Sebuah maaf saja tak akan menyelesaikan segalanya. Dan tidak ada yang tahu bagaimana kata hati manusia meski mulutnya berkata sudah memaafkan dengan lapang dada. Nah, hal terburuk yang bisa terjadi jika Gaokuvo berpura-pura tidak dendam pada Raharnias-pada Putri Lenavern-adalah mereka putar balik kubu.
Putar balik kubu ... itu juga tidak sepenuhnya tepat. Sepanjang novel, Gaokuvo adalah kerajaan yang mendeklarasikan diri berposisi netral. Nah, itu dia. Kalau pihak netral memutuskan mereka dendam kepadamu-lebih parah lagi kalau diam-diam-artinya mereka bisa melakukan apa saja.
Untuk itulah aku di sini, memastikan hal paling buruk itu tidak akan pernah terjadi.
Oke, bukan berarti aku bakal girang kalau terjadi hal buruk yang biasa-biasa saja.
Karena maaf saja mana ada harganya, apa kau tahu bagaimana cara membuat maaf tidak ditolak? Kau harus memberikan sesuatu yang mengalihkan perhatian mereka dari alasan untuk mendendam padamu-barangkali parahnya secara diam-diam. Pengalih perhatian. Itu intinya.
Jangan buat mereka merasa dituntut memaafkanmu. Lupakan kata-kata kesungguhan. Lakukan apa yang bakal membuat dirimu sendiri memaafkan seseorang andai ada di posisi mereka.
Alihkan perhatian mereka. Pilihannya cuma dua; dengan hal baik atau hal buruk. Hidup memang penuh opsi kejutan, tapi setidaknya dua pilihan itu bakal membuatmu memahami situasi-dan siap dengan spekulasi lanjutannya.
Manda menyela bertanya di bagian ini tempo hari. Itu tandanya aku sudah terlalu cepat menjelaskan sampai kata-kataku serupa kereta api yang main terobos. Pengalih perhatian yang baik atau buruk.
"Jadi, apa bakal baik-baik saja untuk selanjutnya kalau kau memilih makin mengacau? Apa lawan maafmu bisa tergaet oleh hal baik yang kau lakukan? Dan lain-lain."
"Untuk masalah ini ... kalau kita makin mengacau, bakal lebih dari sekadar tidak baik-baik saja kan?"
"Nah. Jadi, pilihannya sisa satu."
Sebuah maaf bisa menyelesaikan beberapa hal ketika ditambah hadiah. Selama kau tahu hadiah terbaik apa yang bisa diberikan, itu bukan sekadar angan.
Dan Manda harus berterima kasih karena aku tahu hampir segalanya di dunia ini.
***
Hancya sudah seperti lemari buku hidup ketika kutemui lagi sepulangnya kami ke kerajaan sendiri. Maksudku, andai aku bisa memperlihatkan betapa banyak kertas-kertas yang ada di kedua tangannya, serta memenuhi semua saku dan apa pun itu dari pakaiannya yang bisa menjadi disangkutkan lembaran kertas.
"Sebentar," katanya lebih dulu sebelum aku buka suara. Tangannya membolak-balik dua lembar kertas, kelihatan sedang berusaha membandingkan dengan begitu serius. Fokusnya sempat kuganggu, dan rautnya mengerut sedemikian rupa sehingga aku hampir lupa bahwa dia adalah Hancya-Pramu yang perangainya paling santai. Di samping bahwa dia juga adalah Pramu yang paling rapi.
"Oke." Akhirnya dia menceletuk begitu dan melipat kedua lembar kertas menjadi saling bertautan, menyimpannya di sela jari kelingking kiri. "Ada apa, Narai?"
"Aku akan mengantar Putri Lenavern beristirahat," laporku, kemudian mengedik pada para pelayan yang menyambut kepulangan rombongan kecil kami dengan lekas beres-beres. "Kalau kau punya tugas untukku, nanti katakan saja."
Hancya mengangguk, lalu menggeleng. "Ya ... dan tidak. Aku bisa menangani ini sendirian." Pemuda itu menimbang-nimbang dengan mata dipejamkan sekian detik, lantas menjentikkan jari. "Tapi mungkin boleh juga kalau aku bisa minta teh rempah."
Teh rempah itu lebih dari sekadar menuang seduhan daun teh. Gampangnya, sih, itu teh yang lebih enak, karena proses pembuatannya lebih merepotkan dengan menata beberapa rempah untuk memenuhi teh.
Ketika kau bisa merepotkan orang lain untuk membuat teh rempah, jangan disia-siakan.
Sebenarnya tidak semerepotkan itu, kok. Aku cuma terbawa para Pramu di novel asli yang seringkali lempar-melempar tugas membuatkan teh rempah-sebelum ujung-ujungnya dilempar ke Narai si dukun dapur.
"Siap. Selamat sibuk, Han."
***
Irama langkahku berpadu dengan irama langkah Manda. Bersisian, aku bersikap seakan siap menangkap kapan saja sang Tuan Putri jatuh tertidur di tengah jalan menuju kamarnya. Lorong seakan menjadi begitu panjang, dan dindingnya seakan dilapisi kesunyian. Pendar lentera di kedua sisi lorong cukup untuk memberi penerangan dengan bias emasnya, tapi warna cahayanya yang melenakan pada kantuk tidak cocok untuk orang yang sedang berjuang tidak tepar di lantai.
Orang itu aku. Meski Manda pasti juga sebelas-dua belas, sih. Mungkin karena itu dia sama sekali tidak membuka pembicaraan, yang mana bagus juga bagiku.
Akhirnya, pintu kamar Manda ada di depan mata. Aku membantu membukakan pintu yang mulai terasa akrab itu untuk memudahkannya masuk. Langkah Manda goyah, dan lenganku menangkapnya tepat waktu sebelum gadis itu mengadu pelipisnya sendiri dengan bingkai pintu.
"Pelan-pelan," peringatku dengan suara dikecilkan. Kuputuskan untuk memapahnya, dan menutup pintu di belakang punggung. Begitu masuk, Manda langsung ambruk-ke arahku. Jari-jemarinya terasa beku dan licin berkeringat ketika menyalip genggaman pada pergelangan tanganku. "Manda-"
"Raven," selanya mendahului, dengan deru napas yang tidak pasti. "Apa ... sudah selesai?"
Dalam keremangan ruangan yang hanya berpenerangan sebuah lentera temaram dengan pendar keemasan, aku baru menyadari bahwa Manda mendongak susah payah padaku. Kurasakan jarinya gemetar, maka aku balas menggenggamnya perlahan. Tidak kubuang pandangan dari kedua matanya yang menyorot lemah, seperti retih api yang goyah.
"Ya," jawabku, sembari mengangguk dan menangkup kedua tangannya menjadi satu dalam genggamanku yang meyakinkannya. "Sudah selesai, Manda."
Justru, ini semua baru dimulai.
"Apa tadi aku melakukan kesalahan?" kejarnya. "Apa ada sesuatu yang kukacaukan?"
"Tidak." Aku menyahut cepat, menepis pertanyaan serupa lainnya yang siap memburu keluar dengan suaranya yang tertahan. "Kau sudah melakukannya dengan baik, Manda."
Terlalu baik hingga melebihi ekspetasiku. Kenapa juga dia begitu cepat beradaptasi untuk menyerupai Putri Lenavern asli?
Gemetar yang menjalar di ujung-ujung jemari Manda sudah mereda. Aku mengumpulkan segenap kesungguhan dan keyakinan, pura-pura pun tidak apa, sebab ini cuma untuk berkata kepada Manda, "Kau sudah melakukannya dengan sempurna, Manda. Kerja bagus."
Gadis itu memercayainya. Tentu saja. Aku mengatakan tepat apa yang butuh dia dengarkan. Manda melebarkan sepasang mata Putri Lenavern, dan aku bergeming ketika dia menyelam dalam-dalam untuk memastikan kejujuran atau apa yang coba kusembunyikan. Pada akhirnya, dia memejam, berbisik lega dengan senyuman samar, "Syukurlah ...."
Percuma saja, Manda. Mau kau atau siapa pun itu, tidak akan ada yang bisa membaca mataku. Jika menuruti kata orang yang mengatakan bahwa mata adalah jendela hati, aku sudah belajar untuk melapisi jendela hatiku dengan kelambu terkelam yang pernah ada.
"Ya, terima kasih."
Terima kasih, ya.
"Sekarang, kau harus istirahat."
Gemetar di sekujur tubuh Manda sudah melesap menjadi rileks, sekaligus lemas. Aku menghitung langkah demi langkah mendekati pembaringan seraya memapahnya hati-hati. Untunglah Manda bertahan dengan kesadarannya sampai benar-benar berbaring dan berselimut penuh, baru sekejap kemudian tertidur seketika.
Pastilah. Dia kelelahan, dengan tekanan luar-dalam, dan barusan dibasuh kelegaan. Entah bakal nyenyak atau tidak, tapi setidaknya sang Putri sudah tidur dengan damai saat ini. Jadi, aku juga sudah bisa-
Ah, sial, belum. Aku harus membuat teh rempah dulu. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Staring Happy Ending
FantasySudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya? Baiklah, bukan masalah. Tapi saat tokoh utama yang d...