Kau percaya tidak, ada sesuatu yang tidak masuk kebohongan tapi juga bukan kejujuran?
Kalau percaya, bilang saja—aku tidak bakal menagih tanya seperti soal menyebalkan yang beranak dengan sebutkan dan jelaskan contohnya, kok. Kalau tidak percaya, aku bakal berakting terkesiap dengan tangan di depan mulut—serius?
Bercanda. Cuma mau bilang, aku sudah membuktikannya di bab kemarin, lho. Ingat? Alasan spektakuler yang dikemukakan Manda saat membantah mentah-mentah rumornya yang menantang perang.
“Kerajaan Raharnias sama sekali tidak memiliki intensitas untuk melakukan peperangan, maka begitu pula untuk tuduhan mempersiapkannya. Saya akan membuka, bahwa aliansi di antara Kerajaan Raharnias dan Kerajaan Gaokuvo dimaksudkan sebagai hubungan balas budi yang sehat untuk ketujuh kerajaan. Mewakili kedua kerajaan, aliansi kami terbuka untuk semua kerajaan yang menginginkan kedamaian.”
Nah—
“Bukannya ... itu tetap dihitung bohong, ya?” kata Manda dengan nada serba salah, selaras dengan ekspresi yang terpasang di wajahnya; bergelombang di antara alis, seakan tidak cukup rambut merahnya saja yang disamakan dengan ombak. “Tujuan aslinya kan untuk mendamaikan kembali ketujuh kerajaan?”
Baiklah, dia sudah menyela, jadi kusudahi monolog kita. Tanganku terulur pada mangkuk kudapan, dan ternyata plum kering yang kali ini meminta jemariku memilihnya. “Tidak, kok. Memang kemarin aku baru menjelaskan sampai mana?”
Manda cemberut seperti merajuk. “Belum sama sekali. Kemarin waktuku cuma dua hari untuk menghafalkan dialog Putri Lenavern di meja pertemuan, katamu.”
“Yah, kita sama-sama kepepet karena aku harus menyusun dialogmu berdasarkan inti alur yang kuingat.” Nah, inilah yang benar dilabeli bohong. Mengesampingkan pemenggalan dan urutan kalimat, aku bertaruh dialog itu persis dengan yang tertulis dalam novel. Tempo hari, aku cuma tidak mau Manda banyak tanya. Kubawa-bawa saja waktu yang sempit buat memberinya panduan sederhana.
“Jadi?” desak Manda, tidak sabaran seperti biasa.
“Kita tidak bohong,” tegasku. “Kalau dilihat dalam pandangan yang lebar plus jangka yang panjang. Hei, kita harus pintar-pintar buka kartu. Kalau kartu asli kita yang mau mendamaikan ketujuh kerajaan dibuka, orang-orang tidak bakal percaya begitu saja dan berusaha mencari alasan yang sesungguhnya, padahal itu sudah sungguhan. Itu bahkan tidak terlalu licik, karena di akhir kita terang-terangan menyebutkan kedamaian.”
Manda kelihatan tidak terlalu terima, tapi dia memutuskan menceletuk untuk hal lain. “Oh! Kalimat yang terakhir itu memang sengaja, seperti kata Hancya.”
“Tentu,” senandungku. “Itu kartu seleksi, mana saja kerajaan yang punya niat baik, tidak buru-buru menilai buruk Raharnias, alias potensial untuk jadi calon sekutu. Mereka bakal mencoba menguak alasan sungguhan di balik kartu itu, dan menemukan kejujuran kita.”
Akhirnya, kulihat binar sepaham menyelimuti ekspresi Manda yang menghabiskan tehnya. Aku membiarkannya menyambungkan sisa benang-benang merah, dan mengalihkan atensi pada jam saku yang sedari tadi kumainkan di sebelah tangan. Tanpa tertukar menyuapkan kudapan ke mulut oleh tangan satu lagi, aku mengamati jarum-jarum yang berdetik konstan.
Oh, sudah hampir waktunya, ya.
“Kurasa Hancya sempat melapor dengan riang gembira padaku bahwa kartu itu berhasil...,” gumam Manda separuh bertanya.
Aku bisa membayangkan riang gembiranya Hancya yang dibilang Manda. “Memang berhasil, kita sudah mendapat surat personal dari beberapa kerajaan. Suratnya berarti masih di meja Hancya ... sebentar, biar aku ambilkan, dan kita akan membahasnya berdua.”
Manda mengangguk, rona tekadnya menimpali, “Kau benar, selagi kita punya waktu.”
Sayangnya tidak. Tapi kuacungkan sebelah jempol sebelum keluar dan menutup rapat pintu kamar sang putri. Lorong tetap berkesan begitu panjang, dan sekarang langkahku mengarunginya dengan berirama. Ini terhitung tiga hari setelah diadakannya Pertemuan Tujuh Kerajaan yang berhasil diselesaikan tanpa keributan. Ya, keributan tersuratnya—untuk keributan tersirat, memang apa lagi yang membuat kesibukan para Pramu meningkat?
Alur ini mulai mendaki tanjakan konfliknya.
Pintu kamar Hancya di hadapanku bergeming meski sudah kusapa dengan ketukan berirama. Aku mendengarkan keheningan sedikit lebih lama, lalu menatap jam saku yang ditampangkan sebelah tanganku dari bawah pinggang. Barulah kugapaikan tangan pada gagang pintu, dan dia menolak kubuka.
Terkunci. Ya, tentu saja—dan ya, sudahlah. Ini waktu untuk putar balik, dan tidak ada alasan untuk terburu-buru. Kusimpan kembali jam saku pada tempat sesuai namanya, supaya aku tidak mematahkan leher dengan bolak-balik memelotoinya. Hm, apa yang kulamunkan? Oh, benar, aku harus melapor pada Remikha soal latihan bela diri untuk Manda. Gadis itu memerlukannya, dan rekan latihan bela diri Putri Lenavern dalam novel adalah Remikha.
Kenapa bukan Araistasi? Yah, sekilas fakta tentang gadis itu; Araistasi sama sekali tidak berbakat dalam mengajari orang lain. Lagipula, selama Manda adalah Putri Lenavern, semua bakal baik-baik saja.
Tentunya, setelah mengurus yang satu ini. Di sini, aku kembali mendengarkan hening dari pintu yang sudah kusapa dengan ketukan berirama. Tak ada suara Putri Lena dari Manda yang mempersilakan masuk seperti biasa. Sejenak, kupejamkan mata dan meresapi debar yang rasanya begitu janggal, sebelum sebuah ketenangan yang pertama kalinya bukan berasal dari intuisi asli Narai menggerakkanku membuka pintu.
Kini, di depanku, seisi ruangan kamar pribadi Putri Lenavern kembali terpampang. Rapi, tertata, udaranya segar dan beraroma teh. Dinding-dinding pucat yang digelantungi dekorasi selendang merah marun serta bendera kerajaan masih sempurna menjaga. Tidak ada yang berubah sedikit pun dari kamar ini, kecuali satu luput bahwa tidak ada siapa-siapa di sini.
Tidak ada Putri Lenavern di sini.
Aku menarik napas yang sempat tertahan otomatis. “Oke,” gumamku tanpa suara. “Sungguhan sudah diculik baik-baik, persis seperti novel. Waktunya lari dan lapor.”
***
Narai adalah Pramu Putri Lenavern yang paling setia.
Dari sudut pandang novel aslinya, sudut pandang Putri Lenavern, semua bermula dari uluran tangan Putri Lenavern kepada seorang anak lelaki sekarat yang meringkuk di jantung hutan. Di hari gelap yang dinaungi mendung dan sekujur Raharnias baru tersiram hujan badai itu, si anak lelaki barangkali akan mati terpanggang suhu tubuhnya sendiri yang dipengaruhi racun.
Anak lelaki itu menyambut uluran tangan Putri Lenavern, tentu saja. Dengan ayunan belati berkarat yang menguras sisa-sisa tenaga dan kesadarannya. Anak lelaki itu ambruk setelahnya, dengan sia-sia, karena Putri Lenavern memanfaatkan insting tajamnya untuk berhasil menghindar—anak laki-laki yang tidak punya marga ataupun nama keluarga, di samping beberapa tata krama yang jarang bisa menyelamatkan nyawa.
Namanya hanya sepatah; Narai. Masa lalunya seakan-akan dituliskan di pasir pantai, di mana ombak selalu berdebur menghapusnya tanpa jejak setiap beberapa saat, yang kemudian ditumpuk masa lalu baru untuk terhapus juga sesaat kemudian.
Barangkali Narai sudah berkelana ke setiap penjuru negeri sebelum berjumpa dengan Putri Lenavern. Sebab entah di umur sekecil apa dirinya dibuang keluarganya demi ditukar segenggam uang. Narai punya banyak beban pengalamanan soal diperjualbelikan sebagai budak; yang berkalung harga serta terus dioper sana-sini. Dipekerjakan sebagai apa saja dan memakan semua pengalaman. Dari majikan yang buruk, majikan yang baik, sampai majikan yang munafik.
Dia menelan semua itu, sembari tetap memperjuangkan keinginannya akan kebebasan. Dan kenapa aku membahas ini sekarang? Kejutan; aku juga tidak tahu. Ini terasa seakan-akan diriku tengah dirasuki sesuatu yang sama-sama tidak kutahu. Yang kutahu, aku masih berdiri di atas kedua kakiku sendiri, memijak bak terpasak dengan telalu tegak, dan diam seribu bahasa sementara kepalaku dibanjiri air terjun kata-kata.
Kata-kata ... bukan.
Ini seakan jiwa Narai yang asli, dan sungguhan diburu cemas dan panik selayaknya Narai asli dalam novel, berimbas kepadaku—karena aku yang menumpang dan berlakon sebagai dia, sekarang ini dan di sini. Dialah juga yang membuatku menyentak satu napas ke dalam rongga dada, mendahului Hancya dan siapa saja, untuk menghentak sebelah kakiku keras-keras ke lantai. Menyatukan masing-masing perdebatan yang menyesakkan, aku mendapatkan perhatian yang diinginkan.
Tidak, yang dia inginkan, termasuk untuk selanjutnya berkata dengan suara Narai, “Kita akan menyelamatkan Putri Lenavern. Segera. Setelah kalian pasang telinga untuk rencanaku.” []▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎
Satu klik vote dan se-tap-tip-tap komentar darimu amat berarti bagi saya dan cerita ini. Tak perlu ragu ber-unek-unek di sini :3
Instagram: (at)AzzaFatime
Karyakarsa: AzzaFatime — sudah ada Volume 5 yang isinya sampai Bab 20, lho~
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Staring Happy Ending
FantasySudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya? Baiklah, bukan masalah. Tapi saat tokoh utama yang d...