mencium tangan Kakung dan Utinya. “Kakung engga masak, Mbak Sri juga libur hari ini. Tadi kakung beli sayur mateng di depan.”

“Kelana ke sini mau ketemu Kakung sama Uti, kangen. Bukan mau minta makan.”

Kelana duduk berjongkok di depan kursi roda Utinya, wanita 26 tahun itu menatap wajah Utinya yang semakin tirus. Memang Elizabeth bercerita jika Utinya tidak napsu makan akhir akhir ini.

Kelana meletakkan kepalanya di pangkuan Utinya, hampir sebulan mereka tidak bertemu. Uti mengelus lembut kepala cucunya dengan tangan kanannya yang masih bisa ia gerakkan.

“Kakung, biar Kelana yang lanjutin nyuapin Uti. Kakung sarapan aja sana,”

Kakungnya memang selalu memprioritaskan istrinya, ia baru akan makan jika isrinya sudah ia suapi dan minum obat.

“Nanti deh, sebentar lagi.”

“Kakung itu harus jaga kesehatan lho. Makan teratur, jangan lupa vitaminnya juga diminum. Jangan sampe sakit. Vitamin yang Kelana beliin kemarin masih? Kalo udah mau habis bilang yaa.”

“Ckckck..kamu itu kalo ngomel mirip banget Mamamu.” Kakung berdecak, geleng geleng kepala mengingat anak perempuannya jika sudah ngomel merepet mirip petasan.

“Lho ya jelas, kan anaknya.” Kelana tertawa.

 Kelana gantian menyuapi Utinya dengan telaten. Wanita itu ingat sewaktu kecil dirinya lah yang disuapi oleh Utinya. Waktu berjalan dengan cepat, saat ini dirinya sudah dewasa sedangkan Utinya semakin tua.

“Kung, kenapa pohon rambutannya ditebang?” Kelana menyerngitkan dahinya ketika pohon rambutan di depan rumah itu sudah tidak ada.

“Kemarin hujan deres, ada dahan yang hampir kena genteng rumah. Ingat engga dulu kamu sering manjat pohon di depan rumah?” Kakung bernostalgia sewaktu Kelana kecil.

“Inget lah, dulu kan aku suka banget manjat. Sampe dahan pohon yang pendek pada Kakung tebang biar aku engga manjat manjat lagi.” Kelana tertawa mengingat kelakuannya, Kelana kecil hampir mirip dengan si bolang yang dahulu tayang di televisi. Mungkin memang sebenarnya ia terinspirasi dengan acara televisi itu, oleh karena itu ia suka berpetualang.

“Tapi tetep aja kamu suka manjat manjat. Dulu kamu dipanggil titisan kera sakti gara gara betah banget nangkring di pohon, masak bisa berjam jam sampe ketiduran di atas pohon. Itu kalo kamu ngglinding kan repot.”

“Lho dengan Kakung motong dahan dahan yang rendah, skill manjat aku malah jadi meningkat. Kan aku jadi semakin terlatih buat manjat pohon yang tinggi-tinggi.”

“Lha kamu itu emang perempuan jadi jadian. Waktu kecil sering dipakein rok sama Mamamu, tapi kelakuan kamu manjat-manjat pohon. Bbahkan sepupumu yang cowok aja pada anteng, engga begajulan kayak gitu.”

Kelana tertawa, memang sejak kecil ia terlalu aktif dan sering membuat orang tua serta keluarganya pusing tujih keliling dengan kelakuannya.

 

o0o

 

Kelana melemparkan tubuhnya ke sofa ruang keluarga. Di sampingnya ada Darius yang tadi sibuk menonton berita sembari mengawasi cucunya yang sedang bermain puzzle.

“Dari mana Dek?” Darius menoleh ke anak keduanya itu.

“Rumah Uti, pegel Pa.”

“Lah habis ngapain emang?” Darius menarik kaki Kelana dan diletakkan di pangkuannya, pria itu memijat kaki putrinya itu.

“Bersih-bersih rumah Uti, sama belanja. Mbak Sri ternyata beberapa hari ini libur. Kasian Kakung ngurus Uti sendirian ditambah beres beres rumah, pasti keteteran. Jadi tadi Kelana belanja bahan makanan yang gampang diolah, sama nyapu, ngepel, nyuci.”

“Pinternya anak Papa,” Darius memberi kecupan di puncak kepala putrinya. Pria itu kadang lupa jika Kelana sudah dewasa, bukan anak 5 tahun lagi. “Tapi kok Kakung engga ngabarin kalo Mbak Sri libur, 2 hari yang lalu Mama sama Papa habis ke sana. Lah kamu naik apa? Kok Papa engga denger kamu dateng.”

“Ojek online, mobil baru masuk bengkel.”

Elizabeth melotot melihat anak perempuannya yang saat ini sedang duduk di ruang tamu rumahnya.

“Baru inget kalo masih punya orang tua? Inget jalan pulang? Sebulan kelayapan, jarang ngabarin! Engga tau orang tuanya di rumah khawatir apa!” Elizabeth menjewer telinga Kelana, anaknya itu langsung mengaduh.

“Aduh..duhhh….duhhhh…..sakit Ma, nanti tak bilangin Kak Seto loh.”

“Kak Seto engga ngurus kamu yang udah tua kayak gini!” Kelana langusng mengerucutkan bibirnya, sembarangan Mamanya ini. Mana ada Kelana sudah tua, ia itu dewasa bukan tua, tolong dicatat!

“Ma, udah jangan gitu ah. Kalo engga ada di rumah aja dikangenin. Giliran Kelana udah di rumah malah dimarah marahin.” Darius mencoba melerai anak dan istrinya.

“Cieeeee, Mama kangen Kelana? Utututuuu, sini peluk sini pelukkk!” Kelana merentangkan tangannya bersipan memeluk Elizabeth, namun wanita itu malam menjauh dan memilih duduk di karpet bersama dengan cucunya.

Kelana cemberut ketika pelukannya tidak disambut oleh mamanya. 

“Sini peluk Papa aja.” Darius lah yang akhirnya menyambut pelukan Kelana, dan akhirnya wanita itu merasa tenang berada di dekapan papanya.

“Onty, jangan peluk peluk Yangkung Nico!” Nahh keponakan Kelana mengamuk melihat Darius memeluk wanita itu setelah sebelumnya Nico puas bermain puzzle.

“Ihh ini punya Papa Onty. Terserah Onty lahh!”

“Ihh Yangkung Nico engga boleh deket deket!”

Balita itu berdiri, berkacak pinggang dengan mata melotot. Kelana yang sudah lama tidak menggoda keponakannya pun kangen membuat anak itu mencak mencak.

“Udah sini, peluk Yangkung bareng-bareng sama Onty.”

Nico pun berjalan menghambur memeluk Darius dengan mulut mengerucut dan dahi mengkerut menatap Kelana tak suka.

“Dasar Onti onta!” Nico mengejek Kelana, lalu menjulurkan lidahnya.

“Sembarangan! Onty pecat jadi keponakan ya kamu, biar Onty cari keponakan yang lebih baik, rajin menabung, dan tidak sombong. Engga kayak Nico.”

“Mana ada anak yang lebih baik, lebih rajin menabung, dan lebih tidak sombong dari Nico.” balas Nico jumawa yang membuat mulut Kelana terbuka kehabisan kata kata. Keponakannya ini memang super duper narsis dan kepedean.

“Ohh iya Dek, pas kamu pergi ada cowok yang cari cari kamu. Beberapa kali ke sini, siapa Pa namanya?” Elizabeth mencoba mengingat ingat pria tampan bermata abu abu yang beberapa kali datang ke rumahnya mencari Kelana.

“Leon. Dia siapa kamu Dek?” Darius menatap tajam putrinya. Kelana tertegun melihat perubahan raut wajah Darius yang mendadak datar dan terkesan dingin. Leon tidak berkata aneh-aneh pada kedua orang tuanya kann?

Lagi pula untuk apa pria itu mendatangi rumahnya!?

 








 

KELANA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang