Bukannya aku bermaksud kelewat percaya diri, tapi sesi bicara empat mata dengan Manda kemarin akan kunilai sukses besar. Satu langkah awal yang bagus, mungkin? Setidaknya, cukup untuk membuatku bisa menghentikan langkah di jalur lorong terbuka dan meresapi ketenangan hakiki dari semilir angin pagi saat ini. Cuaca seindah ini di pagi hari bakal mempermalukan jiwa-jiwa malas manusia yang ingin balik tidur lagi.
Kedua tanganku sudah bebas dari nampan-nampan-akhirnya. Betapa lega rasanya bisa puas bernapas dalam-dalam di udara bebas begini, ditemani gemerisik merdu dedaunan pohon dan harumnya bunga-bunga yang tak pernah lelah mekar. Kuperingatkan, ini bukan hiperbola. Kau pasti akan percaya, kalau kau sudah memasuki dapur istana di pagi buta.
Sebaiknya jangan mengharapkan undangan. Pagi tadi adalah kali pertamaku merasakannya, karena selama beberapa hari yang dihitung jari ke belakang ini aku lebih memprioritaskan membabu di garis depan persiapan pertunangan Putri Lenavern-bodohnya, aku juga baru menyadarinya, dan kita bisa salahkan euforia ter-isekai ke novel favorit untuk itu.
Jadi, pagi tadi ... andai aku tidak memakai tubuh Narai, aku pasti sudah memasak diriku sendiri. Ya, memang sesibuk itu-Narai yang bekerja sebagai juru masak istana memang cuma bertanggung jawab untuk porsi keluarga kerajaan, tapi nyatanya dia bagai dukun di dapur istana-semua orang bertanya padanya. Jadilah, Narai tidak bisa cuma mengurusi tanggung jawabnya sendiri.
Pantaslah Chaos Crown tidak diceritakan dari sudut pandang Pramu satu ini.
Sekarang ... aku mengerlingkan pandang tanpa terang-terangan toleh kanan-kiri seperti mau menyebrang. Kemudian kujatuhkan tatapan ke kedua kakiku sendiri-oh, ada bercak noda sisa perjuangan dapur pagi tadi-yang seperti jembatan perantara antara ubin lantai dan tanah berumput rapi. Sekarang aku masih menunggu, tapi-
"Hei, Narai!"
Aku mendongak. Tidak akan kubanggakan refleksku yang makin terlatih mengingat bahwa namaku sekarang bukan lagi Raven-kali ini, aku semata-mata bereaksi tanggap karena memang sudah menanti dipanggil.
Dan sosok yang berlari dari seberang lapangan berumput itu memang sosok yang kuduga. Deskripsi dari novel tentangnya seakan dibacakan ulang di dalam kepalaku dengan mewujud nyata di depan mata; seorang pria, berperawakan tegap dan kekar, kulit cokelat terbakar matahari, mata sewarna madu berbingkai alis tegas ... dan derapnya begitu cepat sampai tahu-tahu saja dia sudah menghadang di hadapanku.
"Arvvan," balasku menyebut namanya sesingkat yang selalu dilakukan Narai si hemat. Tidak, Narai tidak berkarakter sebeku kutub atau apa, cuma ada sekelumit masa lalunya yang tidak akan sempat untuk kubahas saat ini-gantinya, bukti untuk itu adalah aku sebagai Narai yang menyambut kepalan tangan pemuda berzirah itu dengan membenturkan kepalan tanganku sendiri.
Senyumnya terangkat tinggi ketika kutarik kepalan tanganku kembali. "Lagi apa kau di sini? Cari Remi? Hari ini dia tidak main sama yang lain, padahal jadwalnya, sih. Kayaknya sibuk."
Tentu saja. Aku sengaja datang ke sini karena tahu Remikha sedang sibuk diomeli Embuni, dalam artian yang positif dan produktif. "Bukan. Aku mencarimu."
Mata madu Arvvan berkilat-kilat. "Oh-ho? Ada kabar apa?"
Kugelengkan kepala. "Aku yang mau bertanya kabar padamu," kataku, lantas merendahkan suara. "Bagaimana keadaan terbaru di perbatasan?"
"Kabar perbatasan, eh." Pemuda itu melipat kedua lengannya bersilang di depan dada. Masih belum ada perubahan ekspreksi yang berarti darinya. "Buat apa kau tanya?"
"Untuk Putri Lenavern," jawabku. Dan aku bisa melihat kilat di kedua matanya berganti makna. "Aku ingin menyeleksi kerajaan-kerajaan yang potensial untuk beragam rancangan rencana. Secepatnya, seperti yang kau tahu kenapa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Staring Happy Ending
FantasySudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya? Baiklah, bukan masalah. Tapi saat tokoh utama yang d...