22 | Gawat, Ternyata Ingatan Bisa Berkhianat

32 4 1
                                    

Apa kita sudah mati di dunia nyata?

Aku merasa seperti diliputi waktu yang membeku. Tanganku kaku mencengkeram tali kekang. Kuda tak berhenti, tapi guncangannya tak terasa lagi.

"Apa maksudmu, Manda?"

Aku tidak tahu bagaimana aku bisa mengatakannya dengan kesadaran yang melesak jauh ke dalam jurang yang tidak kutahu ada di dalam diriku sendiri. Kesadaranku bisa bersuara, tapi tidak bisa mendengar apa suaraku sendiri itu bergetar.

"Aku ... aku tidak tahu." Manda menjawab, dengan aku yang seharusnya masih menatap, tapi fokusku terlalu kacau untuk menangkap detail apa pun selain suaranya. "Aku takut, aku ketakutan ... jadi kukira semua yang kupikirkan bukan kenyataan sungguhan. Tapi, tadi ... saat jendela pecah setelah kau melompat turun ... suara kerasnya itu—aku ingat."

Aku ingat suara kerasnya itu.

Jemari Manda mencengkeram lengan pakaianku. Meremasnya kuat-kuat. "Aku menyebrang jalan, sore hari, sepulang sekolah, ada teman-temanku juga ... lalu aku ditabrak sebuah truk besar dengan keras sekali ... Raven, aku sudah mati."

Kesadaranku terdorong jatuh.

Aku mengingatnya. Suara keras—sebuah ledakan. Tepat di depan wajahku. Dari paket misterius yang kukira berisi novel hard cover itu. Cahaya yang membutakan, membuat jari-jariku sendiri yang ada tepat di hadapanku lenyap. Bersama koyakan kertas karton, simpul hiasan, dan seintip kover di baliknya.

Semua tertelan dalam satu ledakan putih yang menewaskanku, ya.

Kepalaku berdenging. Aku mengingatnya. Euforia masuk isekai idaman pasti membuatku lupa akan momen kematianku, sehingga baru sekarang aku bisa bilang; sialan, mati itu tidak enak sama sekali. Kalau ditawari tiket gratis mencoba sekali lagi, aku bakal menolaknya mentah-mentah. Kalau mati cuma mati, ya sudahlah. Masalahnya, matiku sangat menyakitkan.

Aku nyaris bisa merasakannya lagi; sensasi nan mencabik-cabik setiap jalinan tubuhku, membuatku tercerai-berai selagi aku masih benar-benar sadar. Kibasan panas menerpa seakan menguapkan jiwaku dengan sabar, dan aku lumpuh seperti lilin leleh. Tubuhku adalah sehelai kertas jelek yang terbakar, menyerpih, mengabu, sementara kesadaranku tidak kunjung lepas dari setiap tahap penderitaan sialan.

Intinya—meski aku tidak pernah berharap suatu hari nanti bisa sehat walafiat kembali ke dunia nyata—aku memang sudah mati.

Begitu juga Manda. Dia bilang dia ditabrak truk, kan? Ha, metode ter-isekai paling standar. Kalau aku mati gara-gara ... yah, paket ledakan sialan itu, tapi selebihnya aku tidak yakin. Maksudku, repot sekali kalau itu bom sungguhan yang membuat rumahku ikut ter-isekai.

"Raven...?"

Kesadaranku dikembalikan ke kenyataan di mana Manda memanggilku dengan suara Lenavern. Aku terkesiap. Kali ini sungguhan menatap sepasang mata merah tuan putri yang diisi sorot putus asa Manda.

Ah, benar juga.

Berbeda denganku—adalah bencana bagi Manda jika dirinya sudah mati di dunia nyata. Sangat kecil kemungkinan dia bisa pulang dengan mayatnya bangkit jadi zombie di dunia nyata.

Dan, adalah bencana bagiku jika Manda berhenti memercayai dirinya bisa kembali ke dunia nyata. Aku mulai panik—sesuatu yang seharusnya kulakukan dari tadi. Manda akan kehilangan alasan untuk bekerja sama denganku. Dia bisa-bisa bunuh diri—oke, siapa yang tahu, kan? Itu kemungkinan terburuk yang sangat ogah kudapatkan. Tidak, yang lebih buruk lagi adalah jika dia memilih bertindak seenaknya, mengira dia bisa mengubah dunia ini untuk memanjakannya seperti dunia nyata.

Stay Staring Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang