Aku kenal seorang pria yang suka berkhayal. Dia pikir, sabuk yang selalu dipakainya rapi-rapi sepaket dengan dasi untuk kerja ke kantornya sama dengan cambuk. Saat murka, maka khayalannya dimulai, dan dipaksakan pada seorang anak yang menjadi samsak cambukannya. Meski ikat pinggang kulit yang koleksinya hampir selemari untuk ganti-anti itu favoritnya, kadang khayalannya juga berlaku untuk sapu, kemoceng, vas, dan benda-benda terdekatnya untuk dilemparkan. Apa pun yang bisa membuat samsaknya terluka. Babak belur, kalau bisa.
Aku kenal seorang wanita yang juga suka berkhayal. Dia pikir, dia bisa melakukan apa saja dengan kedua tangannya. Kedua tangannya bisa melakukan apa saja, dalam rangka membuat seisi dunia mengakui bahwa dia seorang yang benar. Dengan kedua tangannya yang sempurna itu, dia berusaha membasmi ketidaksempurnaan seorang anak. Tanpa senjata, dengan kedua tangan kosong dan langsung, dia melakukan apa saja yang dianggapnya benar untuk anak terkutuk itu. Menampar, memukul, menjewer, mencekik. Apa pun yang bisa membuat anak itu terluka. Sampai mampus, sekalian saja.
Samsak itu, anak itu, tumbuh bersama luka yang semakin penuh di sekujur tubuh.
Samsak itu, anak itu, mungkin menjadi terbiasa.
Tapi tidak akan pernah menjadi suka terluka.
Dia membencinya.
Aku benci terluka.
Gara-gara berpindah dunia sekaligus berpindah tubuh, aku terlupa. Sehebat apa pun Narai, tubuhnya tetap bisa terluka dengan rasa sakit yang sama. Begitu menyadarinya, aku merasa kembali menjadi Raven yang tidak berdaya. Aku bukan Narai yang tidak akan mati di pertarungan macam ini. Bego, tentu saja aku memang Raven yang tidak berdaya itu.
Aku bisa mati di sini.
Sangat, sangat bisa.
Mati di sini ... jadi, di alur yang baru setengah jalan ini?
Tunggu—aku tidak mau!
Kesadaran itu seketika berubah menjadi kepanikan. Berdentam-dentam di balik dadaku. Seakan waktu yang mencepat dan waktu yang melambat menabrakku dari dua arah. Hal terakhir yang kuketahui; aku meledak.
***
Setelahnya, tidak jadi mati. Soalnya aku bisa membuka mata lagi, dengan sekujur tubuh yang kaku karena penuh luka. Aku ingat, kok, kebegoanku yang menjadi kalap setelah satu luka yang mungkin bisa diejekmu cuma luka kecil. Biar kuanggap kau takut kecoak, lalu kau dijebak dengan seekor kecoak dalam white room—ha-ha, itu cuma seekor kecoak! Begitulah.
Kubilang aku tidak jadi mati, padahal kesadaranku masih separuh di alam mimpi. Yang perlahan menambatkan kesadaranku dari rasa terawang-awang tak berdaya, adalah suara air mata. Tentu saja maksudku itu suara tangis dalam isakan, tapi kedengarannya setengah mati ditahan-tahan, jadi yang bisa kubayangkan adalah betapa butir-butir air mata dari tangisan itu satu-satunya yang tak bisa ditahan untuk berjatuhan membasahi sisi selimutku.
Aku mencoba memanggil, "Manda...?"
"Uh-hh ... Rav-Raven?"
Suaranya penuh ketidakpercayaan. Hei, kukira dia menungguiku karena menantikan aku bangun, tapi kesannya dia mengharapkan aku bakal mati. Dan, suaranya jadi gagap karena tersendat isakan. Eh. "Kau ... kenapa menangis?"
Manda hanya menggeleng-gelengkan kepala. Penerangan ruang perawatan teritori Embuni ini berhias warna jingga yang masih samar. Menjelang sore, ya. Dengan kondisiku yang baru sadarkan diri, mana bisa aku bergantung menyusun spekulasi sendiri. Sebenarnya, sih, ini lebih gara-gara gamang akibat ketidaktahuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Staring Happy Ending
FantasySudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya? Baiklah, bukan masalah. Tapi saat tokoh utama yang d...