Kenapa aku cuma jadi seorang pelayan?!
Awalnya, aku memang merutuk nelangsa begitu. Jujurnya, itu cuma bercanda. Kalau ada alasan lain, syok belaka adalah jawaban. Seperti, memangnya kau bakal langsung terima dengan senang hati, bahwa kehidupan keduamu ditakdirkan buat melayani kehidupan orang lain?
Nah, tapi Putri Lenavern bukan orang lain.
Dan aku bukan cuma seorang pelayan.
Tidak ada kerajaan yang tidak membutuhkan pelayan—kecuali kerajaan terbuang yang ditinggalkan, ya, tapi ini bukan waktunya mempermasalahkan hal-hal di luar jalur. Begitu pula Kerajaan Raharnias yang menaungi tokoh utama novel Chaos Crown ini. Bedanya, di Kerajaan Raharnias, jajaran para pelayan yang dipekerjakan jauh lebih berlapis-lapis dari yang bisa diperkirakan.
Kelompok pertama, yang paling tampak di permukaan, adalah Pelayan. Mereka bekerja seperti, yah, pelayan pada umumnya. Bersih-bersih, beres-beres, mengurursi dapur, dan tugas-tugas pelayanan yang biasa. Meski begitu, tiap perekrutan, peminatnya tetap banyak karena gaji terjamin. Selama ketekunanmu juga terjamin, sih.
Kelompok kedua, adalah Pengawal. Mereka yang umumnya dibagi-bagi masuk pasukan secara luas, orang-orang yang seragam kerjanya adalah zirah. Kalau keadaan sedang baik-baik saja, aturan kerajaan tidak bakal menyiksa mereka dengan ketentuan zirah lengkap yang seberat dosa-dosa pemakainya. Menyandang senjata kerajaan, kebanggaan dan tanggung jawab mereka adalah penjagaan keamanan. Jumlahnya paling banyak, dan koordinasi mereka juga mencakup jalan-jalan mencegah kekacauan di kota.
Terakhir, yang ketiga, adalah Pramu. Kelompok paling rahasia yang mengabdi kepada kerajaan, dan secara khusus, kepada Putri Lenavern. Ini adalah kelompok yang dibentuk sendiri oleh sang Putri—diam-diam tapi resmi. Pramu berjumlah lima, dan aku salah satunya. Dua lagi laki-laki, dua sisanya perempuan. Semua Pramu direkrut sendiri oleh Putri Lenavern.
Aku, Narai, bukan Pramu yang pertama, tapi akulah yang paling setia.
Baiklah, kesampingkan dulu fakta satu itu. Selama ini, membaca Chaos Crown berulang kali, aku berusaha mencari persamaan istilah untuk Pramu. Kejutan, tidak ketemu.
Mau bagaimana lagi? Pekerjaan Pramu seperti mata-mata yang mengabdi secara rahasia. Tapi sehari-hari, pekerjaan pura-pura kami juga bisa membuat jungkir balik. Kalau keadaan sedang baik-baik saja, kami memang bisa sedikit menyombong akan derajat yang lebih tinggi diakui oleh sang Putri. Meski, hanya masing-masing dua orang dari kelompok Pelayan dan Pengawal yang mengetahui identitas para Pramu dengan pasti.
Kembali soal pekerjaan, bahkan bukan cuma mata-mata. Pramu bisa merupa assassin, pembunuh bayaran. Atau kurir rahasia. Atau pendamping pesta-pesta. Malah, kalau disandingkan dengan jabatan dalam tatanan kerajaan lain, Pramu selevel dengan para Kesatria pribadi putra-putri kerajaan.
Yah, ini membingungkan, jadi ada baiknya tidak perlu lanjut dipikirkan. Pramu, ya, Pramu. Para abdi yang diwajibkan serba bisa, yang berarti juga bisa menjaga rahasia tentang segala-galanya sampai mati.
“Narai, kau melamun lagi,” tegur sebuah suara merdu. Jauh, jauh di dalam diriku, ada yang membenak, aku mengenalinya. “Kau bakal habis kalau aku Remikha, tahu?”
Jemariku yang kaku berhenti menganggurkan gunting. Bunyi kres pun memecah lamunan, disambut patahnya sepotong ranting perdu ke genggaman tangan kiriku. Aku memasukkannya ke dalam karung yang mulutnya dibentangkan oleh seorang gadis di sebelahku. Jemari lentiknya tidak membutuhkan sarung tangan, dan jari-jemari itu jauh lebih piawai berurusan dengan tanaman dan binatang lebih dariku. Lebih dari siapa pun.
“Makanya,” Satu lagi kres, dan kres. “Syukurlah kau bukan Remikha.”
Gadis itu tertawa ringan. Andai ada keadaan yang mengharuskan salah seorang Pramu menyamar menjadi Putri Lenavern, aku tahu dia bakal sempurna. Dia Embuni. Gadis yang berperangai serupa sungai—mengalir. Helai rambut peraknya pun sehalus air, rambut yang selalu ditata dengan berusaha membayangi mata kanan. Aku sudah tahu alasannya, tapi Narai baru tahu nanti. Oh, ya, jangan salah. Meski penampilan Embuni lebih menyerupai seorang putri sendiri ketimbang menjadi salah satu abdi putri yang asli, dialah yang piawai meracik racun untuk membuat manusia mati dalam hitungan jari.
Embuni bukan tipe pendendam, tapi satu hal yang meresahkan, gadis itu sering membuat racun tanpa segera menyusulkan penawarnya.
Embuni, Pramu dengan pekerjaan sehari-hari sebagai herbalis. Meski kadang kala, dia lebih mirip tukang kebun dan budak kuda yang tahu caranya memanfaatkan rekan dengan stamina di atas rata-rata. Itu Narai. Alias aku.
“Remikha memang cerewet, tapi dia yang paling perhatian dengan kita, kan?” Embuni berujar dengan nada yang bukan membicarakan canda.
Beruntungnya kau, Remikha. Tanpa melakukan apa-apa, kau sudah dibela dengan manis oleh gadis ini.
Bicara tentang Remikha, ya—dia adalah salah satu Pramu lainnya. Malah, diceritakan dialah Pramu pertama yang direkrut oleh Putri Lenavern. Soal itu, Remikha tidak pernah angkuh. Jadi sifat menyebalkannya memang takdir bawaan lahir. Dia benci namanya jika dipenggal dua suku kata dari depan. Di awal-awal novel, aku menduga itu semata karena harga dirinya sebagai laki-laki tidak menyukai panggilan yang membuatnya mirip gadis manis. Lama-lama, aku tahu ternyata tidak sedangkal itu. Remi adalah panggilan yang menghantuinya dari ambang mati berulang kali.
Mengesampingkan masa lalu kelamnya, cerewet saja tidak cukup untuk menghina Remikha. Kadang-kadang, memang kasihan kalau dia terus yang dinistakan di antara Pramu. Tapi mau bagaimana lagi? Kalau kesanku, dia adalah sosok paling ekspreksif yang pernah ada. Di sepanjang cerita—senyuman, tawa, marah, sedihnya dan lain-lain cara emosi Remikha adalah yang paling khas.
“Dia perhatian dengan caranya sendiri, maksudmu?” Kres. Aku terkekeh. “Cara yang tidak keren sama sekali, ya.”
Kalau soal ini, Embuni tidak punya pilihan selain menimpali dengan tawanya sendiri. “Jangan berhenti menggerakkan tanganmu, Narai.”
Duh, manis sekali caranya mengingatkanku kerja. “Siap laksanakan.”
Setidaknya, yang satu ini tidak terasa seperti hukuman. Tanganku bergerak gesit sesuai permintaan Embuni, merapikan perdu di pelataran istana supaya tetap tumbuh sesuai kaidah keindahan. Aroma klorofil yang menyegarkan hampir membuatku tidak tega memangkas mereka, tapi aku tidak mau dianggap cari-cari alasan oleh nona tanaman di belakangku. Tidak ada main-main dalam perawatan tanaman di Kerajaan Raharnias. Tidak ketika kau berada di kerajaan yang berjulukan Kerajaan Musim Semi.
Selama ini, aku berusaha membayangkan sehangat apa tepatnya atmosfer yang diceritakan. Kini, aku benar-benar menghirupnya. Sungguhan, dan rasanya jauh lebih baik dari semua anganku. Angin segar rajin bertiup, menerbangkan aroma semerbak dari bunga-bunga yang mekar sepanjang tahun di sepenjuru kerajaan. Tak hanya bunga, tanah Kerajaan Raharnias terkenal ramah sebagai lahan pertanian serta perkebunan. Taburkan apa saja, dan tanah akan menumbuhkan segalanya.
Lalu, aku kaget sendiri dengan tanganku yang bagai bekerja terpogram otomatis selama berandai. Pantas saja teguran Embuni tak lagi menghampiri. Langkahku sudah menyisir perdu yang ditata memanjang dan bergumul nyaris tampak empuk, menyesuaikan dengan kres-kres di tanganku. Karung yang dibawa Embuni pun sudah penuh, dan gadis itu menyentakkannya untuk memastikan tidak akan ada yang tumpah. Ketika karung itu berpindah dipanggul di sebelah bahunya, dia tidak tampak kesulitan sama sekali.
Sekarang aku tahu betapa hebatnya itu saat melihat dengan mata kepala sendiri.
“Terima kasih buat bantuannya, Narai! Aku duluan.”
Sampai-sampai, aku hampir terlalu terlambat untuk menjawab, “Sama-sama!” sementara Embuni sudah berbalik pergi. Pasti mengurusi sekarung ranting perdu yang merupakan sampah biasa bagi orang lain, tapi tidak untuknya. Kalaupun itu cuma akan dijadikan pupuk organik, karena yang melakukannya Embuni, itu bakal melampaui apa pun yang bisa terpikir oleh orang lain.
Sementara, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menarik napas dalam-dalam dan meregangkan kedua lengan. Huh, menjadi Pramu memang bukan main-main. Andai aku pakai tubuh Raven, aku bakal remuk di hari pertama.
Kulepas napas yang mendebas. Mendongak, membiarkan pandang membentang jauh ke sepenjuru halaman istana yang semarak oleh kelopak bunga-bunga berwarna merah. Warna khas Kerajaan Raharnias. Ya, menjadi Pramu benar-benar melelahkan, tapi ....
Ini menyenangkan.
Aku tidak butuh hiperbola buat yang satu ini, karena rasanya memang sesederhana kata menyenangkan. Kesibukan terus menggerakkan kedua tangan, kaki, serta semua anggota badan. Dan aku tidak berjungkir balik sendirian. Lumayan disayangkan juga hari ini aku belum berpapasan dengan Pramu lainnya, Hancya dan Araistasi—dan Remikha.
Putri Lenavern.
Ya. Aku tidak akan pergi ke mana-mana.
Di sini, aku tidak perlu melakukan apa-apa. Bukan, bukannya mengabaikan kesibukan. Tapi aku hanya perlu melakukannya seperti seharusnya. Seperti bagaimana alur novel bercerita.
Tidak ada yang perlu kuubah. Alur akan berjalan sebagaimana mestinya.
Dengan begitu, happy ending yang menanti kelak pun tidak akan berubah.
Semua tokoh di sini pantas—jauh lebih pantas dan berhak, untuk mendapatkan happy ending, daripada manusia-manusia di dunia nyata.
Jadi, inilah tekadku.
Aku tak akan mengubah alur, sedikit pun.
Mereka berhak bahagia. []◇◇◇◇◇
Mari mampir ke karya Kak mayleailaria inii—bagaimana cara Ivana memperbaiki masa lalu yang begitu rumit dari sebuah lukisan?
Laluu, karya Kak nataliafuradantin inii—bagaimana perjuangan Yura sang CEO untuk keluar dari dunia buku?
Terakhir, karya Kak batiaratama inii—bagaimana Beno akan menguak semua ketidaktahuannya ter-isekai?
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Staring Happy Ending
FantasySudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya? Baiklah, bukan masalah. Tapi saat tokoh utama yang d...